Nama KH. Ahmad Bahauddin Nur Salim, yang biasa dikenal Gus Baha sepertinya sudah tidak asing lagi bagi muslim Indonesia. Kajiannya tentang keislaman sudah banyak tersebar di berbagai media sosial. Gaya penyampaiannya selalu diiringi dengan canda-tawa, serta menggunakan logika yang sangat kuat, runtut, dan sistematis.
Meskipun kajian yang disampaikan terhitung sangat sulit. Lewat kedalaman pemahamannya tentang keilmuan Islam menjadikan mudah untuk dipahami oleh setiap para santri serta jamaah ngajinya.
Ada beberapa sebab atau faktor yang telah menjadikan Gus Baha bisa menjadi alim dalam menguasai khazanah keilmuan Islam.
- Pertama, karena adanya faktor nasab biologis,
- kedua faktor sanad keilmuan,
- ketiga faktor metode dalam belajar.
Faktor Nasab Biologis
Gus Baha sendiri pernah menyampaikan jika nasabnya dari jalur bapak merupakan nasab seorang wali yang suka tirakat. Sedangkan nasab dari jalur ibu merupakan seorang kiai, maksudnya lebih mengutamakan pada keilmuan, at-ta’lim wa at-ta’alum. Ibunya merupakan bagian dari keluarga besar ulama Lasem, dari Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu.
Dua latar belakang keluarga yang berbeda inilah melahirkan Gus Baha yang sangat alim serta sederhana. Ulama yang khas dengan peci dan baju putihnya ini mengambil teladan dari bapaknya jalur wali dengan gaya penampilan yang sederhana, serta tidak bisa disetir oleh perkembangan zaman, bahkan sampai sekarang beliau tidak memiliki akun media sosial. Sedangkan melalui ibunya, murid Mbah Moen ini mengambil kecintaannya terhadap ilmu, yaitu mendidik para santri, jamaah, serta muhibinnya dengan ikhlas karena Allah SWT.
Gus Baha kecil diyakini sang ayah akan menjadi seorang yang alim. Perkataan ayahnya ini senada dengan kakeknya. Menurut sang kakek, kelak di antara cucunya, Gus Baha lah yang paling alim. Perkataan kakek dari bapak yang memiliki nasab seorang wali ini akhirnya terbukti. Selain kakeknya, K.H Hamid Baidlowi, salah seorang ulama asal Lasem dan juga salah satu santri pertama Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang asuhan K.H Maimoen Zubair juga pernah mengatakan hal yang serupa. Ketika Gus Baha masih kecil diajak sowan oleh sang ayah ke kediaman Mbah Hamid. Menurut ulama Lasem ini, kelak Gus Baha akan menjadi kiai yang alim.
Faktor Sanad Keilmuan
Ketika masih kecil, Gus Baha dididik langsung oleh ayahnya, KH. Nur Salim, seorang ulama penghafal Al-Qur’an murid K.H Abdullah Salam, Kajen, Pati. Setelah menghafal Al-Qur’an dan mempelajari dasar-dasar keilmuan Islam kepada sang ayah, Gus Baha dikirim ke Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang yang diasuh oleh K.H Maimoen Zubair.
Menurut guru kami, Kiai Amirul Ulum, K.H. Maimoen Zubair merupakan salah seorang ulama yang selalu mengedepankan keilmuan serta melestarikan tradisi para salafus saleh. Dari Mbah Maimoen inilah Gus Baha bisa mengambil ilmu secara mendalam serta memiliki sanad dengan mata rantai emas.
Proses dalam mencari ilmu selain ketersambungan sanad, diperlukan juga guru yang alim dan mengamalkan ilmunya. Syaikh Muhammad bin Sirin sebagaimana yang telah ditulis di dalam muqadimah Shahih Muslim berkata, “Sesungguhnya ilmu itu adalah bagian dari inti agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Seorang ulama pakar maqashid asy-syari’ah Syaikh Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat memberikan keterangan mengenai ciri seorang guru. Menurutnya, guru adalah orang yang dapat mengantarakan para muridnya menjadi seorang pakar. Dari sinilah kita bisa melihat Gus Baha telah menemukan K.H Maimoen Zubair sebagai seorang guru, yang membawanya menjadi alim ulama, pakar ilmu fiqih, dan tafsir al-Qur’an.
Keilmuan yang paling terlihat dari Gus Baha yaitu fiqih dan tafsir Al-Qur’an, tidak menutup kemungkinan ia juga menguasai ilmu keislaman lainnya. Menurut Quraish Shihab kedudukan Gus Baha di Dewan Tafsir Nasional selain sebagai ahli tafsir (musafir), juga sebagai Mufassir Faqih karena penguasaannya pada ayat-ayat hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an.
Sanad keilmuan Gus Baha melalui K.H Maimoen Zubair adalah rantai emas, yaitu melalui Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Umar Hamdan, Syaikh Mahfudz at-Turmuzi, Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syaikh Utsman bin Hasan al-Dimyathi, Syaikh Ali al-Syanwani, Syaikh Isa bin Muhammad al-Barrowi, Syaikh Muhammad ad-Dafari, Syaikh Salim bin Abdillah al-Bashri, Syaikh Muhammad bin Alaudin al-Babili, Syaikh Salim bin Muhammad as-Sanhuri, Syaikh Najm Muhammad bin Ahmad al-Ghaithi, Syaikh Zakariya al-Anshari, Syaikh Ibnu Hajar al-Atsqalani hingga kepada Rasulullah SAW.
Faktor Metode Belajar
Selain faktor nasab dan faktor sanad keilmuan, ada satu lagi yang menjadi rahasia kealiman Gus Baha, yaitu metode belajar. Dalam setiap kesempatan Gus Baha sering menyampaikan metode belajar yang telah mengantarkannya bisa menguasai khazanah keilmuan Islam.
Menurut Gus Baha salah satu metode belajar yang sering ia gunakan ketika masih nyantri yaitu seorang santri yang membaca sedangkan gurunya menyimak, mengoreksi, serta menambahi keterangan. Selain itu metode lain yang diterapkan oleh Gus Baha yaitu sebelum mengaji, terlebih dahulu mendengarkan keterangan sang guru, karena seorang santri harus belajar terlebih dahulu. Dimulai dengan belajar tentang tata cara membacanya (gramatika Arab), lalu belajar memahami isi kandungan dalam setiap kitab turast para ulama.
Gus Baha sendiri pernah membaca kitab Shahih Muslim di depan gurunya, yaitu K.H Maimoen Zubair. Metode ini biasanya dikenal sebagai metode Sorogan. Sebuah metode yang relevan dengan pesan yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam karangannya Adabul Alim wal Muta’alim. Mbah Hasyim mengatakan bahwa santri mentashih (mengoreksi) bacaannya di hadapan guru sebelum dihafal.
Dahulu Syaikh Zakariya al-Anshari memiliki guru yang sangat alim bernama Syaikh Ibnu Hajar al-Asqalani. Di samping itu al-Anshari juga memiliki murid yang sangat alim bernama Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami. Suatu ketika Syaikh Zakariya al-Anshari ditanya oleh seseorang bagaimana bisa menjadi syaikhul Islam?
Al-Anshari menjawab, ia telah diapit oleh dua batu (Hajar), maksudnya diapit oleh Syaikh Ibnu Hajar al-Asqalani (gurunya) dan Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami (muridnya). Hal ini menjadikan al-Anshari ketika mengaji harus belajar dengan giat sebelum bertemu dengan Syaikh Hajar al-Asqalani. Begitupun ketika mengajar, ia merasa perlu belajar dengan giat sebelum bertemu dengan muridnya, Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami.
Pada zaman dahulu para ulama besar ketika masih menjadi santri menggunakan metode membaca atau menerangkan di hadapan guru beserta para murid lainnya. Sedangkan gurunya mengoreksi, serta menambahi keterangan si murid.
K.H Sahal Mahfudz dulu belajar terlebih dahulu sebelum mengaji atau menghadap kepada K.H Zubair Dahlan. Bahkan ada kumpulan khusus sesama santri yang biasanya digunakan untuk forum belajar bersama, bermusyawarah sebelum bertemu dengan gurunya untuk mengaji.
Metode seperti inilah yang selama ini diterapkan oleh Gus Baha. Ia belajar dahulu sebelum mengaji kepada gurunya yaitu K.H Maimoen Zubair. Metode ini menjadikan kiai asal Narukan Kragan ini sebagai ulama yang alim, pakar ilmu fiqih dan ilmu tafsir Al-Qur’an.
Menurut guru kami, Gus Baha juga memiliki kebiasaan membaca kamus bahasa Arab, sehingga perbendaharaan kosa katanya melimpah. (AN)