Islam Cinta untuk Generasi Milenial

Islam Cinta untuk Generasi Milenial

Islam Cinta untuk Generasi Milenial

Bagaimana wajah agama bagi generasi Milenial? Bagi generasi ini, mereka yang berusia 15-34 tahun, memiliki cara pandang yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Revolusi teknologi dan perkembangan sosial media menjadi penyebab utama.

Dari catatan pakar demografi, generasi milenial yakni mereka yang lahir pada rentang tahun 1980 sampai 1997. Generasi ini memiliki kecenderungan aktif di sosial media, karena platform media berbasis internet menemukan momentumnya dengan tumbuhnya kedewasaan bagi generasi milenial. Generasi Milenial, juga memiliki kecenderungan komunikasi dan relasi sosial yang berbeda dengan pendahulunya, yakni generasi X, Y, atau bahkan generasi Baby Boomers.

Publikasi Pewreseach (2016), menyebutkan generasi X lahir pada tahun 1965-1980, atau mereka yang berusia 35 sampai 50 tahun. Sedangkan, generasi Baby Boomers, lahir pada tahun 1946-1964, mereka yang saat ini berusia 51-69 tahun. Sementara ada dua generasi yang lebih tua, yakni ‘Silent Generation’ yakni mereka yang lahir pada 1928-1945. Dan ‘Greatest Generation’, yakni mereka yang lahir sebelum tahun 1928.

Pola lintas generasi ini, disesuaikan dengan kondisi sosial-politik yang terjadi di Amerika Serikat. Tentu saja, kondisi ini turut berpengaruh sebagai referensi demografi internasional, yang berdampak pada analisis sosiologi, antropologis dan geo-politik negara di lintas benua.

Di Indonesia, untuk catatan saat ini, populasi generasi milenial sangat besar. Mereka yang berusia 15-34 tahun, memiliki populasi sebanyak 34,45 %. Dari generasi ini, memiliki kecenderungan untuk menyampaikan pendapatnya melalui media sosial, serta berinteraksi secara intensif menggunakan fasilitas internet.

Survei Alvara Research Center (2014), mengungkap bahwa generasi yang lebih muda, rentang usia 15-24 tahun memiliki kecenderungan untuk membicarakan topik musik/film, olahraga dan teknologi. Sementara, mereka yang berusia 25-34 tahun, cenderung variatif dengan isu-isu seputar sosial-politik, ekonomi dan agama.

Dengan demikian, dari catatan riset dan publikasi survey beberapa lembaga, jelas generasi milenial terkoneksi dengan perkembangan teknologi dan sosial mereka. Bagi generasi ini, sosial media menjadi sumber utama untuk mengakses informasi, bahkan sebagai rujukan utama belajar. Pengetahuan-pengetahuan teknis dengan jalur cepat, dapat diakses menggunakan internet. Situs-situs belajar dan video-video para tokoh yang ahli dalam pengetahuan teknis dapat menjadi rujukan untuk belajar secara efektif. Dengan demikian, revolusi media sosial menjadi tumpuan bagi generasi Milenial untuk akselerasi skill dan wawasan.

Namun, ada ceruk kosong yang perlu direnungi, dari perkembangan cepat media sosial, serta bagaimana generasi milenial meresponnya. Ceruk kosong ini adalah estafet pengetahuan ilmu agama, serta minimnya tabayyun atau koreksi. Belajar agama tanpa melalui sanad (jalur silsilah guru) menjadi kurang komprehensif. Tidak ada transfer ruh, gelombang spiritual atau pengalaman. Bahkan, di beberapa kondisi, agama yang dipelajari hanya sepenggal, tidak utuh dan mendalam. Di tahapan selanjutnya, betapa mudah penghakiman terhadap seorang tokoh agama, hanya karena perbedaan sikap. Inilah kedangkalan dalam beragama, yang menjadi wajah gelap media sosial.

Sementara, fitnah atas nama agama merajalela, menjadi banjir informasi yang merangsek di media sosial kita. Tanpa kecerdasan bermedia, dan kejernihan berpikir, orang akan mudah menyebarkan informasi palsu tanpa filter, tanpa renungan. Inilah generasi tunggang-langgang yang terjungkal di tengah kemudahan bermedia.

Selayaknya, agama menjadi panduan moral bagi generasi milenial. Yakni, agama yang mengajarkan kebaikan, bukan kebencian. Agama cinta, Islam yang menebar cinta, bukan kekerasan dan fitnah. Agama yang mengajarkan kasih sayang, bukan kecemasan. Agama yang menghamparkan kebhinekaan sebagai rahmat, bukan menghancurkan persaudaraan. Sejatinya, generasi milenial juga membutuhkan panduan dari generasi sebelumnya untuk menyelami hakikat, menyelami kebenaran dari akar-akar pengetahuan agama dan kedalaman moral (*).

 

Munawir Aziz, peneliti Islam dan Kebangsaan, penulis