Orang-orang yang dijamin masuk surga tidak hanya orang yang mengajar ilmu agama saja, orang yang mengajar ilmu matematika pun punya kesempatan yang sama. Salah satunya adalah kisah Imam Amudi ini.
Ilmu pengetahuan berkembang pesat hingga saat ini. Berbagai macam profesi ditekuni oleh manusia, tak terkecuali guru. Tak jarang manusia melakukan pekerjaan hanya demi mendapat upah materi dan mengesampingkan upah dari Yang Maha Pemberi.
“Zaman dahulu, guru mengajar dengan ikhlas karena tidak rela melihat umat Nabi saw. menjadi bodoh.” ungkap KH. Bahauddin Nursalim dalam kajiannya.
Gus Baha menuturkan kisah seorang guru matematika dalam salah satu kitab karya Syekh Mahfudz at-Turmudzi. Dikisahkan ada seorang matematikawan Islam, beliau bernama Imam Amudi. Kesehariannya, Imam Amudi mengajarkan matematika kepada murid-muridnya. Di samping menyukai matematika, beliau juga ahli dalam ilmu usul fikih.
Suatu hari muridnya meragukan masa depan sang guru di akhirat kelak, apakah beliau kelak akan masuk surga karena setiap hari mengajar matematika. Keraguan sang murid dijawab oleh Allah melalui mimpinya. Murid Imam Amudi bermimpi, ia mengungkapkan rasa curiganya kepada gurunya. Lalu dijawab oleh Imam Amudi, “Oh ya tentu saja, bahkan tidak hanya masuk surga, tetapi saya juga menjelaskan matematika kepada para malaikat.”
Para malaikat dikumpulkan oleh Allah untuk mendengarkan penjelasan Imam Amudi. Allah bertanya kepada para malaikat, “Wahai para malaikatku, mengapa engkau iman kepadaku?” Lalu dijawab oleh malaikat, “Ya karena kami melihat kekuasaan engkau Ya Allah” Lantas Allah mengungkapkan “Tapi orang ini lebih beriman daripada kalian.” Malikat menyanggah, “Ya tidak bisa Ya Allah, kami melihat engkau secara langsung, sedangkan dia tidak.” Kemudian Allah memerintahkan kepada Imam Amudi untuk menjelaskan matematika kepada para malaikat.
Imam Amudi menjelaskan konsep matematika sederhana kepada para malaikat. Beliau mengungkapkan bahwa angka 2, 3, dan seterusnya itu diawali dari angka satu. Artinya, tidak akan ada angka 2, 3, bahkan hingga satu milyar pun jika tak ada angka satu. Berapapun angkanya, itu merupakan cabang dari angka satu.
Di dunia, seberapa pun banyak variannya, baik hewan, manusia, tumbuhan, dan makhluk lainnya, banyaknya selalu dimulai dari satu. Jadi, dalam hal apapun selalu dimulai dari satu dan satu ini harus berwujud yaitu Allah. Malaikat pun diam, tidak ada yang berkomentar karena meyakini kepastian bahwa Allah itu satu.
Mungkin sebagian dari kita ada yang berpikir bahwa bukankah angka nol lebih awal daripada angka satu? Faktanya, angka nol ditemukan paling akhir, setelah penemuan angka 1 hingga 9 sehingga tak akan ada angka nol sebelum adanya angka satu. Dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang wujud, penyebabnya haruslah berwujud, tidak mungkin apabila sesuatu tidak wujud atau ketiadaan menyebabkan sesuatu ada. Jika ada angka 7, seribu, satu juta, bahkan satu milyar pun, pastilah ia diawali dari adanya angka satu.
Kemudian Allah mengungkapkan bahwa yang hebat adalah imannya orang yang tidak melihat Allah secara langsung. Iman dari umat Rasulullah SAW yang tidak hidup di zamannya tetapi senantiasa iman kepada Allah. Mereka juga bisa memiliki kualitas iman yang setara dengan imannya para malaikat. Mereka menggunakan caranya masing-masing, di antaranya menggunakan logika seperti yang dilakukan oleh Imam Amudi. Berangkat dari ahli matematika, Imam Amudi menjadi ahli tauhid yang mengenalkan konsep tauhid dari angka.
Ilmu pengetahuan yang kita pelajari tak akan ada habisnya dan akan selalu relevan dengan Al-Qur’an dan hadis karena ilmu pengetahuan sejatinya berasal dari Al-Qur’an dan hadis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan apapun yang kita miliki dan pelajari, haruslah kita jadikan wasilah untuk menambah iman kita kepada Allah. Begitu juga dengan profesi/pekerjaan dan posisi kita saat ini harus senantiasa kita lakukan semata-mata karena Allah SWT. (AN)