“Jika ada mesin waktu, aku akan kembali ke masa Rasulullah, ikut memperjuangkan Islam di sisinya!”
Status itu saya temukan ketika berselancar di media sosial. Status yang sangat menggugah rasa heroik. Rasanya saya juga ingin sekali segera melompat ikut serta masuk ke dalam mesin waktu, kembali ke 14 abad yang lalu. Namun, seketika itu juga sebuah pemikiran hinggap di kepala.
Jika mesin waktu memang bisa dibuat, umat mana yang kira-kira akan pertama kali membuatnya? Realistis sajalah.
Pemikiran iseng itu memantik pemikiran lainnya, kali ini lebih serius. Kebanyakan umat Islam selalu merasa harus kembali ke masa lalu untuk ‘meraih kejayaan Islam’. Tapi karena tak mampu memutar balik waktu, mereka mencoba menghidupkan kembali tatanan masyarakat arab abad 7.
Mereka berpikir hanya dengan cara itulah Allah akan kembali ridha pada umat Islam, karena menurut mereka terbukti bahwa dalam tatanan, adat, dan budaya seperti itulah satu-satunya masa Islam pernah jaya. Jangan heran jika sekarang mereka begitu keras berupaya meniru sampai detil terkecilnya.
Tapi ada beberapa hal yang mereka lupa. Sekeras apapun mereka mencoba meniru, mereka ternyata tak punya nyali untuk hidup secara murni seperti 14 abad lalu. Mereka tak bisa kehilangan kenyamanan yang ditawarkan oleh dunia modern: penggunaan uang, kemudahan komunikasi dan transportasi, demokrasi yang memungkinkan semua orang bebas berpendapat bahkan sampai taraf asal ngomong, rumah-rumah yang sejuk berlantai ubin keramik, mal-mal adem tempat kongkow dan selfi-selfi.
Karena itu, satu-satunya hal yang bisa mereka tiru hanyalah cara berpakaian, pilihan kata sepotong-sepotong, serta menempelkan atribut. Sisanya, mereka menikmati hidup di alam modern walaupun mulut bolak-balik mengutuk modernisasi. Mereka mengklaim menjadi umat paling kaffah, padahal kaffah model ini memiliki banyak sekali rukhsoh, pengecualian, dengan alasan belum ada sistem penggantinya.
Jadi sistem yang dikatakan tidak murni Islam ini boleh digunakan dulu. Masalahnya, sistem pengganti tidak cepat dicari dan dipraktekkan. Semua menunggu satu hal: punya kekuasaan besar untuk mengubah segalanya. Akhirnya tak ada perubahan kecuali mulut-mulut yang makin tajam dan amarah yang makin tinggi karena menganggap hidup dalam sistem yang ‘kotor dan tidak berkah’ walau sehari-harinya sangat menikmati.
Ada satu bahaya lagi yang tidak disadari jika kita berperilaku sedemikian, sesuatu yang amat serius. Yaitu tanpa sadar merendahkan Allah yang Maha Besar. Menganggap aturan-aturan-Nya hanya bisa tegak dan jaya dalam model kebudayaan spesifik 14 abad lalu benar-benar tindakan pelecehan.
Di atas kertas kita yakin Allah penguasa alam semesta sejak lahirnya sampai kiamat, tapi di sisi lain percaya bahwa Allah tidak memberkahi dan meridhai segala gerak hidup manusia yang terus berubah sepanjang jaman. Padahal keragaman manusia adalah maha karya Allah juga, yang Allah ciptakan untuk disyukuri dan diambil hikmahnya. Selama kita mengira bahwa Allah hanya suka kebudayaan arab abad 7, selama itu pula kita luput menghitung nikmat dikasih hidup di abad 21. Naudzubillahimindzalik.
Marilah kita berhenti dari pola pikir demikian. Yakinlah bahwa kasih sayang dan rahmat Allah tersedia melimpah bagi siapapun di jaman apapun. Jika kita mengidamkan kejayaan Islam kembali, maka laksanakan aturan-aturannya: berbuat baik pada tetangga, kerabat, mereka yang miskin dan lemah. Menegakkan keadilan bagi semua orang. Menahan diri dari nafsu amarah.
Tegakkan makna, bukan bungkus pakaian dan atribut. Insya Allah kita akan menemukan bahwa jalan untuk meraih kejayaan Islam ada banyak sekali, sebanyak perbedaan manusia di dunia ini.
“Kemanapun kamu memandang, disitulah wajah Allah…’
Mari menemukan wajah Allah yang Maha Besar, Maha Meliputi Segalanya, Maha Pengasih dan Penyayang, dimulai dari diri kita sendiri….
Wallahu ‘alam