Bgaimana toleransi para ustadz-seleb di medsos? Dalam laporan Tempo tahun 2018 yang mengutip hasil survei Centre for Strategis and International Studies, pernah merekam sebuah fakta yang mencengangkan. Fakta itu berbunya: 53% lebih dari generasi milenial tidak menerima pemimpin yang berbeda agama. Sebuah potret yang menyedihkan di tengah harapan perubahan masa depan yang lebih baik di tangan generasi milenial hingga Z.
Bisa dibayangkan kelompok anak muda yang menjadi masa depan Indonesia terperangkap pada pemahaman yang tidak terbuka dan toleran terhadap perbedaan agama. Kondisi tersebut ditengarai oleh konsumsi anak muda tersebut atas wacana intoleran yang membanjiri media sosial. Hal ini wajar karena sebagian dari para ustaz media sosial (medsos) dicurigai memiliki pemahaman yang eksklusif dan tidak ramah dengan perbedaan.
Membanjirnya para ustadz medsos adalah respon atas kegairahan masyarakat, terutama anak muda perkotaan, yang membutuhkan asupan “ajaran agama” untuk menemukan identitas diri dan pegangan hidup ketika suasana global dan nasional dianggap kurang memberi rasa aman dan nyaman. Kondisi tersebut diperparah dengan lanskap dunia maya kita yang belepotan berisi caci maki dan hinaan kepada mereka yang liyan.
***
Sebagai netizen, rasanya kita sudah terlalu banyak mengonsumsi berbagai hal negatif terkait agama di media sosial. Oleh sebab itu, kehadiran sosok ustaz medsos yang ramah dan toleran menjadi hajat utama kita semua.
Namun, sebelum lebih jauh kita perlu mengetahui bahwa persoalan otoritas di media sosial tidak bisa dipahami dengan apa yang kita ketahui selama ini. Sebab, media baru, dalam hal ini media sosial, telah banyak merubah dinamika otoritas agama yang selama ini kita pahami, di antara paling kentara adalah kehadiran para ustaz medsos.
Sebelumnya, banyak yang mencibir mereka dianggap tidak memiliki kapabilitas dan kualifikasi pendidikan yang cukup untuk menjadi otoritas agama. Namun, pandangan berbeda pernah diutarakan oleh Hairus Salim setelah melakukan amatan terhadap para ustadz dari kalangan salafi yang juga aktif di media sosial. Menurut Salim, para ustadz tersebut memiliki kapabilitas berdakwah yang cukup atau dalam ungkapan lain mereka sangat otoritatif untuk dakwah.
“Mereka menguasai Bahasa Arab dengan baik, pasif maupun aktif, dan bidang-bidang keilmuan Islam secara mendalam, terutama Quran dan Hadits. Mereka alumni sekolah-sekolah keagamaan di Mekah, Medinah dan Mesir. Bahkan sebagian mereka memiliki gelar doktor” tulis Salim Bahkan, jika kita telisik ke beberapa nama ustadz medsos lainnya juga memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni.
Bahkan, nama seperti Hannan Attaki, Adi Hidayat, dan Abdus Samad adalah ustaz medsos yang paling tenar jika kita lihat dari jumlah paling tinggi pengintil (followers), memiliki gelar-gelar dari berbagai universitas yang ternama. Kehadiran para ustaz medsos bukan soal otoritas keilmuan namun terletak dalam relasi mereka dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
Keluhan persoalan ustadz media sosial pernah disuarakan oleh Hairus Salim yang menyebut, “Tapi mungkin di sini juga masalahnya: karena mereka merasa (dan memang) memiliki otoritas, mereka jadi cenderung otoriter, merasa paling benar dan menyalahkan orang lain. Miskinnya perspektif sosial dan hilangnya aspek muqaranah, membuat pandangan mereka umumnya hitam-putih dan gampang menyalahkan orang yang berbeda dengan mereka.”
Terlebih kehadiran otoritas agama di era sekarang tidak lagi persoalan yang terkait agama belaka. Nahdhatul Ulama (NU) mengalami kalibrasi ulang dengan mengarusutamakan kembali Khittah 1926. Kondisi ini kemudian yang disebut oleh Michael Feener, Professor asal Universitas Kyoto, sebagai modal kultural NU, yakni ulama baru yang mampu memadukan pengetahuan keagamaan yang mapan dengan wawasan mengenai peran Islam dalam kehidupan publik Indonesia.
Carool Kersten, akademisi asal King College London, menyebutkan bahwa aspek utama dari kalibrasi ulang tersebut adalah perumusan ulang Ahlus-Sunnah wal-jamaah (disingkat Aswaja) dengan menampilkan kembali diri mereka sebagai pengusung Islam moderat dan toleran. Hal ini jelas sekali bertolakbelakang dengan kehadiran para ustadz medsos, yang lebih banyak bersikap tertutup dan terlepas dari berbagai ikatan-ikatan primordial. Muhammadiyah juga mengalami hal serupa saya kira.
Sedangkan di kalangan Muhammadiyah, menurut Masdar Hilmy, akademisi asal UIN Sunan Ampel, Surabaya, telah muncul sebuah kesadaran akan pentingnya merevitalisasi tajdîd sebagai mekanisme menggerakkan visi pembaruan organisasi. Memang di Muhammadiyah biasanya dikaitkan pada beberapa tokoh yang dikenal dengan pemikiran moderatisme Islam, seperti KH. Ahmad Dahlan, Hamka, Buya Syafi’i Ma’arif, Amin Ra’is.
Namun, sebagian anak muda di kalangan Muhammadiyah melihat slogan “kembali kepada al-Qur’an dan sunnah/hadis Nabi” ibarat pedang bermata ganda, di samping menjadi batu loncatan bagi proyek pembaruan, juga memiliki kemungkinan saja telah membunuh semangat pembaruan dari dalam organisasi. Menurut mereka, tajdîd dapat menemukan signifikansinya dalam membangun modus kebergamaan moderat.
Di mana, ajaran-ajaran yang sudah tidak cocok dengan semangat zaman, seperti memiliki bias budaya lokal Arab, dapat dimoderasi melalui mekanisme metodologis istinbath atau tajdîd tersebut. Ajaran Islam yang mengandung dimensi ibadah ritual-vertikal kepada Allah bisa diambil secara literal atau apa adanya.
baca juga: Yusuf Mansyur, Ustadz yang mengajarkan toleransi di sekitar kita
Sementara itu, dimensi ajaran relasi antar manusia atau dimensi sosial-horizontal-publik yang mengatur pola interaksi antar-sesama manusia, seperti dalam sebuah wadah institusi Negara, bisa dimoderasi melalui tajdîd sesuai dengan konteks perkembagan zaman atau perubahan ruang dan waktu. Dengan menghadirkan kembali narasi tajdid untuk mendedahkan ajaran agama yang lebih moderat dan humanis, kelompok anak muda Muhammadiyah dapat menghadirkan kedamaian untuk umat manusia.
Dalam amatan saya, pergerakan ustaz medsos tersebut lebih banyak berorientasi pada narasi moral Islamisme yang dihiasi dengan narasi dan budaya pop. Mungkin kebanyakan mereka mengembangkan model dakwah yang dulu pernah dilakukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), yang mengembangkan apa yang mereka sebut dengan ‘moralising Islamism’, yaitu mengislamkan politik nasional dengan sarana non-politik.
***
Kembali ke ustadz media sosial, jika menelisik fakta di atas maka bisa kita jumpai persoalan narasi toleransi lebih merujuk pada pilihan dakwah dan perluasan ranah ruang publik. Sebab, jika kita amati mendalam narasi toleransi yang beredar di kalangan ustaz medsos masih sangat minim, bahkan bisa dibilang mereka lebih memilih kehidupan yang tertutup.
Kalibrasi yang dilakukan NU untuk lebih terlibat dalam kehidupan sosial dengan hadir sebagai pengusung wacana toleran dan moderat, tidak berlaku di sebagian besar ustaz medsos, terlebih mereka yang sudah memiliki pengintil yang banyak. Oleh sebab itu, mengarusutamakan narasi toleran dan moderat di kalangan mereka bisa dibilang bukanlah tugas yang ringan.
Baca juga: Toleransi Ustadz Medsos dan Pembelaan Ulama
Di antaranya bisa kita lihat pada polemik diksi “Kafir” beberapa waktu lalu. Kala itu, kehebohan yang terjadi di media sosial lebih banyak ketimbang di kehidupan sehari-hari, dan ustaz medsos terlibat cukup aktif berkomentar permasalahan tersebut.
Bagi sebagian besar para ustaz medsos, keputusan NU tersebut adalah sebuah kesalahan. Kebanyakan mereka tidak memahami perjuangan NU dalam menghadirkan kehidupan sosial yang lebih adil. Maka, tak heran jika mereka banyak yang terlibat aktif dalam politik agama di Pilkada DKI Jakarta kemarin.
Unggahan para ustaz medsos yang masih berkutat pada narasi intoleran ini bisa kita jumpai hingga sekarang. Tidak saja memiliki pemahaman kewargaan dan keagamaan yang tertutup, mereka juga masih tidak memiliki imunitas terhadap politisasi dan kapitalisasi emosi keberagamaan dalam kontestasi politik.
Adapun ceramah yang bermuatan intoleran sekarang tidak saja berupa dakwah yang bernada keras pada perbedaan, namun juga dapat dijumpai dalam sesi “Tanya Jawab” dan komentar para ustadz tersebut terhadap politik nasional atau lokal. Arkian, pengarusutamaan narasi toleran masih harus menempuh jalan terjal karena kehadiran mereka untuk masih belum memiliki cita-cita untuk menghadirkan kehidupan publik yang toleran dan moderat.
Jika begini, asupan narasi agama yang dibawa dan toleransi dari Ustadz ini di kalangan milenial dan yang lebih muda kemungkinan masih beraroma intoleran, yang membungkus kekelutan politik agama. Jadi, persoalan ustaz medsos yang berpihak pada intoleran bukan saja soal ajaran dan ideologi, namun politisasi agama juga memiliki andil yang besar atas permasalahan tersebut.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin