Sisi Lain dari Polemik Nyawer Qoriah

Sisi Lain dari Polemik Nyawer Qoriah

Polemik “nyawer” Qoriah mungkin mengajarkan kepada kita untuk tidak lagi sembarangan dalam merespon informasi, walaupun itu boleh jadi sangat kita benci.

Sisi Lain dari Polemik Nyawer Qoriah

Rekaman video seseorang me-nyawer seorang Qoriah yang sedang membaca Al-Quran di sebuah acara keagamaan sedang viral di media sosial. Tentu hal kontroversi menyulut tensi emosi warganet. Tak pelak, hujatan dan kritik keras pun langsung menyeruak di berbagai konten, komentar, caption, hingga membagikan ulang beberapa video sekaligus anotasi keras.

Dilansir di NU Online, sang Qoriah pun merasa malu dan dilecehkan akibat ulah oknum tersebut. “Itu memang sudah keterlaluan, tidak ada adabnya. Saya pun sangat merasa terganggu, tapi saya gak bisa langsung negur pada saat itu juga, karena pada saat saya disawer masih ngaji belum beres” ujar Nadia Hawasyi, sang Qoriah. Belakangan, Nadia juga sangat menyayangkan sikap negatif dan hujatan juga diarahkan kepadanya.

Di sisi lain, Nadia juga menjelaskan bahwa aksi me-nyawer Qori/Qoriah cukup lumrah di masyarakat Banten. Walaupun, dia sendiri tidak ingin dan akan melarangnya jika mengetahui sebelumnya. Sikap Nadia tetap sabar dan secepatnya mengakhiri pembacaan Al-Quran seharusnya mendapatkan apresiasi. Namun, sebaliknya, dia juga turut mendapatkan dampak negatif dari peredaran video tersebut.

Video di media sosial tentu tidak menayangkan sikap Nadia sepenuhnya. Kita sulit menjumpai ada rekaman video yang berimbang di kasus-kasus kontroversi seperti yang dialami Nadia. Maka, arah dari hujatan dan kritik tersebut juga mengarah kepadanya.

Antara tradisi masyarakat di satu wilayah, adab terhadap kitab suci, hingga ajaran agama, saya melihat polemik “nyawer” ini mengungkapkan fakta kepada kita bahwa ada dua persoalan pelik yang belum selesai di dunia digital kita. Apa itu?

***

Persoalan pertama yang perlu kita ulas mendalam untuk memahami kontroversi video “nyawer” ini adalah masalah pelecehan atas simbol agama. Sebagaimana dijelaskan di atas, kasus ini memancing kemarahan umat Islam, karna dianggap menghina kesucian Al-Quran.

Fatih Karim, seorang pendakwah populer, menyatakan ketersinggungan di akun Instagram miliknya. Bahkan dia juga meminta kepada MUI dan tokoh masyarakat setempat bisa menindak secepatnya pelaku nyawer tersebut. Di akhir postingannya, Fatih Karim juga menyebutkan bahwa “Ya Rabb… Betapa mengerikan negeri ini… Ayat Al-Quran dibacakan pembacakan dihinakan… Ampuniii kami Yaa Ghaffar..”

Ungkapan Fatih Karim di atas tentu hanya satu dari sekian kekesalan, kekecewaan, hingga kemarahan akibat dari kasus “Nyawer” ini. Namun, Benarkah nyawer qori/qoriah adalah bagian dari pelecehan terhadap kitab suci? Tunggu dulu.

Jika kita menyimak apa yang diungkapkan oleh Nadia, sang qoriah, menyebutkan bahwa aksi tersebut bisa saja lumrah di masyarakat di mana dia membaca ayat-ayat Alquran kemarin. Kita boleh saja emosi karena nilai-nilai dan etika di masyarakat kita tidak mentolerir aksi tersebut. Namun, jika sebuah masyarakat memiliki nilai dan pemahaman yang berbeda atas kitab suci tentu kita juga tidak boleh menolak dan menihilkannya begitu saja.

Saya tidak menyangkal ada banyak kitab yang mengulas bagaimana adab seorang muslim atas kitab suci Alquran. Namun, sebuah masyarakat Muslim bisa saja memiliki sudut pandang atau perlakuan yang berbeda dari ajaran dalam kitab-kitab tersebut.

Bagi kita mungkin “Nyawer” cukup berat untuk diterima atau ditolerir. Namun, kita juga tidak bisa menyingkirkan begitu saja bahwa bisa jadi bagi masyarakat di tempat kejadian tersebut malah bukan bagian dari pelecehan atas Alquran, atau malah sebaliknya.

Kitab suci, termasuk nilai dan etika di dalamnya, tidak akan bisa lepas dari kehidupan masyarakat Muslim. Kita sering mengabaikan fakta bahwa kita bisa jadi memilik perbedaan dalam nilai dan etika atas Alquran. Sejarah, konstruksi sosial, politik ekonomi, imajinasi keumatan, hingga ideologi yang hidup dalam masyarakat mungkin sekali turut mempengaruhi perbedaan tersebut.

Mungkin bagi sebagian orang, budaya dan agama seringkali dibenturkan. Padahal, agama adalah bagian tidak terpisahkan dari budaya itu sendiri. Antara kedua entitas tersebut terjadi saling pinjam, negosiasi, apropriasi, hingga

***

Selain itu, kasus “Nyawer” ini (kembali) mengungkapkan bahwa kita sebagai warganet masih harus lebih hati-hati lagi, dalam merespon informasi yang beredar di media sosial. Sebagaimana disebutkan di atas, Nadia menyayangkan sikap netizen yang juga menyudutkan dirinya. Selain itu, kritik dan hujatan keras atas aksi “Nyawer” tersebut juga mengabaikan bagaimana dinamika di tempat kejadian.

Setiap perkembangan teknologi di kehidupan manusia tentu membawa perubahan sosial bersamanya. Arus informasi di media sosial yang disebut-sebut setara dengan ribuan koran harian tentu memaksakan perubahan pada cara kita mengonsumsinya. Kecepatan adalah salah satu pergeseran tersebut. Akibatnya, kita tidak benar-benar mengecap dan mengunyah informasi yang hadir di hadapan kita.

Akhirnya kita cenderung tidak hati-hati dan gegabah dalam mengolah informasi. Nadia dan kasus “Nyawer” adalah bukti nyatanya. Ketidaknyamanan Nadia di atas sudah seharusnya menjadi alarm bagi kita semua. Perhatian dan selera atas informasi akhirnya menjadi kunci dalam arus pengetahuan yang beredar ini.

Tidak saja bisa menjadi komoditas bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, perhatian dan selera kita bisa ditanamkan hal-hal lain di luar informasi, seperti ideologi, dendam, hingga emosi. Untuk itu Islam sudah menganjurkan kepada kita lebih berhati-hati.

Agar lebih memahami permasalahan ini, kita perlu menyimak apa yang dikutip oleh Krishna Sen, akademisi asal Australia, dalam buku Kuasa Dalam Sinema dari See Ien Ang. “Pada satu tingkatan, penonton adalah sekelompok individu yang berlainan dan terpisah. Namun pada tingkatan lain, penonton adalah suatu struktur dalam sebuah konsep di mana penonton tidak hanya mempengaruhi tekstualitas…., tapi juga menjadi dasar konstruksi sinema sebagai ruang publik yang dikontrol budaya, ekonomi, dan politik” tulis Sen.

Netizen kada tidak ubahnya seperti penonton film atau sinema. Informasi yang hadir di linimasa kita bisa jadi hasil dari kontrol entitas lain, yang menginginkan sesuatu tertanam dalam benak kita yang nanti bisa mengugah emosi kita kapan saja mereka mau.

Kasus “nyawer” mungkin mengajarkan kepada kita untuk tidak lagi sembarangan dalam merespon informasi, walaupun itu sangat kita benci. Sebagai netizen, kita seharusnya memiliki kontrol yang lebih baik dalam merespon pengetahuan yang ada di sekitar kita.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin