Dengung radikalisme masih memekik. Kemunculan JAD, ISIS, Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) dan keterkaitannya dengan tragedi bom di Sarinah (14/01/2016) dan beberapa daerah lainnya, memperparah serentetan pengalaman pelik bagi kerukunan bangsa Indonesia. Sebagai new religion movement (NRM) yang berbaju Islam, bagaimanapun radikalisme sangat asing bagi wajah Indonesia.
Sebagai afisiliasi dari gerakan keagamaan baru, ingatan kita terpaksa kembali diarahkan pada arogansi dan kebrutalan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di belahan Timur Tengah sana yang hingga kini masih eksis. Menurut AS Hikam (2016) Akar genealogis ISIS pada dasarnya, diawali oleh munculnya gerakan Al-Qaeda di Irak atau AQI (Al-Qaeda di Irak) yang dipelopori dan didirikan oleh Abu Musab Al-Zarqowi pada tahun 2002.
Tidak berselang lama, dari kurun waktu bergabungnya dengan Al-Qaeda pada 2003, melalui beberapa pertimbangan ideologi dan alur gerakan, akhirnya AQI menyempal dari kelompok Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Ketika itu, mereka bertranformasi menjadi gerakan ‘Islam Radikal’ yang mengusung paham Islamic State/Khilafah Islam.
Akar genealogis gerakan radikal secara global dan regional, dimulai dengan pergulatan ideologi, politik, hingga pertarungan kelas (ekonomi) yang mengakibatkan kesenjangan sosial lingkungan masyarakat. Imbasnya, masyarakat yang acuh pada ideologi dan kepercayaan kemudian walkout lari dari norma dan nilai yang berlaku di masyarakat. Alhasil, faktor kolektif mencakup psikologi sosial individu itu membawanya keluar dari ideologi kemapanan dan beralih pada ideologi baru berkedok kekerasan berbaju agama, yaitu radikalisme keagamaan sebagai bentuk kekecewaan.
Pemahaman seperti itu, menentang penilaian sepeleh ihwal aktor radikalisme yang ditaksir dari segi fesyen agama. Meskipun afirmasi budaya pakaian sangat mempengaruhi corak peradaban pemikiran penganutnya.
Radikalisme dan Peledakan Wacana
Terminologi radikal sendiri, dalam konteksnya mengalami depositioning. Dalam KBBI kata radikal sama sekali tidak menjurus secara khusus pada agama. Radikal berhubungan dengan hasrat berpikir secara prinsipil atau sikap politik amat keras dalam mengubah undang-undang dan pemerintahan.
Kata radikal atau radikalisme secara generik berhubungan dengan pemikiran politik atau gerakan kiri. Namun, sepanjang dua dekade, kata itu mengalami “peledakan wacana” seolah-olah menjadi anak kandung Islam. Ditambah dengan gejolak gerakan ‘Islam Radikal’ seperti ISIS, Gafatar, tragedi Sarinah dan beberapa aksi teror terorisme yang saat ini mencuat kembali.
Stigma radikalisme lalu secara langsung menginisiasi kita untuk menggolongkannya pada tindakan brutal, radikal, alias kekerasan atau terorisme yang berujung maut.
Sebagai faktor yang memicu gejolak radikalisme, pertama-tama kita akan mulai berangkat dari mempertanyakan imunitas integritas bangsa. Menurut AS Hikam dalam bukunya yang berjudul Deradikalisasi: Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme disebutkan bahwa imunitas intregitas itu ada dua, yaitu dalam ruang-lingkup internal dan eksternal.
Pertama. faktor internal yang mempertanyakan kekuatan bangsa, sebagai bangsa multi etnis, bahasa, agama dan budaya. Dalam catatan sejarah bangsa, sering dijumpai peristiwa kekerasan yang berlatar-belakang faktor internal tersebut. Seperti di Poso, Maluku, Sampit, Papua, Aceh, dan masih banyak lagi. Faktor kesenjangan sosial-ekonomi juga semakin membuka celah masuknya ideologi-ideologi radikal.
Selain itu, iklim demokrasi Indonesia saat ini memberikan ruang gerak bagi ideologi lama maupun baru yang secara silih-berganti datang, baik dari dalam maupun luar negeri (transnational ideology). Oleh karena itu, tidak heran jika pemikiran radikal mudah melebar dan menyebar luas di wilayah Indonesia. Salah sedikit saja dalam interpretasi-logis Pancasila sebagai pandangan hidup, luntur nilai berdikari dari negara demokrasi.
Kedua, faktor eksternal yang menyangkut ihwal keamanan nasional. Gerakan radikalisme menantang eksistensi keamanan nasional. Kekuatan keamanan nasional sendiri, tidak terlepas dari sinergitas antara aparat keamanan serta masyarakat sipil. Keamanan yang kurang terstruktur secara baik, akan membahayakan integritas bangsa.
Jihad Deradikalisasi
Bangsa Indonesia yang masih diakui sebagai negara demokratis dan menjadi pemimpin negara-negara Non-Blok, negara-negara Selatan, ASEAN, dan Dunia Islam oleh masyarakat Internasional, saat ini, seolah telah menjelma menjadi sarang gerakan radikalisme yang berskala global pula regional.
Tidak berhenti di situ, gerakan tersebut juga menjamah akar ideologis bangsa Indonesia. Ideologi bangsa sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara acapkali dinafikan nilai dan norma yang termuat di dalamnya. Ideologi bangsa bak mata uang yang memiliki dua sisi berbeda. Ia menjadi obat sekaligus virus dalam satu waktu.
Ihwal metode serta proses deradikalisasi, dengan kesungguhan, penanggulangan terorisme merupakan sebuah kegiatan yang fardu dicanangkan secara sistemik, menyeluruh, integral dan integratif melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders).
Radikalisme dengan kebrutalannya, pada dasarnya dapat dihentikan, ditiadakan, atau paling tidak dinetralisir dengan antonimnya sendiri, yakni deradikalisasi. Deradikalisasi sebagai kata kerja memuat dua komponen, disengagement atau pemutusan dan deideologization atau deideologisasi.
Selain itu, pelibatan spektrum edukasi sangat penting sebagai inkubasi budaya damai di sekolah-sekolah. Sebagai tonggak peradaban, unsur pendidikan dapat dilakukan melalui sosialisasi program deradikalisasi via media massa, media sosial, baik personal, interpersonal, maupun secara kelembagaan. Sehingga kolektifitas aparat keamanan dan peran masyarakat sipil menjadi jelas tugas dan tanggung jawabnya.
Oleh karenanya, secara sadar, upaya deradikalisasi melalui penguatan masyarakat sipil adalah kepatutan kita mengapresiasi secara total. Sebagai upaya penanggulangan radikalisme secara ideologis-represif ala kultur bangsa Indonesia, dan supaya program deradikalisasi tidak hanya berhenti di bibir dan menguap tertelan angin.