Tidak ada yang keliru dengan “tepuk anak soleh”. Lha gimana, masak salah ngajarin anak-anak untuk rajin salat, rajin ngaji, dan menghormati orang tua. Luhur sekali.
Setidaknya sampai genre tepuk itu belum tersusupi senarai diksi “Islam, Islam yes, kafir, kafir no”, saya dan mungkin kalian, kawula milenial, telah kenyang dengan tepuk tersebut di forum-forum TPA atau Rohis lainnya semasa kanak-kanak atau remaja. Dan, inilah masalahnya.
Mengapa harus ada penegasan supremasi Islam atas kafir di penghujung tepuk yang ntah kenapa belakangan ini ia berubah judul menjadi “tepuk pramuka No Kafir”?
Apakah gara-gara tepuk itu dibunyikan di acara Pramuka lantas ia menjadi tepuk pramuka? Bukankah si Kakak Pembina yang bersangkutan sudah mengaba-aba….”tepuk anak soleh!!!” Lalu, prok, prok, prok… dan seterusnya, dan seterusnya. Tapi bukan ini poin saya.
Kembali ke supremasi Islam. Memang, Islam itu ya’la walaa yu’la alaih. Tertinggi deh pokoknya. Saya pun betul-betul mengimani dan bangga terhadapnya. Tapi, bukankah Islam sendiri secara hakiki bermakna tunduk? Jadi yang betul yang mana? Tertinggi kok tunduk.
Nah, sebelum jauh ke sana, satu hal yang pasti adalah sejauh ini belum jelas tentang kepastian siapa pengarang sorak-sorai itu dan apa pula motif di balik penyematan “Islam Yes, kafir no”. Namun sebagai penganut tarekat “the author is death and the text speaks its self”, mari kita bedah tipis-tipis.
Pertama-tama, agar supaya tidak terlepas dari konteks, seperti telah kita ketahui bersama bilamana “tepuk anak soleh” menjadi perbincangan publik karena ia menggema di sebuah kegiatan Pramuka di Yogyakarta.
Bahkan, saking gencarnya pembicaraan tepuk ini, Sri Sultan HB X dan ulama sekaliber Gus Mus angkat bicara, karena tentu saja sebelumnya telah ditanyai wartawan. Pada intinya, mereka dan banyak pihak menyesalkan mengapa tepuk itu salah tempat.
Kedua, namanya juga yel-yel, ia ada untuk memecah kejumudan. Dan, “tepuk anak soleh” ini sudah seperti hidangan wajib di sela-sela kegiatan TPA.
Saya juga tidak tahu secara pasti bagaimana proses penyebaran dan penyuapannya hingga kebanyakan anak-anak cukup fasih dalam merapalnya. Yang jelas, “tepuk anak soleh” ini ampuh sekali untuk mencuri perhatian atau mengetes kekompakan.
Medio 2016, saya pernah mengampu TPA di bilangan Gunung Kidul, Yogyakarta. Pesertanya adalah kebanyakan anak-anak seumuran lima sampai sepuluh tahunan. Dan, Anda tahu sendiri kan betapa ribetnya ngurusin anak-anak umuran segitu.
Ya, alih-alih mangut-mangut menyimak guru ngaji, mereka justru lebih suka bermain dan bercanda. Dan ketika itu terjadi, saya biasanya langsung memberi aba-aba: “tepuk anak soleh!!”. Serentak, mereka pun prok-prok-prok, dan seterusnya. Ampuh sekali. Kompak sekali.
Yah, meski sejurus kemudian mereka kembali larut dalam canda, setidaknya “tepuk anak soleh” kembali mengingatkan bahwa mereka sedang belajar mengaji dan bukan untuk, misalnya, main petak umpet yang kalau Anda teriaki “tepuk anak soleh” sampai Amien Rais jadi presiden pun mereka gak akan terkoneksi satu sama lain.
Terus terang, saya sempat husnuzon jika Pembina Pramuka yang bersangkutan mengalami situasi serupa. Tapi kemudian prasangka baik itu terbantahkan oleh fakta bahwa itu adalah kegiatan Pramuka.
Jadi, betapapun alasannya, hal itu tetap tidak bisa dibenarkan mengingat Pramuka adalah kegiatan yang melibatkan tidak saja orang soleh, tetapi juga ada banyak anak solehah, dan bahkan mereka yang non-Muslim. Ringkasnya, Pramuka bukan kegiatan keagamaan.
Lagi pula, naini, ungkapan “Islam Yes, Kafir No” dalam tepuk anak soleh 4.0 itu sebetulnya juga bermasalah. Kalau sekarang dibilang “Islam yes”, itu Islam yang mana?
Ada Islam menurut ustaz A, dan sebaliknya ada Islam menurut ustaz B, begitu seterusnya sampai puluhan abjad bahkan tidak mampu menampungnya. Ada yang berpandangan bahwa Islam itu adalah kesadaran spiritual untuk berpasrah secara total kepada Yang Maha Kuasa sehingga tidak ada waktu untuk membesarkan diri sendiri. Begitupun sebaliknya, ada yang meyakini kalau Islam itu sebatas institusi keagamaan yang pokoknya harus sepaneng, arogan, ngamukan, dan menang sendiri.
Inilah faktanya. Islam, atau lebih tepatnya tafsir Islam, itu sungguhlah beragam sekali.
Itu belum termasuk ustaz yang jangankan kepada non-muslim, sesama muslim saja kadang dikatain kafir manakala berseberangan tafsir Islam. Kalau tidak percaya, lihatlah jejak digital seorang jawara “plat B” beberapa waktu lalu yang menuding kafir seseorang hanya karena teradapat anggota Banser menolak takbir paksa.
Di titik kerumitan inilah sorak-sorai “Islam yes, kafir no” menjadi sangat problematis. “Kafir” tidak lagi bermakna sebagaimana di zaman Nabi yang hanya dialamatkan kepada mereka yang benar-benar jahat dan biadab. Sekarang justru sebaliknya, “kafir” telah melembaga menjadi serangkaian diksi ofensif untuk mendelegitimasi bahkan meniadakan pihak yang berlawanan.
Tentu anak-anak tidak mengerti akan hal ini. Tapi paling tidak, teruntuk para Rohis atau para ustaz dan ustazah semestinya sadar akan ambiguitas atau potensi terburuk dari ngafirin orang itu.
Pasalnya, ketika itu tetap dijejalkan kepada anak-anak, saya justru khawatir kalau, kelak ketika dewasa, mereka akan mudah mengkafirkan siapa saja, termasuk guru TPA-nya, yang tidak sepemikiran atau setafsir tentang Islam. Ini tentu berbahaya, kendati kekhawatiran itu juga terlampau berlebihan juga saya kira.