Awal Agustus lalu, Selasa (1/08/2017), kejadian memilukan terjadi di Bekasi. Pria bernama MA (M Alzahra), yang diduga mencuri amplifier mushalla al-Hidayah, Desa Hurip Jaya, Kecamatan Babelan, Bekasi, dibakar hidup-hidup. Warga juga mengarak MA dari jembatan hingga pasar, sebelum dibakar secara biadab. Sungguh merupakan aksi yang menyedihkan.
Ini peristiwa mencengangkan di luar akal sehat. Meski luapan amarah, kejengkelan dan kegeraman bisa dimengerti, akan tetapi pembakaran manusia hidup-hidup tetap tidak bisa dimaklumi. Apalagi, luapan orang-orang—yang sering dianggap massa—digerakkan oleh kebencian, dan amarah yang tidak bisa diredam. Jikalau terbukti MA bersalah, ada jalur proses hukum yang dapat ditempuh, bukan dengan membakar tubuhnya seperti hewan tanpa marwah, seperti bukan manusia.
Sungguh agama kita tidak mengajarkan kebencian dan kebiadaban seperti itu. Agama apapun, saya kira akan mengutuk tindakan ini, akan mengecam mereka yang tidak dapat menahan amarah dengan membunuh, atau membakar tubuh manusia. Ini tindakan biadab, bar-bar, dan menyakitkan.
Nilai-nilai keindonesiaan kita juga tidak mengajarkan cara-cara keji seperti itu. Masih ada ruang bertanya, proses pengadilan dan seterusnya. Masih ada pemerintah desa, polisi dan aparat hukum yang berwenang mengurusnya. Ataukah, masyarakat kita sudah jenuh dengan rentetan proses hukum yang kadang berbelit? Atau, yang lebih mengkhawatirkan, akankah agama sudah disalip oleh amarah? Dimana Islam Indonesia yang dianggap sebagai rujukan toleransi umat beragama?
Di tengah letupan amarah, kebencian dan gelombang prasangka yang sedang pasang, kita perlu berhenti sejenak untuk merenung. Kita perlu jeda untuk memikirkan kembali sisi kemanusiaan kita, nilai luhur Nusantara yang sering diagung-agungkan.
Saya kira tidak. Masih ada harapan untuk berbuat baik dan menebar kasih sayang, mengkampanyekan welas asih. Orang-orang dengan beragam komunitasnya masih tetap menebar kebaikan, dengan caranya masing-masing, dengan tiap-tiap kemampuannya.
Apa yang dilakukan Gus Mus, Quraisy Syihab, dan beberapa kiai waskita, para begawan agama kita, masih menjadi tumpuan harapan untuk kesejukan agama. Mereka tetap setiap menebarkan kebaikan, melalui ceramah di berbagai kota, tausyiah di televisi, youtube maupun kuliah-kuliah singkat di media sosial.
Haidar Bagir, menebarkan Islam sebagai agama ramah, bukan agama marah. Ia bersama beberapa tokoh dan komunitasnya, menggerakkan pemahaman Islam sebagai agama damai, dengan Gerakan Islam Cinta. Gerakan ini yang telah berjalan beberapa tahun, dengan menyelenggarakan event diskusi, bedah buku dan pelatihan perdamaian bagi pendidik, mampu menggerakkan komunitas-komunitas untuk aktif menyebarkan cinta kasih. Ini beriringan dengan gerakan compassionate city, yang mendorong penyelenggara dan aktifis di beberapa kota untuk membangun kotanya sebagai “kota cinta”, kota welas asih.
Dalam sabda Nabi Muhammad, al-hubb asaasy, cinta adalah asas (ajaran agama)ku. Wajah Islam sebenarnya wajah cinta, wajah welas kasih. Islam bukanlah ajaran yang penuh amarah, apalagi mengajarkan pemeluknya untuk saling atau menghina mereka berbeda keyakinan.
Dalam sebuah riwayat, Imam Ja’far as-Sadiq, juga menggemakan Islam sebagai agama welas asih. Agama yang menebar pesona cinta. “Apalagi agama kalau bukan cinta?… Agama itu cinta, dan cinta itu agama,” demikian petuah Imam Ja’far. Petuah Imam Ja’far demikian dahsyat, di tengah mara bahaya para pemeluk agama yang berkobar amarah. Jika Islam sebagai agama cinta, tentu saja, tidak ada yang kesepian, tidak ada yang jomblo, dan para tuna asmara tidak meras nelangsa.
Kita perlu mengisi ruang kosong nurani kemanusiaan kita dengan ajaran-ajaran agama yang mengajarkan kebaikan, mengkampanyekan kasih sayang.
Ayolah, jangan sampai amarah dan kebencian menggerogoti hidup kita. Dalam petuah Gus Dur, Islamku, Islam anda, Islam kita: Islam cinta. [Munawir Aziz]