Dalam muktamar Nadhlatul Ulama (NU) tahun 1935 di Banjarmasin,
forum menyampaikan permintaan fatwa, bagaimana status negara
Hindia Belanda dilihat dari pandangan agama Islam, karena ia
diperintah oleh pemerintah yang bukan Islam dan orang-orang
yang tidak beragama Islam? Dari sudut pandang agama Islam,
wajibkah ia dipertahankan bila ada serangan luar?
Jawaban dari pertanyaan itu cukup menarik. Negara Hindia
Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar, sebagai
kewajiban agama, karena negara tersebut menjamin kebebasan
warga negara untuk melaksanakan ajaran agama Islam. Bahan
pengambilan atau sumber rujukan yang digunakan adalah Bughyah
al-Mustarsyidin, sebuah kitab agama yang dikarang oleh
Al-Hadrami.
Fatwa di atas menyentuh dua hal yang sangat penting bagi
kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam
mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan
ajaran agama mereka, sebagai conditio sine qua non bagi
penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut, dan dengan
demikian memberikan tolok ukur yang jelas bagi kaum muslimin
dalam kehidupan mereka. Di pihak lain, Islam membiarkan
hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem
pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik
mereka ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung
memungkinkan kaum muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan
kepada ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang
bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang berkembang
adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi
keagamaan cukup kuat, seperti yang kita lihat pada kaum
muslimin dewasa ini di negeri kita. Wawasan kebangsaan dan
orientasi keagamaan itu saling mendukung, bukannya saling
menolak, seperti yang masih terjadi di negeri-negeri lain
hingga saat ini.
Walaupun secara sepintas lalu telah tercapai rekonsiliasi
definitif antara Islam dan negara, dalam hal ini terutama
dengan ideologi Pancasila, namun bukan berarti bahwa
permasalahan hubungan antara Islam dan negara di negeri kita
telah terselesaikan secara tuntas. Sebuah sisi dari hubungan
itu masih memungkinkan timbulnya friksi antara kepentingan
kaum muslimin dan kepentingan negara. Sisi itu adalah
senjangnya watak yang dimiliki keduanya. Islam, sebagai agama,
memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan
maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti
Republik Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan
nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang
berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan
kata lain, tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh
Islam dap at diberlakukan dalam kehidupan bernegara kita di
negeri ini.
Kenyataan ini mendorong kita untuk mencari landasan hubungan
antara Islam dan negara dalam bentuk yang lebih baik, dari
hanya sekedar kebebasan melaksanakan ajaran Islam bagi kaum
muslimin, seperti yang selama ini mengatur kehidupan kita
sebagai bangsa. Dengan sadar harus dilakukan upaya untuk
mencari tali pengikat yang lebih kokoh bagi kehidupan kaum
muslimin negeri ini dalam kaitannya dengan ideologi negara.
Sebenarnya upaya ke arah itu telah dilakukan oleh berbagai
kalangan, namun hinggga saat ini hasilnya masih belum
menunjukkan has il yang final . Apa yang akan dipaparkan
selanjutnya dalam tulisan ini hanyalah merupakan sebuah upaya
lanjutan belaka, dan sama sekali tidak memiliki pretensi telah
menemukan jawaban yang memuaskan. Bahkan justru sebaliknya, ia
akan mengundang lebih banyak masalah, yang diharapkan akan
mampu merangsang kegiatan kolektif kita dalam mencari jawaban
final di kemudian hari.
Seorang pemikir muslim yang melakukan rintisan ke arah
rekonsiliasi antara agama dan negara itu adalah Syeikh Ali
Abdurraziq dari Mesir. Pada tahun tigapuluhan, ia menyatakan
bahwa Islam hanya mengenal tiga sendi kehidupan bernegara,
yaitu keadilan ('adalah), persamaan (musawah) demokrasi
(syura). Apabila suatu negara telah memiliki ketiga sendi
kehidupan itu, dengan sendirinya ia dapat diterima
keabsahannya oleh Islam. Dengan segera ia mendapatkan reaksi
sangat keras dari semua kalangan, baik ulama maupun
cendekiawan muslim lainnya, apalagi dari kalangan aktivis
gerakan Islam. Ia diusir dari lingkungan Al-Azhar, tempat ia
mengajar sekian tahun lamanya, dan bukunya dibakar serta
dilarang beredar.
Mengapa demikian besar reaksi yang dihadapi? Tidak lain,
karena ia mengkesampingkan sisi normatif dari Islam, yang
telah meletakkan demikian banyak ketentuan yang terkait dengan
kehidupan masyarakat, dalam bentuk hukum agama (fiqh). Dari
fiqih itu lalu dikembangkan wawasan hukum kenegaraan yang
dikenal dengan sebutan Hukum Islam, seringkali dikenal dengan
nama lain, yaitu Syari'ah. Ali Abdurraziq melihat negara
sebagai instrumen yang terpisah dari hukum agama, dan dengan
demikian secara praktis ia memperkenalkan gagasan negara
sekuler dalam cakrawala pemikiran kaum muslimin tentang negara
dan konstitusi.
Dalam negara seperti itu, hukum agama tidak memperoleh tempat,
karena hukum yang diberlakukan adalah hukum nasional negara
itu. Islam dilepaskan dari fungsi normatifnya, dan tinggal
berfungsi filosofis belaka, yaitu sebagai dasar negara, dan
dengan demikian tidak memperoleh keabsahan sebagai sumber
hukum yang bersifat langsung. Dalam ungkapan lain, Islam hanya
berfungsi inspiratif bagi kehidupan warga negara secara
keseluruhan. Tanpa membenarkan atau menyalahkan Ali
Abdurraziq, jelas bagi kita bahwa reaksi hebat itu merupakan
bukti masih kuatnya pandangan yang berkebalikan dari
pandangannya itu. Masih cukup besar jumlah kaum muslimin yang
menentang pandangan sekuler tentang hubungan agama dan negara.
Juga terbukti masih kuat keinginan untuk memberlakukan Hukum
Islam ini dalam kehidupan bernegara, melalui legislasi ajaran
Islam dan menjadikan produknya sebagai hukum Nasional.
Gema dari tuntutan seperti itu masih terus bergaung, lebih
lima puluh tahun setelah Ali Abdurraziq menuliskan karyanya.
Di luar Indonesia, kita lihat betapa saat ini para aktivis
gerakan Islam menuntut pemberlakukan Hukum Syari'ah, yang akan
melarang Benazir Bhuto menjadi perdana menteri lagi di
Pakistan. Pada saat ini muncul kasus seorang pria yang oleh
pengadilan dilarang mengawini istri kedua, karena tidak
memenuhi persyaratan untuk itu, namun oleh banyak kalangan
(termasuk penguasa salah satu negara bagian), keputusan itu
dianggap melanggar ketentuan agama yang tidak memberlakukan
persyaratan apapun bagi perkawinan dengan istri kedua.
Dalam memahami hubungan antara agama dan negara menjadi jelas
bagi kita, bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan pesat dalam
pemikiran keagaman maupun kenegaraannya. Ideologi Pancasila
telah didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin, yaitu
menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum
muslimin. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional
tidak dipertentangkan dengan agama, tidak mencari penggantinya
dan tidak diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara
teoritik tidak akan diberlakukan undang-undang maupun
peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama di negara
ini. Secara keseluruhan, Islam berfungsi dalam kehidupan
bangsa dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah sebagai akhlaq
masyarakat (etika sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk
kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat diundangkan
melalui proses konsensus (Undang-undang seperti Undang-undang
No. 1/1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama
No. 7/1989).
Dengan mengakui wewenang Hukum Islam untuk mengatur kehidupan
warga negara, melalui "filter" berupa Hukum Nasional, watak
kehidupan bernegara dan berbangsa terhindar dari orientasi
sekuler, seperti yang dikhawatirkan dapat terjadi bila diikuti
pendapat Ali Abdurraziq. Situasi seperti ini memang tidak
sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki pelaksana
ajaran Islam secara utuh sebagai produk legislatif formal,
atau dengan istilah lain yang menghendaki pelaksanaan
sepenuhnya Hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Bagi
pandangan seperti itu, memang tidak akan ada yang memuaskan
selain berdirinya sebuah Negara Islam, sedangkan dalam
kenyataan yang dapat kita dirikan adalah Republik Indonesia.
Masalahnya juga belum selesai bagi mereka yang telah dapat
menerima kenyataan yang terjadi, dan dapat menerima kehadiran
Pancasila dalam konteks yang diuraikan di atas. Pancasila
masih harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan
prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut Islam,
antara lain seperti yang dirumuskan Ali Abdurraziq. Pancasila
harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis,
menganut paham perlakuan sama di muka undang-undang dan
memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila harus
mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi kepada
pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai
kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Itulah
kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi kita,
Pancasila. Kunci itu diperoleh dari lima buah jaminan dasar
yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat: jaminan
dasar akan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian
keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.
Lembaga-lembaga kenegaraan harus disusun berdasarkan acuan
yang jelas akan mewujudkan kekuasaan pemerintah yang terbatas,
bukan kekuasaan tanpa batas. Untuk itu kedaulatan hukum atas
lembaga pemerintahan maupun kemasyarakatan, serta atas
individu maupun kelompok warga negara, harus dijaga sekuat
mungkin. Penjagaan kedaulatan hukum itu hanya dimungkinkan,
apabila kebebasan berpendapat dan berserikat benar-benar
dihormati. Karenanya, jalinan antara kedaulatan hukum,
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat merupakan kunci
yang mutlak harus diberikan Islam kepada ideologi negara dan
bangsa kita.
Dalam konteks sumbangan Islam kepada ideologi, dengan
sedirinya tidak bisa diabaikan kebutuhan akan penumbuhan etos
kerja yang benar, yang akan membawa kepada wawasan ideologi
seperti dikemukakan di atas. Etos kerja itu harus dimulai
dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada
masa depan bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti
itu, tidak akan mungkin ideologi melakukan transformasi sosial
yang diperlukan untuk melintasi garis kemiskinan menuju kepada
kemakmuran di masa depan. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan,
kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika
masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan
yang teracu ke masa depan yang lebih baik.
Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan yang
cukup kepada kompetisi dan capaian (achievement). Orientasi
ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat
profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat
modern. Semangat menjunjung tinggi profesionalisme adalah
titik kepentingan dari transformasi sosial yang disebutkan di
atas. Islam menjunjung tinggi profesionalisme, seperti dapat
dibuktikan dengan berbagai cara yang tidak disebutkan di sini.
Karena itu Islam mau tidak mau harus mengembangkan dalam
dirinya etos-etos kehidupan yang berwatak transformis.