Islam Indonesia: Perang Ideologi atau Komoditas Politik?

Islam Indonesia: Perang Ideologi atau Komoditas Politik?

Islam Indonesia: Perang Ideologi atau Komoditas Politik?

Beberapa hari yang lalu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan tidak menerima gugatan 7 ormas dan perorangan dalam gugatan atas terbitnya PERPPU soal Organisasi Masyarakat yang sempat heboh kemarin. Alasan Mahkamah Konstitusi tidak menerima gugatan ini sebab PERPPU tersebut sudah disahkan oleh DPR Republik Indonesia untuk menjadi Undang-undang.

Penggugat dari PERPPU tersebut adalah mereka yang mengklaim bahwa PERPPU yang sudah sah menjadi UU ini akan menjadi alat pemerintah dalam melakukan tindakan refresifnya dan membungkam kebebasan berkumpul. Menurut mereka inilah tanda dari kelahiran kembali ideologi komunis notebene PKI, karena melihat dalam sejarah Indonesia dalam versi mereka, PKI sering menjadi pangkal penghapusan atau menentang partai yang berideologi agama khususnya Islam. Klaim ini menjadi “bensin” yang selalu dijual khususnya untuk melawan rezim pemerintah saat ini.

Perang ideologi inilah yang akan saya bincangkan dalam tulisan saya ini. Apakah perang ideologi ini benar-benar terjadi? Inilah yang saya coba jawab dalam tulisan ini. Namun untuk lebih baiknya, mari kita lihat bagaimana sudut pandang HTI dalam memandang persoalan perang ideologi ini. Kenapa saya lebih memilih HTI sebagai representasi dalam melihat persoalan ini, karena dalam beberapa pengalaman saya mereka lah yang paling gencar bicara persoalan ini.

Gahzwul Fikr adalah terminologi yang sering dipakai oleh gerakan HTI untuk menyebutkan bahwa dalam peran menegakkan agama (baca:Syariat) Allah pasti akan menjalani fase ini, sebab perang pemikiran (baca: ideologi) ini adalah bagian yang tak terlepas dari usaha pemurtadan atau minimal mendangkalkan akidah para muslimin dari agamanya.

Misi penaklukan kaum muslimin di masa lalu diklaim memakai metode 3G, yaitu Gold, Glory dan Gospel, maka sekarang sudah meningkatkan metode mereka dengan istilah 3F, yakni fashion, food dan film. Langkah-langkah ini ditempuh untuk menjauhkan umat muslim dari ajarannya. Pemikiran umat terus dicecoki dengan pola pikir komunis, liberal, atau kapitalis, maka kecenderungan mereka untuk menerima salah satu dari paham tersebut. Disinilah HTI selalu menganggap bahwa umat muslim akan mengalami ancaman dan penindasan.

Menurut saya dari sinilah kesalahan HTI dan kawan-kawannya dalam memahami, bagaimana perang ideologi atau Ghazwul Fikr itu sebenarnya. Karena jika kita memakai kerangka berfikir yang diperkenalkan oleh Ernesto Laclau dalam memandang persoalan perang ideologi ini maka tidak sederhana seperti pemahaman HTI beserta kawan-kawannya.

Semua pemikir muslim baik yang beraliran kanan, kiri ataupun antara keduanya, pasti menghendaki perubahan. Perjuangan intelektual memfokuskan pada arah kekuatan yang akan mempengaruhi perubahan. Oleh sebab ini kita perlu melihat bagaimana perjuangan intelektual ini dalam dimensi sosiologis dan epistemologis.

Teori yang perlu kita yakini adalah pemikiran tidak lahir dalam ruang hampa, dan bahkan ia bukan semata-mata refleksi atas realitas. Realitas yang kita maksudkan di sini adalah dunia fisik, sistem relasi sosial yang kompleks dan persepsi manusia yang merupakan titik tolak pemikiran. Ketika sebuah pemikiran menyadari dirinya sendiri dalam hubungan dengan realitas, otonomi realtifnya adalah otonomi yang berusaha merubah realitas sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang dipahami, dan kesuksesan upaya ini merupakan fungsi dari kontrol dari realitas itu sendiri.

Michel Foucault menganalisis hubungan antara pengetahuan dan kekuatan, dan dia menjelaskan tidak akan ada kekuatan yang dapat berkuasa tanpa wacana tertentu yang mempertahankan dan mendukung persepsi masyarakat terhadap realitas. Foucault menyebutnya “relasi kuasa”, sebuah kekuatan yang mengontrol pengetahuan yang masuk ke komunitas yang sedang dikuasai.

“kebenaran” yang disebarkan atau dimasukkan kepada komunitas tersebut haruslah bisa diterima dan menjadi acuan persepsinya terhadap realitas. Dengan kata lain, “kebenaran” tersebut bukan cuma diterima tapi juga berhasil mengejewantah dalam kehidupan masyarakat atau komunitas tersebut. Inilah menyebabkan perlu kajian yang mendalam untuk menemukan relasi kuasa dalam sebuah ideologi masyarakat.

Kajian-kajian ilmu sosial sekarang, khususnya para pemikir neo-Marxis mulai mendalami kajian soal wacana, psikologi sosial, dan struktur sosial dalam perkembangan ideologi. Michel Foucault, Ernesto Laclau, Louis Althusser dan lain-lain adalah tokoh-tokoh yang cukup fokus mendalami persoalan ideologi masyarakat ini.

Althusser pernah menegaskan bahwa ideologi akan menuntut semua individu sebagai subjek dan menyerukan agar mereka mengenal dirinya melalui mekanisme identifikasi. Teori dari Althusser ini kemudian dipertajam oleh Pecheux dengan menambahkan dua mekanisme interpelasi dalam mempertahankan sebuah ideologi dominan.

Pertama, counteridentifikasi dengan menolak identitas yang ditentukan oleh praktik ideologis yang berkuasa sehingga tetap menjadi subordinat terhadap lawan-lawannya. Kedua, disidentifikasi dengan menolak praktik-praktik ideologi yang ada untuk mentrasformasikannya dan mengganti ideologi dominan.

Di sisi lain, Ernesto Laclau menekankan fungsi kontradiksi di antara wacana ideologi dan upaya mempertarungkan untuk bertahan melalui pertarungan dan transformasi ideologi. Menurut Laclau, wacana ideologi dominan akan tetap bertahan selama formasi sosial yang menghasilkannya mampu memarjinalkan, menyerap dan menetralisir antagonisme kelas atau kelompok yang didominasi. Inilah yang terjadi di Indonesia, terlebih di masa orde baru. Pada masa sekarang, Indonesia terkesan memakai wacana yang dominan yang lain untuk menyaingi ideologi yang coba disubordonasi.

Terakhir saya akan melihat pemikiran Laclau soal pertarungan kelas untuk merebut hegemoni merupakan hal yang penting, karena meraih dukungan massa merupakan tujuan utama dari sebuah hegemoni yang dilancarkan yang sedang mendominasi. Di sinilah perang sebenarnya, dalam pertarungan ini yang ada hanyalah antara dominan dan kelas yang didominasi. Tidak terikat pada suku, ras, agama apalagi golongan. Posisinya bisa digantikan siapa saja, kelas dominan pun sering menggunakan kelas yang didominasi paling mayoritas untuk meraih dukungan massa.

Ghazwul fikr dan perang pemikiran ala kaum kiri, selain ada persamaan juga ada jurang perbedaan yang cukup lebar. Ghazwul fikr yang ditampilkan oleh kawan-kawan HTI lebih pada romantisisme sejarah bahwa umat muslimlah yang harus memegang kekuasaan, padahal mereka lupa penindasan atau hegemoni itu bisa dilakukan oleh siapa saja. Inilah kenapa perlu kajian sosial yang mendalam khususnya yang ditawarkan oleh kaum neo-Marxis dalam melihat persoalan ini lebih dalam dan jernih, seperti yang ditawarkan di atas.