Teknologi dan agama seringkali dianggap sebagai dua hal yang berlawanan. Bahkan, perkembangan teknologi terkadang dipandang sebagai faktor penghambat dan penyebab kelalaian beribadah. Sebagai barang baru, anggapan awal mengenai teknologi sebagai pencapaian intelektualitas manusia menjadi tumpul ketika dihadapkan dengan masyarakat beragama, terkhusus kalangan pesantren tradisional.
Perkara agama tidak bisa dikaitkan dengan teknologi. Sebab agama adalah ritual ibadah dan amaliah kepada Tuhan, sedangkan teknologi memiliki kecenderungan dalam mengefisiensikan aktivitas manusia. Pandangan demikian tak lagi berlaku. Masyarakat beragama mulai menggunakan teknologi sebagai usaha untuk mengekspresikan otentitas keberagamaannya.
Agenda ekspresi Islam kini meningkat, ditopang oleh kecanggihan teknologi. Arus informasi kini mudah didapat, akses cepat, dan masif memantik munculnya akun-akun yang disandarkan pada elemen keagamaan.
Seperti yang terjadi di media sosial; instagram yang sudah melahirkan banyak akun dari berbagai golongan. Sebagai salah satu media alternatif, instagram tidak sedikit dikelola sebagai alat untuk mengorganisir komunitas. Pengelolaan dilakukan dengan membuat konten himbauan, peringatan, fatwa, dan imej-imej filantropi masyarakat beragama lainnya. Mulai dari bentuk visual, foto, video, ataupun link yang tersambung kepada website.
Konvergensi itulah salah satu kelebihan media sosial. Kreatifitas editing dan muatan isi konten menjadi nilai tambah sebuah akun yang bisa menarik pengikut secara berkala. Jika pengikut sudah melambung, dan interaksi multi-face antar pengikut terjadi, maka sebuah ‘komunitas virtual baru’ terlahir di jagad instagram. Akan tetapi, yang menjadi persoalan kemudian apabila beberapa akun menyajikan konten-konten agama maka yang ditemui adalah distorsi pemegang otoritas keagamaan (religious authority).
Dalam koridor identitas Islam tradisional, penulis menyitir Martin van Bruinessen (1995) yang menyebutkan bahwa great tradition di Indonesia adalah tradisi pengajaran agama Islam yang laten dipelihara di pesantren. Sebagai basis Islam tradisional terbesar di Indonesia bahkan dunia, keberadaan pesantren menggiring asumsi bahwa perkembangan Islam tradisional tidak berhenti pada hal-ihwal simbolis belaka—seperti pakaian, makanan, pernikahan, dan lain-lain.
Lebih dari itu, Islam tradisional mempunyai nilai-nilai transmisi keilmuan yang mengakar kuat di jantung pertumbuhan keilmuan agama di Indonesia. Selain tranmisi ilmu, keberadaan pendidikan Islam ala pesantren menurut Azra & Jamhari (2006) memiliki tiga tugas pokok. Pertama, transmisi ilmu-ilmu pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge). Kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, melahirkan (calon-calon) ulama (reproduction of ulama).
Sejauh ini, komunitas pesantren nampak ‘tertinggal’—meskipun tidak terlampau jauh—dalam dakwah dunia digital. Sebagai golongan Muslim yang terlambat terjun di dunia digital, masyarakat pesantren secara kumulatif berjarak dengan golongan Muslim lain seperti kelompok Islam Populer, Salafi, dan Islamisme (ideologi Islam transnasional) yang sudah lama mengadopsi dunia digital. Keterlambatan mungkin disebabkan oleh ideologi tradisionalis pesantren yang cenderung hati-hati terhadap perubahan tempat dan waktu.
Sedangkan, Islamisme di mana fakta kelahirannya memang bersinggungan langsung dengan modernitas. Tren penggunaan media sosial adalah wujud dari kebebasan berekspresi pascareformasi. Tidak hanya negara yang menjamin kebebasan berekspresi, Islam pun demikian. Karena kelebihan dari media sosial terbarukan adalah konvergensi, keterkaitan antar platform media sosial. Hal ini memberikan dampak kesinambungan atau gurita ideologi-ideologi tertentu untuk memberikan warna dalam mengarus-utamakan gagasannya di media sosial.
Sebab otoritas keagamaan dari individu maupun institusi secara langsung mengilhami titik keimanan. Seperti fatwa haram rokok, fatwa yuk menikah melalui reintrepetasi konten-konten milenialis, hingga fatwa yang sifatnya politis seperti himbauan untuk memilih pemimpin.