Bagi anak muda, lebay adalah bahasa yang digunakan untuk menyatakan sikap berlebihan pada seseorang, mungkin saja dalam Islam dapat dimaknai ghuluw (tindakan melampaui batas atau berlebihan). Menurut Quraish Shihab ghuluw adalah sikap yang melampaui batas yang dituntut oleh akal sehat dan tuntunan agama, baik dalam keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Lantas lebay dalam beragama seperti apa? dianggap lebay beragama jika ia memahami, merespon dan bersikap atas nama ajaran agama (berarti menurut pandangannya) secara berlebihan.
Dalam keseharian, termasuk di medsos sering kita melihat dan dipertontonkan unggahan orang yang merasa dirinya paling Islami dan benar, mudah menilai menistakan dan sesat orang lain, bahkan tak menerima pandangan selain dari yang se-ustad atau se-madzhab dengannya. Ia tak memberi ruang pada pikiran dan hatinya bahwa kita sesama umat beragama, sama sama meyakini al-Qur’an dan hadis bahkan meyakini Nabi yang sama. Lebih dari itu, ia lebih senang mengomentari dan menanggapi bukan untuk mendengar dan mencoba memahami.
Sikap lebay seperti ini, mungkin disebabkan dua hal: ia terjebak pada sikap fanatiknya atas apa yang ia cintai dan yakini. Seperti anak muda yang sudah dalam cintanya pada seorang gadis, maka dialah yang paling mempesona tak ada yang melebihi dari orang yang dicintai, tak sadar apa yang dicintainya sangat mungkin banyak kekurangan dan kesalahannya.
Sebab lain, ia terlampau membenci, sehingga kebaikan dan kebenaran tak terlihat lagi dalam hatinya untuk orang lain, walaupun yang disampaikan itu benar. Sebab apa? kebencian menutupi kebenaran. Menapaki jalan fanatik dan lorong kebencian dua duanya diingatkan oleh Nabi SAW dalam riwayat imam al Tirmidzi: “Cintailah kekasihmu sewajarnya, karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi seorang yang engkau benci. Dan bencilah orang yang engkau benci sewajarnya saja karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi kekasihmu” (HR: al Tirmidzi)
Ajaran Nabi SAW sangat sederhana, beliau mengajak ummatnya agar tak berlebihan rasa cintanya pada apapun (selain Allah dan Nabi SAW), begitupun rasa benci pada sesuatu, tak membuatnya berlebihan. Mengapa Nabi SAW menganjurkan agar tak berlebihan mencintai dan membenci sesuatu? dalam kitab Tuhfatu al Ahwadzi Syarah Jaami’ al Tirmidzi ditegaskan bisa jadi apa yang engkau paling cintai dalam hidup, suatu waktu darinya kebencian itu lahir yang membuat seseorang menyesal. Sebaliknya, rasa benci yang terlalu berlebihan pada seseorang, ada waktu ia justru menjadi orang yang dicintai, dan itu akan membuatnya malu.
Pesan Nabi tersebut, mestinya memberi nafas yang baik di medsos sebab disitulah ruang komunikasi manusia. Fanatik yang berlebihan akan membuat seseorang tak terbuka dengan pandangan orang lain, hingga akal sehatnya pun tak mampu menilai kebenaran. Kerap kali pula, karena rasa benci pada suatu kelompok, berita kebohongan pun diunggah dan disebar keberbagai grup WA, hanya karena ia didorong rasa benci dan amarahnya.
Sekali lagi, lebay beragama sangat tak sehat dan tak baik untuk kehidupan sosial bersama. Dampaknya, kita tak akan pernah membangun peradaban yang baik karena orang lain yang berbeda pandangan keagamaan hingga politiknya bukan bagian dari dirinya. Justru sesama umat Islam saling mencurigai, menuding dan menyerang tak ubahnya seorang musuh.
Karena itu, jalan yang mesti ditempuh adalah keluar dari lubang fanatisme (cinta yang berlebihan) dan lubang kebencian agar melihat Islam itu sebagai agama yang ramah dan luwes tak kaku. Hal ini mengingatkan saya pada kisah Nabi SAW, beliau bangun di gelapnya malam untuk ke masjid (qiyamul lail), setibanya di masjid ia kaget tiba-tiba ada tali yang menahan bagian dadanya yang diikatkan ke tiang.
Lalu Nabi bertanya pada sahabat yang lebih awal di mesjid. Tali siapa ini? Zainab wahai Nabi, yang sengaja diikatkan ke sudut-sudut tiang masjid, alasannya kalau ia tak kuat berdiri ia akan ikatkan pada tubuhnya agar mampu berdiri dalam shalatnya. Tutur salah seorang sahabat. Nabi SAW pun menyuruh sahabatnya untuk melepaskan ikatan tali itu dan memberi pesan “jika mau ibadah harus kondisinya sehat dan bugar, jika sudah lelah maka silahkan tidur”.
Mendengar cerita ini, Nabi SAW tak menghendaki untuk lebay dalam beragama dengan cara memaksakan kondisinya untuk beribadah. Itulah sebabnya, Nabi SAW dalam membangun, mengajarkan dan menyebarkan Islam bukan dengan cara yang berlebihan, ia tak pernah memaksa orang lain untuk meyakini ajaran dan kenabiannya. Ia tak pernah membenci orang yang membenci dan meyakitinya.