Ini Syahwat-syahwat yang Bernilai Pahala: Tafsir Surat Ali Imran ayat 14

Ini Syahwat-syahwat yang Bernilai Pahala: Tafsir Surat Ali Imran ayat 14

Syahwat dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 14 bukan bermakna hasrat manusia yang harus dijauhi. Karena syahwat justru bisa bernilai pahala.

Ini Syahwat-syahwat yang Bernilai Pahala: Tafsir Surat Ali Imran ayat 14
Foto: Shutterstock

Kita mungkin sering mendengar bahwa manusia adalah tempatnya syahwat. Dalam berbagai kajian, majelis taklim, dan khutbah di mimbar-mimbar, para penceramah sering sekali mengutip surat Ali Imran ayat 14.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوٰتِ مِنَ النِّسَاۤءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْاَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗ حُسْنُ الْمَاٰبِ – ١٤

Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.

Ayat tersebut dijadikan legitimasi para penceramah bahwa manusia memang diciptakan dengan berbagai syahwat. Dalam ayat tersebut dijelaskan secara gamblang macam-macam syahwat yang dihiaskan dalam diri manusia, yaitu perempuan (pasangan), anak, harta, kendaraan, hewan ternak, dan sawah ladang.

Atas dasar ayat di atas, sang penceramah juga menghimbau agar manusia sebaiknya menjauhi hal-hal tersebut dan lebih mencintai ibadah hanya dan karena Allah Ta’ala. Pernyataan tersebut sekiranya bisa dianggap tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. Perihal ayat di atas, jika dikaji lebih dalam sama sekali tidak ada anjuran untuk menjauhi hal itu semua. Ayat di atas merupakan sebuah penjelasan deskriptif yang mendefinisikan berbagai kesenangan manusia di dunia.

Dalam bukunya yang berjudul Khilafah: Peran Manusia di Bumi, Quraish Shihab mencoba meluruskan anggapan kita yang kurang tepat dalam membaca ayat di atas. Menurut Quraish Shihab, syahwat yang dijelaskan dalam ayat di atas juga bisa bernilai pahala. Bahkan dalam pembahasan khusus, penulis Tafsir al-Misbah ini menamai subbabnya dengan “Syahwat: Salah Satu Faktor Penting Lahirnya Peradaban”. Membaca sub bab demikian jangan terlebih dahulu berprasangka buruk sebelum membaca isi dari keseluruhan penjelasannya.

Baca juga: Pengajian Quraish Shihab dengan Baim Wong: Mengapa Allah Menciptakan Syahwat?

Quraish Shihab menyebut bahwa syahwat yang disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 14 di atas merupakan fitrah yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia. Lalu untuk apa manusia diberikan syahwat tersebut? Maka jawabannya adalah untuk melaksanakan tugas kekhalifahan dalam membangun peradaban. Mengapa bisa demikian?

Begini, dalam sifat manusia ada dua hal: Pertama, memilihara diri dan kedua, memelihara jenis. Dorongan memelihara diri biasanya berupa usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, dan papan. Sedangkan memelihara jenis berupa dorongan seksual atau berhubungan suami istri.

Quraish Shihab menyebutkan bahwa dalam ayat di atas ditulis dengan kata pasif “dijadikan indah”, yang artinya dalam ayat di atas sama sekali tidak disebutkan siapa yang memperindahnya, bisa jadi Allah SWT dan bisa jadi setan. Bila pemenuhan syahwat tersebut sesuai dengan koridor yang ditetapkan Allah SWT, maka yang menghiasinya atau menjadikan indah adalah Allah, jika tidak maka setan.

Hal ini jelas bahwa tidak semua syahwat yang disebutkan dalam ayat di atas adalah hal yang buruk dan harus dijauhi sebagaimana pernyataan sebagian penceramah. Dalam beberapa hal, syahwat tersebut juga bernilai pahala. Maka kata kuncinya adalah syahwat tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan syariat Allah.

Dorongan atau syahwat untuk berhubungan seksual misalnya, jika dilakukan bersama dengan pasangan yang sah, maka tentu bernilai pahala. Namun jika dilakukan dengan orang lain, maka itu lah yang disebut sebagai syahwat yang berasal dari setan.

Begitu pula dengan hasrat untuk mengumpulkan harta benda. Jika cara atau proses pengumpulannya dan penggunaannya dilakukan dengan cara yang dibolehkan agama, dan dapat memakmurkan bumi, maka tentu bernilai pahala, karena itu lah tugas manusia sebenarnya, menjadi khalifah di bumi, yakni orang yang memakmurkan bumi, membangun peradaban. Jangan salah sangka, khalifah dalam hal ini tidak selalu berkaitan dengan pemimpin atau sistem yang digaungkan oleh salah satu organisasi terlarang.

Oleh karena itu, syahwat tidak selalu berkonotasi negatif. Syahwat juga merupakan hal yang diciptakan Allah untuk manusia, agar manusia dapat memakmurkan bumi. Jika dipikir-pikir, apa jadinya jika dalam proses memiliki anak, tidak didahului dengan kenikmatan dan kesenangan melalui hubungan suami-istri, bisa jadi manusia tidak akan mau memiliki keturunan. Apalagi bagi perempuan yang memiliki tugas sangat berat, seperti mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawat anak. Dengan keberatan dan kepayahan tersebut, manusia tak akan berkembang biak dan bisa memakmurkan bumi.

Begitu juga, mengumpulkan harta, bekerja, berkarya, pastilah ada keinginan atau syahwat untuk tampil indah, senang, bahagia atau disukai orang. Jika tidak ada hasrat tersebut, manusia tidak akan mau bekerja, mengumpulkan pundi-pundi harta, bercocok tanam, membangun perusahaan, dan bumi akan menjadi gersang tanpa peradaban.

Maka, jangan jadikan syahwat yang ada dalam diri manusia sebagai kutukan bagi manusia yang harus dijauhi. Selama syahwat tersebut sesuai dengan ajaran Allah, maka akan bermanfaat dan berpahala, juga akan menjadi faktor penting kemakmuran bumi.(AN)

Wallahu a’lam.

Penjelasan lengkap terkait syahwat ini bisa dibaca lebih lanjut dalam buku “Khilafah: Peran Manusia di Bumi” karya Quraish Shihab