Memiliki nama pena Afi Nihaya Faradisa. Pelajar SMA asal Banyuwangi kini menjadi artis sosmed karena tulisannya yang berjudul “Warisan” viral, sampai hari ini. Afi dinilai berani dalam menyerukan persatuan di media sosial di tengah masyarakat yang haus akan perdamaian dan nilai-nilai kebinekaan.
Kemarin siang (Senin, 29/05) Afi diundang oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta dalam acara Talkshow Kebangsaan. Kebetulan saya tidak hadir di sana, dan hanya mengamati dialog selama 1,5 jam lebih itu di sini.
Apa yang disampaikan Afi dalam forum itu banyak menginspirasi saya. Dan saya yakin, peserta yang hadir di sana pun pasti akan mengalami hal serupa. Bahkan, yang bertanya kepadanya pun beragam, terdiri dari pelajar SMA, guru SD, dosen, aktifis, akademisi, dan lain-lain. Batin saya, ini anak gila, keren bingits! Jawabannya pun memuaskan. Kalau di bulan Ramadan Tuhan ngasih doa mustajab kepada saya, saya akan request; semoga Afi bisa satu forum dengan Zakir Naik, berdialog dan berbicara tentang keberagaman dan kebangsaan, sementara saya sebagai moderatornya.
Dari apa yang disampaikan pemilik nama asli Asa Firda Inayah tersebut, ada dua poin penting yang saya catat untuk kaum beragama, terutama umat Islam. Pertama, adalah soal fitroh manusia yang diciptakan oleh Tuhan tidak sama, tidak seragam, alias berbeda.
Afi menjelaskan, keberagaman itu akan menjadi rahmat dan berkah jika kita dewasa dan bijak menyikapinya. Keberagaman sangat mengancam diri kita jika kita tidak bisa menyikapinya secara benar. Di negeri ini yang sangat beragam ini kita tidak bisa menunjuk, kamu Jawa, kamu lebih rajin dari etnis Cina, kamu adalah Kristen, Tuhan kamu tidak benar, yang benar saya, itu tidak bisa.
Kita memang bebas meyakini, suku, kebangsaan, agama (yang paling benar), namun kita tidak perlu menunjukkan atau menyodorkannya (kamu salah), apalagi memaksakan kepada orang lain.
Di dalam al-Qur’an sendiri, Allah Swt berfirman di beberapa ayat (Sila buka: QS. Al-Ma’idah: 48, QS. Hud: 118, QS. AN-Nahl: 93, QS. Asy-Syura: 8) yang intinya: Sekiranya Allah berkehendak pastilah semua manusia menjadi satu ummat. Namun faktanya, tidak bukan?
Agama Islam saja banyak madzhabnya, banyak alirannya. Dalam fikih, kita mengenal empat madzhab besar; Syafi’i Maliki, Hanafi, dan Hambali. Ada yang ketika wudlu disaat membasuh kepala mensyaratkan seluruhnya harus dibasuh, ada yang cuma mengusap rambut (bagian kepala) sudah cukup, dan sah. Ada yang batal wudlunya karena bersentuhan lawan jenis, ada yang berpendapat tidak batal asal tidak bersyahwat. Ada aliran Islam yang ketika takbiratul ihram memakai bacaan “Allahhu Akbar Kabiiro”, ada yang memakai bacaan “Allahhumma Ba’id Bayni”. Terus apakah sah shalatnya? Sah!
Kedua, umat beragama harus berfikir terbuka (open minded). Mengapa kita harus open mind? Afi menjelaskan, kalau pikiran itu bagaikan parasut, hanya berfungsi ketika terbuka, dan terbuka terhadap apa saja. Kalau saya mengartikan, yang dimaksud berpikir terbuka hari ini adalah membuka ruang dialog dan menghargai kebenaran yang masing-masing orang lain yakini. Dengan kata lain, tidak mudah menyesatkan, dan tidak gampang mengafirkan.
Jika kita bisa bersikap demikian, maka pertanyaan Amir Syakib Arslan (1944) yang secara retoris menulis karangan “Limadza taakhar al-muslimun wa taqaddama ghairuhum” (kenapa umat Islam mundur sedangkan bangsa atau kelompok lain maju?) bisa dicarikan jawabannya.
Di akhir tulisan “warisan”nya pun Afi mengkritik: Ketika negara lain sudah pergi ke bulan atau merancang teknologi yang memajukan peradaban, kita masih sibuk meributkan soal warisan.
Dan saat ini yang dibutuhkan oleh umat adalah ruang dialog, sementara dialog itu dapat tercipta ketika antara satu dengan yang lain mempunyai pikiran terbuka. Bersikap inkusif. Bagaimana kita bisa bekerjasama kalau saling menutup diri? Bagaimana kita bisa memecahkan persoalan bangsa kalau sama-sama saling curiga? Bagaimana kita bisa menikah kalau masing-masing tidak mau menerima perbedaan?
Dan Islam warisannya Afi adalah Islam yang terbuka, moderat, toleran, dan tidak suka mengafirkan. Islam warisan itulah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Ketika membincang warisan, tentu ada pewarisnya. Nabi pernah bersabda, al-ulama warasatul anbiya’. Ulama’ adalah pewaris para nabi. Ketika ada orang yang disebut sebagai ulama tetapi tidak mewarisi akhlak, perilaku, tindak tanduk, sopan santun, sebagaimana yang diajarkan oleh nabi, namun malah suka menebar hujatan dan kebencian, lalu ajaran siapakah yang ia warisi? Wallahhu a’lam.
Muhammad Autad An Nasher, penulis bisa disapa lewat akun twitter @autad