Kalau kita berbicara tentang hubungan Islam dengan sains, yang terlintas di benak kita adalah ilmuwan-ilmuwan muslim yang hidup sekitar 1.000 tahun yang lalu. Sebut saja, al-Farabi, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Hayyam, Ibnu Haytham, Ibnu Rusyd dan lain sebagainya.
Pengaruh para ilmuwan Islam untuk dunia kala itu sangat besar. Bahkan sampai hari ini. Hanya orang barat arogan saja yang tidak mau mengakui peran Islam dalam perkembangan sains.
Sejarah membuktikan, Islam hanya perlu sekitar 150 tahun dari pertama kemunculannya tahun 610 hingga mencapai masa keemasannya. Bahkan, ibu kota dinasti Abbasiyah, Baghdad disebut sebagai mercusuar peradaban yang cahayanya menyinari segala arah dan meliputi beragam bangsa.
Sekarang, umat Islam hanya mampu mengenang romantisme masa lalu. Hari ini, ilmuwan Islam yang punya pengaruh besar terhadap perkembangan sains bisa dihitung jari.
Sebut saja Mohammad Abdus Salam dari Pakistan yang mendapat Penghargaan Nobel bidang Fisika pada tahun 1979. Kemudian, Ahmad Zewail dari Mesir yang dianugerahi Penghargaan Nobel bidang Kimia tahun 1999. Yang belum terlalu lama ada Aziz Sancar dari Turki yang juga dianugerahi Penghargaan Nobel bidang Kimia tahun 2015.
Tiga Penghargaan Nobel dari tiga negara Muslim di bidang sains memang bukan pencapaian yang buruk. Tetapi, kalau bandingkan dengan Israel yang menyabet 8 Penghargaan Nobel, kok rasa-rasanya Islam tidak ada apa-apanya.
Kenapa Hubungan Sains dan Islam Merenggang?
Ada banyak faktor meredupnya sains dari masa kejayaan Islam. Salah satunya adalah invasi bangsa Mongol pada tahun 1257 yang memporak-porandakan jantung peradaban Islam, Baghdad. Baitul Hikmah, lembaga ilmu pengetahuan dihancurkan. Naskah-naskah penting dibakar dan dibuang ke sungai.
Tidak ada yang meragukan bagaimana Islam mendorong umatnya untuk terus belajar. Islam aliran apa pun (dari yang mendukung aksi kekerasan sampai yang membolehkan perempuan tidak berhijab) pasti setuju kalau belajar itu penting.
Hanya saja, hari ini kita mengklasifikasikan ilmu pengetahuan menjadi dua bidang: 1) ilmu agama dan 2) sains. Dikotomi semacam ini membuat banyak orang berpikir bahwa yang penting dan dianjurkan adalah mempelajari ilmu agama saja.
Belajar agama tanpa memahami konteks yang ada justru bisa berbahaya. Memang benar agama adalah pedoman hidup dan peta penunjuk jalan. Tetapi, hari ini kita berada di kehidupan dan jalan yang berbeda dengan kehidupan dan jalan saat Islam pertama kali turun.
Ibarat berkelana di tahun 2020 dengan peta tahun 1945, hampir pasti kita akan tersesat! Pedoman dan peta harus disesuaikan dengan kondisi saat ini juga. Ini lah gunanya sains, yaitu untuk memahami dunia dan kondisi hari ini.
Persepsi bahwa belajar ilmu agama saja sudah cukup terus dipupuk oleh mereka yang dianggap sebagai ulama. Akhirnya umat Islam makin tersesat, bingung dan kalut melihat kondisi hari ini. Ketidakmampuan menjawab zaman membuat kita berkutat di permasalahan yang itu-itu saja.
Baca juga: Dapatkah Dunia Islam Kembali Ke Cahaya Ilmu Pengetahuan?
Haram atau halal mengucapkan natal, memilih pemimpin non-muslim, bunga bank, sertifikasi halal, khalifah dan hal remeh-temeh lainnya. Yang paling parahnya lagi, umat Islam sering kali direduksi menjadi angka-angka yang bisa dieksploitasi untuk meraup suara.
Mencari jalan keluar
Bukan rahasia lagi kalau kunci kemajuan sebuah negara sangat ditentukan oleh kemampuan menguasai sains dan teknologi. Islam pernah mengamalkan resep tersebut dan menghasilkan sebuah peradaban yang paling maju di masanya.
Hari ini, resep tersebut masih berlaku. Menurut Scimago Journal, negara yang paling banyak mempublikasikan jurnal ilmiah adalah Amerika Serikat, Tiongkok, Inggris, Jerman dan Jepang. Faktanya, 5 negara tersebut adalah negara yang paling maju dan menjadi pusat peradaban dunia saat ini.
Kalau umat Islam mau maju, tidak ada cara lain selain mempelajari sains. Cara pertama adalah mengakui ketertinggalan dan melihat fakta yang ada di sekitar. Negara-negara maju bisa mencapai kemajuan karena mengembangkan sains dan teknologi.
Mari kita tiru cara dinasti Abbasiyah memproleh kejayaan. Kala itu, mereka mencari pengetahuan sejauh yang mereka bisa cari. Para pemimpin memberikan hadiah besar bagi siapapun yang bisa menterjemahkan buku ilmu pengetahuan dari bahasa asing ke bahasa Arab.
Buku-buku filsafat Yunani Kuno, buku-buku pengetahuan medis dari Cina, matematika India dan lain sebagainya diterjemahkan secara masif ke bahasa Arab. Hasilnya? Ilmuwan-ilmuwan besar lahir seperti yang sudah disebutkan pada paragraf pertama.
Sekarang, kita tidak perlu lagi melakukan ekspedisi berhari-hari ke ujung dunia untuk mencari ilmu pengetahuan. Saat ini, detik ini juga kita bisa mendapatkan banyak sekali ilmu pengetahuan hanya dengan menyentuhkan jari ke benda yang sedang kamu pegang saat membaca tulisan ini.
Tantangan sains modern
Jasa terbesar dari ilmuwan Islam Ibnu Haytham adalah merumuskan metode saintifik yang menganjurkan seseorang untuk mengikuti bukti dan fakta meskipun bertentangan dengan apa yang sudah dipelajari sebelumnya. Inilah asal-usul hipotesis nol dan hipotesis alternatif yang wajib digunakan saat penelitian ilmiah, termasuk saat mengerjakan skripsi.
Baca juga: Sains, Metode Ilmiah, dan Fenomena Cocokologi
Nah, harus diakui bahwa fakta sains modern yang saat ini sangat kokoh secara ilmiah banyak bertentangan dengan apa yang diceritakan dalam agama. Tidak ada contoh yang lebih baik selain teori evolusi yang dipopulerkan Charles Darwin.
Bagaimana mengurai kontradiksi antara cerita Nabi Adam sebagai manusia pertama dan teori evolusi yang menyatakan manusia dan simpanse punya nenek moyang yang sama?
Belum lagi soal penciptaan alam semesta, kesadaran, moralitas dan lain-lain. Sains modern punya temuan sendiri yang bertentangan dengan cerita agama. Ini adalah tantangan intelektual muslim.
Lalu, apa hukumnya membuat makhluk (artificial intelligence) yang bisa berpikir seperti manusia? Apa hukumnya memanfaatkan data pribadi orang lain untuk memasarkan sebuah produk?
Saya pribadi berkeyaninan bahwa agama tidak akan bertentangan dengan sains. Seperti kata Ibnu Rusyd dalam buku Tahafut at-Tahafut:
“Kami tahu betul bahwa berpikir logis tidak akan sampai menentang agama, karena kebenaran tidak akan menentang kebenaran. Justru kebenaran yang satu akan menguatkan kebenaran yang lainnya.” (AN)
Wallahu A’lam.