Dalam hidup ini kita kadang-kadang memerlukan suara dan pikiran-pikiran pihak luar. Dari mereka kita bisa menangkap suara lain yang mungkin lebih jernih dan berani. Bahwa kenyataannya tak menggembirakan, soal lain lagi.
Suara itu datang dari Jeremy Menchik. Jika kita dengan begitu percaya diri mengklaim Indonesia negara paling moderat di dunia, indonesianis ini mengemukakan hal berbeda seperti diulasnya dalam A “Tolerant” Indonesia? Indonesian Muslims in Comparative Perspective (2018). Dibanding enam negara berpenduduk muslim terbanyak, Indonesia malahan berada di nomor empat. Nomor pertama dipegang Yordania, disusul Iran dan Maroko. Setelah Indonesia muncul berderet-deret negara Turki, Irak dan Mali.
Temuan itu diambil Assistant Professor di Universitas Boston AS ini dari hasil World Value Survey (WVS) sepanjang 2005-2009, sebuah survei lintas-negara dan survei longitudinal tentang tren nilai-nilai dan kepercayaan masyarakat. Dalam tiga dekade terakhir, lembaga itu berhasil menjangkau lebih dari 100 negara dan menyediakan basis data opini publik lintas-nasional yang paling komprehensif.
Salah satu pertanyaan yang diajukan untuk mengukur tingkat toleransi dan moderasi adalah jawaban responden muslim di tujuh negara tersebut, termasuk Indonesia, adalah pertanyaan berikut: apakah mereka mau bertetangga dengan orang-orang yang berbeda ras, agama, dan yang berbahasa lain. Hasilnya tadi.
Pandangan Menchik senada Greg Fealy, khususnya ketika melihat kasus-kasus Ahmadiyah dan Syiah selama periode Soesilo Bambang Yudhoyono dalam The Politics of Religious Intolerance in Indonesia: Mainstream-ism Trumps Extremism? (2016) Salah satu rujukan Associate Professor di Australian National University ini adalah Survei global Pew Research Center pada 2012. Survei menunjukkan 78 persen Muslim Indonesia menganggap Ahmadiyah bukan bagian dari umat Islam.
Ini jumlah tertingi dibanding negara mana pun, bahkan termasuk dari muslim di Pakistan (66 persen), negara yang secara konstitusional melarang sekte ini dan banyak melaporkan kasus-kasus kekerasan terhadap Ahmadi selama beberapa dekade.
Temuan itu, katanya, bermiripan dengan temuan dalam survei CSIS tahun 2009. Lembaga itu menunjukkan 70 persen responden menginginkan Ahmadiyah dilarang. Sebanyak 48 responden Indonesia berpandangan Syiah bukan Islam.
Dari data itu Greg juga berpandangan bahwa kekerasan dan diskriminasi atas Syiah dan Ahmadiyah juga disumbang oleh “restu” kelompok moderat yang sebagiannya “tak menginginkan” Syiah dan Ahmadiyah . Lantas apa yang ingin kita katakan dari data dan pandangan ini?