Islam Garis Woles

Islam Garis Woles

Islam Garis Woles

Di tengah maraknya kekerasan atas nama agama, sepertinya saya harus menulis kegelisahan ini. Saya teringat ‘sajak atas nama’ karya Gus Mus. Dari sajak itu, sepertinya kita disentil, disadarkan kembali, entah sadar atau tidak. Ketika berbicara Tuhan, malah merusak. Berbincang manusia malah memangsa sesame manusia. Dan ada yang mengatasnamakan rakyat tetapi menindas rakyat.

Lalu, bagaimana kabar keberislaman kita hari ini? Apakah masih banyak yang mengatasnamakan Islam tetapi merusak citra Islam? Misalnya seperti ini, suka ngedit gambar serem yang menceritakan peperangan di luar sana, kemudian disebar ke media sosial, eh ternyata gambar itu mencomot dari adegan film. Bukan kondisi sebenarnya yang terjadi di luar sana. Kalau masih ada. Sungguh, betapa ironinya. Jadi tidak salah jikalau misal jumlah ateis, orang yang tak beragama, apatis terhadap agama, menganggap agama sebagai pemicu konflik dan segala sumber bencana, jumlahnya meningkat drastis di berbagai negara. (BBC. 19/5/15).

Ya gimana lagi ketika melihat kondisi keberagamaan kita hari ini.

Sebagai orang yang beragama, saya tidak takut dengan semakin banyaknya jumlah orang ateis, agnostik, atau apa pun namanya yang menganggap masa depan agama akan lenyap di muka bumi ini. Lagipula, semakin meningkat pula jumlah orang beragama yang suka guyonan, suka mondok nyambi cengar-cengir dengan Presiden, atau dalam bahasa saya, Islam garis woles. Islam inilah yang akan mampu menjadi simbol peradaban masa depan. Islam yang bisa menertawakan khilafiyyah. Bahkan, menertawakan agamanya sendiri. Takbir!

Sekali lagi, takbir! Allahhu Akbar!!

Bagi sebagian pembaca, tentu banyak yang tidak tahu, apa itu woles. Bacanya dibalik, mas, mbak. Woles sama dengan s-e-l-o-w. Santai. Lentur. Seperti kanjeng Nabi Muhammad Saw. Beliau sosoknya yang bersahaja, nyantai, lemah lembut, wajahnya yang teduh. Tidak galak-sangar. Tetapi murah senyum.

Tentu, saya berharap, tidak hanya agama Islam saja yang menyebarkan benih-benih woles ini. Mungkin Hindu, Budha, Kristen, Konghucu, dan lain-lain, pun sama. Menyemai benih-benih woles. Jadi masing-masing agama menertawakan agamanya masing-masing, diajak guyonan. Menertawakan agama bukan berarti menghina atau menistanya. Akan tetapi sebagai refleksi bersama bahwa di dalam agama ternyata banyak hal-hal lucu dan absurd.

Seperti, kenapa umat Islam tidak boleh makan daging babi, tetapi kalau babinya sudah di sunat apakah diperbolehkan? Di dalam Islam, minum khamr (arak/bir dan sejenis) itu dilarang, namun kenapa di akherat kelak khamr dilegalkan? Lalu, bagaimana nanti nasib aktifis Anti Miras di akherat kelak? Setiap amal perbuatan kita pasti akan dihisab, nanti akan dapat buku hasil kerja selama di bumi. Amala jelek akan diterima oleh tangan kiri. Sementara amal baik akan diterima tangan kanan. Lalu, bagaimana orang yang tidak punya tangan, yakni ketika ngebom, tangannya terputus semua?

Jika setiap amal dihisab, lalu bagaimana dengan setiap twit dan status kita di media sosial, apakah malaikat punya akun twitter sehingga punya catatan hisab? Kalau punya kok ya saya ndak di follow. Kan, bisa saya folbek.

Menarik juga ya, ketika malaikat ngefollow kita, terus setiap status kita yang lagi baper malaikat kasih komen, ciye ciye lagi baper. Misal, ada yang nyetatus marah, ngumpat-ngumpat, kafir lu! Haram lu! Cina lu! PKI lu! Terus sambil ngutip ayat dan hadis. Di tambah lagi dengan gambar hoax berdarah-darah, seakan-akan terjadi kegentingan, perangan-perangan yang dahsyat, tiba-tiba malaikat ikutan komen. Ingat, wahai kalian yang suka bikin gambar hoax, sampai kapan kalian sadar. Pakai tagar #JanganDitiru, terus jadi trending topic mengalahkan trendtop AADC2. Pasti keren!

***

Dalam tulisan ini, saya ingin membandingkan ketika agama dipandang luwes dan lentur. Saya sebut merk, ya, bolehkan? Di antara pembaca kira-kira lebih suka melihat wajah Rizieq Shihab yang dikenal dengan watak kerasnya atau Anwar Zahid dengan gaya khas lucunya? Kalau kita kesulitan, karena sama-sama ngefans, coba kita intip bersama di Youtube atau di NUTIZEN. Lebih banyak mana viewer ceramah dari kedua tokoh itu?

Sudah tahu jawabannya bukan? Kalau sudah tahu, coba bandingkan isi dan karakternya. Pembaca lebih suka wajah islam yang ramah atau wajah islam yang suka marah? Kalau suka yang cara berislam yang pertama, tentu, anda akan masuk pada Islam garis woles, sebagaimana versi saya tadi. Suka Islam yang ‘fun’ bukan ‘fundamental’.

Bahkan, saya kasih tahu nih, tapi tolong jangan bilang ke yang lain. Kalau ormas yang suka teriak-teriak Indonesia Milik Allah, kini pun mengganti tagline gerakannya menjadi ‘rahmatan lil ‘alamin’ lho. Pasti kalian tanya, kenapa? Ya itu, karena tidak laku. Kenapa tidak laku, mungkin karena orangnya sangar, gahar, bikin orang takut. Sedikit-sedikit kembali ke syariat. Kebobrokan apapun solusinya khilafah. Sstt.. soal ganti tagline ini rahasia lho, jangan kasih tahu yang lain. Please..

***

Bila kita melihat sejarah, biografi, sosok dari Nabi Muhammad sang panutan kita. Beliau dikenal dengan ciri khas keramahannya dan humorisnya. Bahkan, beberapa kali, Nabi Muhammad mengajak guyonan sahabatnya. Saya pernah mendengar cerita dari seorang penceramah. Beliau sedang mengisahkan guyonannya Nabi Muhammad Saw.

Pernah, suatu ketika ada seorang nenek-nenek datang kepada nabi, nenek itu tiba-tiba berkata kepada nabi agar didoakan: “Ya Rasulullah, doain gue donk kepada Allah agar kelak dimasukkan ke dalam surganya ”. Lantas, Rasulullah menjawab: “Wahai nenek, maaf banget, kalau  surga itu tidak dimasuki oleh orang-orang tua kayak nenek”. Terkejut. Sontak kemudian sang nenek pergi sambil menangis. Kemudian Rasulullah bersabda kepada Hasan: “Tolong sampaikan ke nenek itu. Maksud saya, bahwa di sorga nanti, tidak akan ada seseorang dengan kondisi nenek-nenek, tua-tua, karena semuanya kembali ke dalam kondisi muda”. Seketika itu, tampak seri pada wajah si Nenek.

Nah, di Indonesia, ada sosok yang sangat akrab dengan humornya. Perawakannya yang komedian. Dikenal dengan nama Gus Dur. Beliaulah bapak stand up commedy Indonesia. Gaya khas Gus Dur yang humoris penuh canda-tawa yang menjadikan saya dan mungkin para pengagumnya melabeli itu. Ia bisa bergaul dengan siapa saja. Ia bisa guyon dengan siapapun, mulai dari mbah-mbah peziarah, tukang parkir, sampai presiden Amerika, atau bahkan, Tuhan juga serig diajak guyonan sama Gus Dur.

Saya kemudian membayangkan, jika konflik antara Palestina dan Israel, serta konflik ISIS di Timur Tengah, kemudian kelompok Abu Sayyaf di Filipina, dan terakhir ini di Aleppo Suriah, menurut hemat saya, kuncinya hanya satu; mereka semua kurang piknik dan kurang guyonan. Jarang joinan kopi sama rokok. Padahal ayat pertama yang turun kepada nabi Muhammad mengajak kita untuk merokok. “Iqra’! Merokoklah!”. Ajak malaikat Jibril. Maa Ana Biqari’, Saya tidak ada korek,“jawab Nabi. Hehehe. Guyon-guyon. Gitu aja dianggep serius. Yaelah..heuheuheu.

Bahkan, di media sosial, gaya khas Gus Dur ini ditiru oleh akun ‘NU Garis Lucu’. Kemunculan NU Garis Lucu sebagai anitesa dari NU Garis Lurus. Seperti yang publik tahu, gerombolan NU Garis Lurus ini adalah sekumpulan orang-orang yang suka main fitnah dan menebar semangat kebencian. Tuduh sana-sini. Sementara NU Garis Lucu muncul dari kegelisahan itu, di tengah muaknya virus-virus penebar benci. Bio twitternya aja sudah bikin ngakak “Sampaikanlah kebenaran walaupun itu lucu”.

Kita bisa membandingan, lebih banyak mana follower di antara akun mereka berdua di twitter? Dari situ, akan kelihatan mana yang lebih digemari oleh publik.

Selain Gus Dur, yang banyak sekali fans-nya, ada juga sosok komedian yang sudah menjadi fenomena. Raditya Dika namanya. Followernya di twitter kini sudah menembus angka 13 juta. Saya lalu bertanya, mengapa follower Radit bisa sebanyak itu? Bahkan, SBY dan Jokowi saja kalah sama doi. Jawabannya simpel. Karena Radit menampilkan wajah yang lucu, santai, bisa diterima banyak kalangan.

Lalu saya berfikir, mungkin Islam di zaman Nabi bisa berkembang sepesat ini karena dahulu yang diajarkan olehnya adalah wajah-wajah yang woles, santai, bikin adem.

Pertanyaan saya, bisakah kita menampilkan wajah Islam yang humoris atau Islam garis woles, yang tidak  banyak ngotot, yang tidak banyak—sedikit-sedikit mengatakan kembali ke al-Qur’an dan sunnah dengan wajah berang, seperti ditagih hutang. Bisakah kita menampilkan wajah Islam yang tidak sedikit sedikit main pukul dan marah, dan sedikit-sedikit kebakaran jenggot dengan mengatasnamakan Tuhan.

Sebaliknya, kira-kira bisa tidak kita mencerminkan wajah Islam yang woles, santai, murah senyum, santun, sedikit-sedikit guyon, sedikit-sedikit mudah bergaul dengan orang lain yang berbeda keyakinan, sedikit-sedikit mudah tabayun ketika menerima berita yang belum jelas sumbernya, dan sedikit-sedikit bisa menerima perbedaan pendapat. Sehingga kita tidak terkategorisasi sebagai “Islam baper atawa akidah puber” sebagaimana tulisan saya minggu lalu, kritik atas keberagamaan kita di negeri ini.

Jika tidak bisa atau bahkan hal itu tidak memungkinkan, berarti kita kurang piknik dan kurang ngopi. Kira-kira kapan keduanya itu bisa kita realisasikan? []

Muhammad Autad An Nasher. Penulis aktif di Jaringan Gusdurian, dan bisa ditemui di akun @autad