Seorang kolega senior di lembaga riset tempat saya bekerja, merasa khawatir terkait dengan draft tulisannya yang diberikan kepada saya. Draft tulisan itu berbahasa Inggris, yang akan muncul seminggu ke depan. Kekhawatiran ini didasarkan satu hal, yaitu kritik dalam tulisannya yang membahas mengenai dipilihnya KH Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden yang memiliki jejak yang tak ramah kepada kelompok-kelompok minoritas di Indonesia. Tentu saja kritiknya ini sekaligus akan membicarakan keterhubungan NU dan Politik.
Kekhawatirannya ini muncul karena sebelumnya banyak sarjana luar negeri sudah membahasnya secara tajam. Kehadiran tulisannya akan memperkeruh suasana. Kekhawatiran ini tentu beralasan, tidak hanya dirinya, melainkan bagi banyak sarjana Indonesia lainnya. Lahir dan tumbuh sebagai sarjana Indonesia dan meriset mengenai isu-isu yang terkait dengan apa yang terjadi disekitarnya mau tidak mau ada perasaan terlibat dan upaya untuk melakukan semacam advokasi.
Tanpa bermaksud mengecilkan hatinya, saya kemudian memberitahu untuk meyakini bahwasanya tulisannya itu akan sedikit yang membaca, apalagi menggunakan bahasa Inggris. Tulisannya akan berdampak dan dibaca oleh orang banyak, apabila kemudian dipotong secara sepihak dan kemudian diartikulasikan kembali oleh buzzer dan selebriti media sosial, baik melalui meme ataupun visual lainnya.
Hal ini saya ucapkan sekadar membenturkan dengan kenyataan, betapa sebagian masyarakat Indonesia masih memiliki tradisi oral yang kuat, di mana tontonan kemudian menjadi media utama yang sangat mengasyikan. Tradisi yang menguat ini menjadi sulit untuk membangun budaya baca, mengakibatkan tulisan-tulisan yang serius tidak akan masuk dalam perbincangan publik, apalagi kemudian menjadi materi kebijakan bagi elit politik dan pemegang kebijakan di pemerintahan.
Harus diakui, sebelumnya, perdebatan-perdebatan akademik sekaligus advokasi itu muncul dalam selebaran-selebaran sekaligus buku-buku yang kemudian diproduksi oleh bapak bangsa Indonesia, seperti Soekarno, Hatta, Cokroaminoto, dan lain sebagainya. Di tengah menguatnya kapitalisme media cetak, di tangan merekalah peradaban buku dan artikel terbangun untuk mencerahkan masyarakat.
Di bawah rezim Orde Baru, perdebatan akademik muncul dalam beberapa jurnal, seperti Prisma dan Ulumul Quran serta menyusul kemudian Jurnal Kalam. Di media massa, opini halaman enam kompas kemudian menjadi perbincangan para akademisi sekaligus pemegang kebijakan. Halaman tersebutlah yang memungkinkan seorang akademisi, aktivisi, ataupun intelektual publik membangun karir politiknya hingga bisa masuk jajaran elit politik nasional. Di sisi lain, Catatan Pinggir Goenawan Muhammad sejak tahun 1970-an menjadi semacam contoh bagaimana sebuah esai dan intelektualitas itu dibangun.
Pasca rezim Orde Baru, struktur media berubah, kehadiran internet dan media online kemudian menjadi lanskap baru yang memecah sentralisasi wacana dan pengetahuan untuk publik, meskipun kolom atau opini masih jadi garda depan intelektualitas publik. Kondisi ini kemudian makin tergerus dengan massifnya penggunaan media sosial dengan ragam ikutannya, tidak hanya mempercepat reproduksi informasi tetapi juga membentuk wajah baru pengetahuan melalui potongan meme dan cuitan-cuitan provokatif.
Orang yang disebut ahli dalam bidang tertentu menemukan ajalnya, para ahli-ahli baru dengan kemampuan perambah Google kemudian menjadi jagat baru apa yang disebut dengan ahli. Bertambahnya jumlah followers, banyaknya retweet, like, dan sharing menjadi penanda apakah seseorang dianggap berpengaruh ataupun tidak.
Meskipun anda lulusan luar negeri terbaik dan ahli di bidang sesuatu, kalau sedikit empat kategori yang saya sebutkan tersebut, anda bukanlah apa-apa. Sosok seperti Jonru atau sejenisnya kemudian mengisi ruang publik maya Indonesia.
Di tengah situasi tersebut, media lama seperti televisi dan media cetak harus menyesuaikan diri dengan dan kemudian mengalami proses integrasi dengan internet dan media online; apa yang terjadi di media online dan media sosial, harus juga kemudian disiarkan di televisi sekaligus media cetak.
Dalam acara televisi, talkshow seperti Indonesian Lawyer Club (ILC), kemudian menjadi momentum baru yang dapat menghubungkan hal tersebut, di mana apa yang terjadi dalam politik nasional, secepatnya juga harus tayang secara langsung, dengan mengundang orang-orang yang terkait dengan isu tersebut dalam satu meja. Struktur semacam ini kemudian membuat ILC menjadi primadona baru yang dapat menyedot penonton yang kemudian menjadi perbincangan publik sekaligus rating tinggi untuk iklan. Lebih jauh, ILC kemudian menjadi patok-patok peradaban baru di Indonesia, di mana acaranya seakan-akan menentukan nasib bangsa Indonesia yang tampak berada di titik nadir.
Apa yang muncul dari ILC kemudian diliris oleh semua media online dan menjadi perbincangan di sejumlah media sosial dan menjadi obrolan di dunia offline. Bahkan, tanggapan yang muncul terkait dengan ILC tersebut menjadi suguhan berita. Selain itu, informasi yang keluar dari para pembicara di ILC seolah merupakan fakta menyeluruh dari bangunan politik Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini. Tidak ada pertautan atau perbandingan mengapa seseorang bisa berbicara demikian. Tidak ada pengecekan data atau konfirmasi dengan informan lain yang terkait apakah yang dibicarakan itu sesungguhnya terjadi atau tidak. Apa yang dibicarakan oleh tokoh kunci dalam ILC tersebut dianggap sebagai kebenaran tangan pertama yang bisa diresepsi oleh publik.
Dari kondisi ini, saya bertanya-tanya, jika peradaban Indonesia dibangun melalui talkshow semacam acara ILC ini, untuk apa kampus-kampus di Indonesia kemudian menggenjot para akademisinya untuk berlomba-lomba menulis artike jurnal terindeks scopus atau internasional lainnya? Jika pengetahuan Indonesia bisa dibentuk melalui talkshow semacam ini, di mana kita meletakkan fungsi konferensi (nasional dan internasional) yang sekarang semakin marak di tengah keengganan pejabat publik untuk membacanya apalagi dijadikan pegangan?
Saya melihat ada yang salah dengan logika kita dan seringkali kita tidak mau mengakuinya. Kita berbicara mengenai pentingnya ilmu pengetahuan dan riset dan bagaimana membangun negara dengan kebijakan melalui kertas kerja hasil dari riset mendalam, tapi, secara diam-diam dan resepsi publik, kita tahu bahwasanya talkshow semacam ini justru yang lebih didengarkan.
Jika melihat kelakukan para elit politik, negara ini seolah hanya dibangun oleh intrik, mitos, dan gosip yang kemudian menjadi bahan konsumsi publik. Saya merasa muak dengan hal tersebut, tapi diam-diam turut menikmatinya karena setiap hari mengikuti dan kemudian mengkonsumsinya. Di sisi lain, dengan sangat naif, saya selalu meneguhkan bahwa rasionalitas merupakan basis keputusan yang penting untuk bertindak dan bekerja, tapi kita begitu marah atas nama nasionalisme ketika membawa yang berbau asing dalam arena pertarungan untuk melakukan kompetisi di Indonesia.
Di tengah situasi tersebut, para penuntut ilmu yang tekun dengan buku, artikel jurnal, data, makin menjadi makhluk asing di tengah tradisi merayakan oral tradisi semacam ini; membuat saya begitu kagum, tidak percaya, sekaligus miris atas realitas yang disuguhkan.
Ya, saya tahu, ini zaman ketika yang disebut intelektual adalah mereka yang berteriak lantang melawan negara sekaligus mereka yang memiliki followers yang banyak di media sosial sekaligus bersikukuh bahwasanya kebenaran akan selalu ada tanpa melihat celah kepada rejim yang didukungnya. Tuitan-tuitan di media sosial dianggap sebagai kemampuan para ahli yang seolah-olah sudah menyerap ilmu pengetahuan sejagad raya.
Di sini, peradaban Indonesia dibentuk sambil sesekali berfoto dengan buku-buku tetralogi Pram ataupun karya-karyanya Eka Kurniawan agar kita disebut sebagai intelektual sekaligus berpendidikan di media sosial. Orang boleh tidak setuju, tapi secara realitas, kita tidak boleh menutupi bahwa talkshow ILC sekaligus talkshow sejenis lainnya merupakan patok-patok peradaban Indonesia yang dikonsumsi dan menjadi perbincangan publik saat ini yang menampung semua keluhan, intrik, sekaligus dakwa sangka yang hadir, baik sebagai kebenaran ataupun kebohongan di media sosial.