Agresifitas pemerintah China dalam membangun jalur sutra baru, berdampak penting dalam diplomasi politik internasional. Penyelenggaraan KTT Jalur Sutra dan Sabuk Maritim Baru untuk Kerjasama Internasional (Belt and Road Forum) di Beijing, Mei 2017 lalu, menjadi bukti betapa seriusnya pemerintah China.
Presiden Joko Widodo turut hadir dalam forum itu, bersanding dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen, Perdana Menteri Kazakhtan Nursultan Nazarbayez, beserta pimpinan dari beberapa negara lainnya.
Dalam forum ini, Presiden China Xi Jinping mengaku mempersiapkan anggaran senilai 124 miliar dolar AS, atau lebih dari 1650 triliun rupiah. Dana melimpah ini, menjadi amunisi pemerintah China untuk membangun mimpinya dalam diplomasi politik internasional, berupa pembangunan infrastruktur jalan darat-laut yang membentang di kawasan Asia, Afrika dan Asia.
“Kita harus mencipta bersama lingkungan yang akan memfasilitasi pembukaan dan pembangunan, mengembangkan sistem yang transparan dan adil bagi investasi dan perdagangan internasional,” ungkap Xi, di hadapan 29 kepala negara (Kumparan, 14/05). Dari pernyataan ini, jelas Xi Jinping berusaha menjadikan Jalur Sutra Baru (new silk road) sebagai ‘proyek bersama’, yang dibangun dari memori kesuksesan jalur sutra dalam jaringan perdagangan dan diplomasi peradaban Tiongkok di penjuru dunia.
Belt and Road Initiative menjadi agenda pemerintah China membangun koridor ekonomi yang menghubungkan negeri Tirai Bambu dengan berbagai kawasan di penjuru dunia. Sebagaimana jalur sutra, ‘One Belt One Road’ merupakan serangkaian jalur darat dan laut yang menghubungkan Cina ke Eropa melalui Asia Tengah dan Timur Tengah, serta rute laut yang mengkoneksikan laut bagian selatan China ke kawasan timur Afrika dan Mediterania.
Pemerintah Indonesia merespons positif kerjasama dari pemerintah China, dalam inisiasi One Belt One Road. Meski, secara hati-hati, pemerintah juga perlu melihat skala strategis dalam kerjasama ekonomi-politik dalam skema besar ini.
Jalur Sutra, Narasi Islam di Indonesia
Dalam narasi historisnya, Jalur Sutra maritim berdampak pada silang budaya Tiongkok dan Indonesia. Bahkan, melalui jalur sutra, perkembangan budaya dan agama di kawasan Nusantara, mengalami dinamika. Kebudayaan Tiongkok juga berpengaruh pada perkembangan Islam di kawasan Nusantara, terutama pada kunjungan diplomatik Laksamana Cheng Ho.
Dalam sebuah misi diplomatik, Kaisar Dinasti Ming, Zhu Di, memerintahkan Laksamana Cheng Ho untuk mengarungi samudra Hindia. Zhu Di mengutus Cheng Ho mewartakan kebesaran Dinasti Ming ke seantero dunia, mengabarkan marwah peradaban Tiongkok. “Untuk perdamaian, untuk persahabatan,” demikian titah Kaisar Zhu Di, kepada panglima andalannya, Laksamana Cheng Ho.
Menindaklanjuti titah sang Kaisar, Cheng Ho memulai misi berlayar menerjang ombak Samudra Hindia, mengokohkan jalur sutra maritim. Cheng Ho, bersama ribuan anak buahnya, memimpin muhibah selama tujuh kali, sejak 1405 hingga 1433. Perjalanan panjang Cheng Ho, berdampak pada silang budaya di Nusantara. Rombongan Cheng Ho singgah di beberapa kawasan di Nusantara, dari Aceh, pesisir Sumatra, Jawa, hingga Kalimantan (Yuanzi, 2011; Tan Ta Sen, 2009).
Di Samudra Pasai, jejak Cheng Ho terdokumentasikan pada situs Cakra Donya, yang diberikan kerajaan Ming, dengan pembesar di Pasai. Simbol pertukaran kebudayaan untuk saling menghormati dan membangun komunikasi antar penguasa. Selanjutnya, jejak Cheng Ho juga dapat ditemui di beberapa kawasan: Palembang, Cirebon, Semarang, Lasem, dan beberapa kota di pesisir Jawa dan Kalimantan.
Sampai sekarang, Laksamana Cheng Ho menjadi ingatan penting bagi warga di berbagai kawasan di negeri ini. Jejak Cheng Ho diabadikan dalam berbagai masjid, hingga sering dikisahkan dalam perayaan budaya di beberapa klenteng di pesisir Jawa. Beberapa kelompok muslim Tionghoa, bahkan membangun masjid-masjid berarsitektur Tiongkok, untuk mengenang sumbangsih Cheng Ho bagi perkembangan Islam di negeri ini.
Kisah Cheng Ho seharusnya menjadi penanda betapa kebudayaan Tiongkok berpengaruh pada perkembangan Islam di Indonesia. Pengaruh ini, yang fakta historisnya dapat dilacak di beberapa kawasan pesisir Sumatra dan Jawa, menjadi penanda betapa orang Tionghoa bukan ‘orang asing’ dalam membentuk peradaban Nusantara. Pengaruh muslim Tionghoa, yang sebagian darinya, merupakan pengikut Laksamana Cheng Ho, merupakan catatan sejarah penting bagi kita untuk membaca Indonesia masa kini.
Pengaruh kebudayaan Tionghoa dalam perkembangan Islam di Indonesia, tidak perlu disembunyikan. Seharusnya, kita memaknai pengaruh ini dalam ruang yang seimbang dengan pengaruh Arab-Hadrami dan Gujarat dalam membentuk narasi sekaligus identitas Islam Indonesia. Kita bisa memaknai, bahwa yang Tionghoa tidak semuanya “kafir”, dan yang Arab tidak mesti muslim kaffah.
Menyelami narasi jalur sutra maritim dan kisah Laksamana Cheng Ho, kita dapat memaknai betapa kebudayaan Tiongkok juga memiliki pengaruh penting dalam membentuk identitas Islam di negeri ini. Bahwa, pilar-pilar Islam di Indonesia, disangga oleh sebagian entitas dan nilai-nilai kebudayaan Tionghoa.
Baik jalur sutra maritim maupun inisiasi “one belt one road”, meski berbeda kurun waktu dan konstelasi zamannya, keduanya menempatkan negeri ini dalam dinamika diplomasi internasional. Memaknai narasi jalur sutra maritim sekaligus mensikapi inisiasi proyek OBOR, menjadi tantangan Indonesia masa kini dan mendatang [Munawir Aziz].