Hari Raya Idul Adha selalu mengingatkan kita semua kepada dua sosok manusia hebat: Ibrahim dan Ismail. Mereka adalah bapak dan anak yang sama-sama diangkat menjadi nabi sekaligus rasul Allah. Ibrahim adalah rasul ke-6, sementara Ismail rasul ke-8.
Dikisahkan, Ibrahim menerima wahyu untuk menyembelih anak semata wayangnya, Ismail. Ketika disampaikan kepada Ismail, jawaban anak hebat itu adalah, “Laksanakanlah perintah Allah itu, wahai Ayah. Insya Allah aku termasuk orang yang sabar.”
Alangkah hebat jawaban Ismail. Dia benar-benar sosok anak yang menjadi hiasan hati orang tua. Kita kagum dan takjub kepada kesalehan Ismail, kemudian sangat ingin punya anak seperti dia. Pertanyaannya, sudahkah kita sendiri ini sekualitas Ibrahim?
Kita yang shalat saja bolong-bolong, jangan bermimpi punya anak seperti Ismail. Yang masih suka bentak-bentak anak, kerap berbicara kasar, gemar minum arak, doyan joget di pertunjukan dangdut, jangan berharap punya anak macam Ismail.
Jamaah ke masjid saja malas, tetapi rajin banget ngobrol ngalor-ngidol di warung kopi kok tiba-tiba mau punya anak serupa Ismail. Kita bilang, “Biar saya bejat begini juga ingin punya anak baik.” Jawabnya, ingin punya anak baik, mestinya orang tua harus baik dulu.
Sumber yang keruh pasti mengalirkan air yang keruh pula. Wong sumber yang jernih saja belum tentu menghasilkan air yang jernih. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka,” kata Al-Quran. Jadi, jagalah dulu dirimu, sebelum menjaga keluargamu.
Selamatkanlah dulu dirimu, sebelum engkau hendak menyelamatkan istri dan anakmu dari api neraka. Menolong orang yang jatuh ke dalam sumur juga begitu, yaitu mentaslah dulu sebelum menarik tangan orang yang mau tenggelam itu.
Bismillah, kita bisa.