Perdebatan Isra Miraj Nabi sehubungan dengan ruh d/a jasad mungkin sudah cukup familiar di sebagian kalangan kita. Tapi tidak ada salahnya kita cermati kembali sebagai bahan menasehati diri, karena se-berbeda apapun gagasan-gagasan para ulama, tetap saja akan ada hikmah dan makna yang bisa dipetik.
Seperti yang dikatakan sebelumnya, fenomena Isra Miraj memantik beragam perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Seorang ulama Andalusia dan seorang pakar hadis pada zamannya, al-Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H), mengkategorisasi perbedaan pendapat-pendapat ulama mengenai aspek Isra’ Mi’raj ini sebagai berikut:
Pertama, Ulama yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj dilakukan dengan ruh saja; Kedua, Ulama yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj dilakukan dengan ruh dan jasad; Ketiga, Ulama yang mengatakan bahwa Isra’ dilakukan dengan jasad saja, dan Mi’raj ruh saja; Keempat, Ulama yang mengatakan bahwa semua itu hanya terjadi dalam mimpi; Kelima, Ulama yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj merupakan kasyaf (fenomena batin dengan cara diperlihatkan hal-hal gaib melalui terbukanya hijab); Keenam, Ulama yang mengatakan bahwa Isra’ Mi’raj dilakukan dengan cara penguraian molekul-molekul sebagaimana zat kimia bereaksi.
Dari sekian pendapat tersebut, pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama salaf maupun mutaakhirin baik ahli fiqih, ahli hadis, dan ilmu kalam adalah bahwa Isra’ Mi’raj yang dialami Nabi MuhammadSaw terjadi dengan melibatkan ruh dan jasad sekaligus.
Seorang ulama hadis besar bernama Ibnu Hajar juga mendukung pendapat mayoritas ulama tersebut dengan mengatakan, “sesungguhnya Isra Miraj terjadi dalam waktu semalam dengan jasad dan fisik Rasulullah Saw dan beliau dalam keadaan sadar. Terjadi setelah beliau diangkat menjadi Nabi . . .”
Ulama yang memegang prinsip tersebut mengatakan bahwa jika kejadian luar biasa itu hanya dikatakan sebuah mimpi, lalu apa istimewanya Isra Miraj? Dan jika dikatakan hanya melibatkan ruh, lalu mengapa Allah menyediakan buraq? Tentu ini juga menjadi ujiian keimanan bagi setiap Muslim.
Lagipula, ayat pertama surat al-Isra’ sudah cukup membantah kedua argumentasi soal Isra Miraj, yaitu apabila peristiwa Isra Miraj hanya melalui mimpi, maka ia akan menyelisihi firman Allah QS. al-Isra’, “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dan, jika hanya ruh yang melakukan perjalanan Isra’ Mi’raj, maka akan berlawanan dengan kalimat “bi ‘abdihi” yang ada dalam ayat tersebut di atas. Kata “ bi ‘abdihi ” di sini sekaligus menjadi penolakan sebagian orang bahwa perjalanan malam hari Rasulullah Saw ini hanya terjadi dengan ruhnya saja tanpa jasad, padahal kata “abd” (hamba) dipakai untuk ruh beserta jasadnya sekaligus, sehingga tidak ada orang yang mengatakan ruh itu sebagai “abd” atau jasad yang tidak ber-ruh sebagai “abd“.
Semua beragam perbedaan pendapat tersebut hanyalah sebuah diskursus yang tidak perlu dijadikan sebagai masalah berarti. Di luar diskursus itu, kita dapat mengambil hikmah dan nilai-nilai. Pertama, Allah Swt tidak akan meninggalkan hamba-Nya sendirian dalam kesedihan yang berlarut-larut. Pasca NabiSaw ditinggal oleh kedua orang terkasihnya (Abu Thalib kemudian tiga hari berselang Khadijah menyusul wafat), Allah “menghibur”nya dengan peristiwa fenomenal ini.
Kedua, cobaan yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw sebelum Isra Miraj tersebut merupakan ujian untuk meningkatkan kualitas keimanan. Sama seperti pandemi Covid-19 yang sedang terjadi, alangkah baiknya jika kita maknai sebagai cobaan untuk meningkatkan kualitas keimanan kepada Allah. Dan masih banyak pelajaran-pelajaran lainnya yang tentu setiap orang bisa menggalinya secara mandiri. Wallahu a‘lam … (AK)
BACA JUGA Kisah Isra Miraj: Langit Cemburu pada Bumi lalu Merayu Tuhan agar Dikunjungi Nabi Muhammad atau artikel-artikel Isra Miraj menarik lainnya