Kuasa pengetahuan agama di jagad maya dalam pembacaan para sarjana belakangan ini didominasi oleh aliran Islam fundamentalis, Islam radikalis, dan Islam ultra-konservatif. Akar pemahaman seperti itu, menurut Azra (2011) lahir dari kenyataan kian merebaknya berbagai penafsiran, pemahaman, aliran, denominasi, bahkan sekte di dalam (intra) satu agama tertentu.
Di kalangan Islam, radikalisme keagamaan itu banyak bersumber dari pemahaman keagamaan yang literal, sepotong-potong dan ad hoc terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu, Azra juga berpendapat jika radikalisme keagamaan yang merebak di Indonesia lahir dari kesalahan dalam pembacaan sumber sejarah Islam yang kemudian diperparah dengan pengombinasian terhadap idealisasi berlebihan dengan kejayaan Islam pada masa tertentu.
Temuan ini tentu menjadi tantangan besar bagi kalangan Islam moderat—seperti pesanten, untuk kemudian mengikuti arus informasi yang berkembang di jagad maya atau bahkan mengonter hegemoni arus informasi agama tersebut dengan konten-konten yang moderat. Sekaligus membubuhkan bahwasannya konteks dunia yang jamak dijajaki oleh kalangan Islam transnasional adalah konteks maya.
Eksklusifitas beragama seperti itu, menguat pasca-reformasi. Hal ini mengindikasikan bahwa lokus keberagamaan Indonesia katupnya kian terbuka. Terlebih taburan-taburan ajaran keagamaan ekslusif-radikalis yang tersemai baik melalui mimbar halaqah, khotbah maupun mimbar media sosial agaknya rentan tertanam di benak umat Muslim tempo hari.
Kerentanan ini juga menandai kebangkitan religiusitas masyarakat Indonesia yang dimobilisasi oleh kelas menengah Muslim baru (new muslim middle class) yang sangat besar perannya terhadap persebaran tayangan-tayangan “hijrah” di publik digital (televisi, film dan media sosial). Nuansa konten islami yang lahir dari kelas micro-celebrity tersebut, begitu berjasa melahirkan semacam “keimanan baru” yang ‘berlebihan’.
Bukankah menguatnya nilai-nilai keimanan merupakan hal yang positif? tentu saja, meningkatnya spirit keberagamaan merupakan hal baik bagi stamina keberagamaan di Indonesia. Namun menilik beberapa fakta konflik agama yang terjadi memperlihatkan bahwa agaknya mimbar virtual kini menjelma menjadi sebagai mimbar baru yang kerapkali dijadikan sebagai alat memobilisasi massa virtual dalam kerangka laku maupun gerakan-gerakan keagamaan di Indonesia.
Sejauh ini, kedua podium tersebut—media sosial dan televisi—memiliki hubungan fluktuatif dengan kaum milenial. Akh Muzakki (2010) berpendapat gelombang transmisi media populer yang digandrungi oleh milenial disebut sebagai “Teen Islam”.
Menurut IDN Research Institute (2019) sebanyak 54,5 persen milenial mengakui platform media digital sebagai sumber informasi utama. Literasi dan media sosial merupakan titik di mana kerumunan milenial dan personal dengan berbagai latar belakang bersemayam. Kedua-duanya sangat berpotensi dalam memanaskan sebuah isu bahkan bisa dibilang sebagai medium konfliktual, seperti isu yang rentan memicu konflik etnoreligius bangsa kita.
Sementara itu, IDN Research Institute merilis temuannya tentang nuansa keagamaan milenial dalam “Indonesia Millenial Report 2019” bahwa 1 dari 5 milenial setuju sistem khilafah. Ada potensi 19,5 persen generasi milenial terpapar radikalisme karena lebih banyak mendukung sistem khilafah di Indonesia.
Membangun peradaban berbasis pengetahuan tampaknya saat ini menjadi kebutuhan mendesak. Menurut Said Aqil Sirodj (2019) fakta kian menguatnya ekstremisme dengan variannya, seperti narasi kebencian dan intoleransi telah memicu keprihatinan sekaligus kepedulian untuk bergerak kembali pada penguatan keilmuan dan literasi.
Sebuah fakta yang melenakan, jika orkestrasi berita-berita yang sungsang alias hoaks digemari secara kalap tanpa refleksi kritis apalagi tabayun seperti telah menjadi konsumsi sehari-hari. Bukan hal baru apabila banyak khalayak umum yang kemudian “mendadak jihadis” dalam menyikapi informasi yang simpang siur tersebut. Celaan dan caci maki menghambur kepada mereka yang berbeda pandang.
Daripada itu, sesungguhnya hilangnya kepakaran mulai nampak menyesatkan. Pengabulan opini secara lanyah dan terus-menerus direplikasi mengamini gejala era pasca kebenaran (Post-Truth Era), di mana otoritas menjadi barang mahal dan sangat mungkin secara sengaja dikaburkan.
Ruang publik Muslim baru (New Muslim Public Sphere) yang semestinya didekorasi oleh kemampuan inteligensia manusia kini mulai merekah, tak terkendali. Ironisnya, kultur itu berpotensi menghasilkan artikulasi kebahasaan yang lemah, monoton, sangat standar, dan resmi sekali yang ditularkan lewat perbincangan tak berujung.
Tidak hanya ekstremisme, transmisi pengetahuan Islam yang hadir belakangan juga terlihat mereduksi keterlibatan rasionalitas akal dalam mengemas fatwa. Sehingga statement atau fatwa yang dibuat terkesan buru-buru. Seperti kasus Masjid Illuminati di Bandung, penjabaran patung Jesus dan Bunda Maria, pengharaman PUBG di Aceh, hingga fatwa-fatwa yang baru-baru ini dilontarkan di ruang publik baru yaitu penyebutan kafir bagi mereka yang melihat drama Korea sampai meniup lilin ulang tahun. Tentu, perkara fatwa ini berdasar.
Adapun yang jadi permasalahan ialah etika berfatwa yang semestinya tidak dihasilkan secara “gegabah” tanpa mengindahkan konstruksi sosiokultural masyarakatnya. Sebuah kesadaran dan keyakinan yang, di satu sisi, mau tidak mau berjasa mengantarkan perkembangan keilmuan dan pemikiran keislaman dalam pasungan doktrinal.
Pemikiran baru atau adopsi produk pemikiran dari dunia lain yang menyangkut kehidupan alam dan sosial maupun penafsiran-penafsiran kreatif-kontekstual di bidang keagamaan akan ditempatkan dalam kerangka makna ayat-ayat yang dikonsumsi secara esensialistik, meskipun belakangan upaya itu direspon dikambing-hitamkan sebagai usaha pendangkalan agama. Padahal, Alquran sendiri sebagai wacana oral, interpretasi terhadapnya lebih terbuka, meski otoritas nabi sangat dominan dan, karenanya, menentukan.
Perang narasi sebenarnya sudah menjadi-jadi sejak internet diadopsi oleh agamawan sebagai ladang persemaian informasi keagamaan baik yang sifatnya amaliah, fatwa, hingga ideologis. Budaya baru ini—mencari informasi agama melalui internet—merupa sebagai gejala problematis yang lalu melahirkan populisme agama dalam koridor yang sangat formalistis. Agama diidealkan hanya sebagai simbol ketaatan baik berupa bahasa maupun gaya hidup.
Mengamini diktum Rendal Collin (1979) bahwa masyarakat yang memuja legalitas dan formalitas sebagai supremasi dan simbol tertinggi dalam kehidupan disebut sebagai ‘masyarakat kredensial’. Gejala kredensialisme agama inilah yang sekaligus menjadi tantangan baru bagi pemegang otoritas keagamaan seperti pesantren.