ISIS bisa dikatakan sebagai kelompok teroris yang terang-terangan mengikutsertakan perempuan dalam proyek besar “daulah islamiyyah” mereka. Perempuan diajak untuk turut serta berhijrah ke Suriah atau menyumbangkan harta mereka sebagai bagian dari upaya jihad. Hal ini tentu berbeda dengan zaman Jemaah Islamiyyah (JI) di mana aktivitas yang berkaitan dengan terorisme didominasi oleh kaum laki-laki. Bahkan perempuan yang turut serta dalam menyebarkan narasi di Internet pun menggunakan nama samaran laki-laki (Laporan IPAC No. 35, 2017).
Hal ini menunjukkan bahwa kelompok JI tidak memberikan ruang yang besar bagi keikutsertaan perempuan untuk menjaga keberlangsungan organisasi. Tidak hanya itu, perempuan juga sering dicap sebagai makhluk yang tidak mampu untuk menjaga rahasia, sehingga aktivitas suami dalam jaringan JI harus dirahasiakan dari istri-istri mereka.
Melihat fenomena ini, Nelly Lahoud memberikan sebuah analisa yang menarik dalam tulisannya yang berjudul Empowerment or Subjugation: An Analysis of ISIL’s Gendered Messaging (2018). Lahoud menemukan bahwa ISIS menggunakan narasi pemberdayaan dalam majalah Dabiq yang ditulis dalam Bahasa Inggris dan ditujukan bagi para pembaca di dunia barat. Salah satu contohnya adalah dengan mengajak perempuan untuk berhijrah ke Suriah dan bergabung dengan daulah Islamiiyah sebagai sebuah kewajiban bagi umat muslim perempuan dan laki-laki. Hal ini sejalan dengan temuan Saltman dan Smith (2015) yang mendapatkan beberapa wanita di barat memutuskan untuk pergi ke Suriah karena merasa hal tersebut merupakan kewajiban beragama mereka.
Berbeda dengan Dabiq, majalah terbitan ISIS yang ditulis dalam Bahasa Arab, yakni An-Naba, kerap memposisikan perempuan sebagai makhluk yang tidak setara dengan laki-laki, dan menyatakan bahwa perempuan seharusnya memanfaatkan waktunya untuk beribadah dan berefleksi keitmbang hanya bergosip dan berbelanja. Bagi Lahoud, hal ini bukanlah kontradiksi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh ISIS, melainkan tanda yang jelas bahwa ISIS memang tidak pro masalah pemberdayaan perempuan.
Keterlibatan perempuan dengan berhijrah, menyumbangkan harta dan menjaga motivasi suaminya semata-mata untuk kepentingan ISIS. Hal ini terlihat jelas ketika perempuan-perempuan yang berhijrah itu tiba di Suriah. Mereka dihujani dengan aturan yang ketat dalam hal berpakaian dan ruang gerak. Dalam Manifesto al-Khansa juga disebutkan bahwa tugas utama perempuan adalah menjadi istri, ibu untuk mendukung suami dan anak laki-laki agar mereka konsisten untuk berperang bersama ISIS. Seruan ISIS terhadap peran perempuan, nampaknya tidak terlalu berbeda jauh dengan yang terjadi pada periode al-Qaeda, terutama setelah perempuan masuk ke dalam lingkungan mereka di Suriah.
Cerita Dhania, salah satu returnee ISIS asal Indonesia, menunjukkan bahwa perempuan di lingkungan Daulah lebih banyak menghabiskan waktu mereka di rumah khusus perempuan. Dia dan saudara perempuannya juga ditawarkan untuk menikahi para pejuang ISIS sebagai pembuktian bahwa mereka ikut berjihad bersama ISIS. Sama halnya pula dengan kisah Ummu Shabrina yang menceritakan perjuangannya sebagai seorang istri yang menjaga anak dan menunggu suaminya dengan sabar ketika dia tengah berperang.
Peran dan ruang gerak perempuan di lingkungan “daulah islam” ala ISIS tidak lah sebebas para laki-laki. Ilusi pemberdayaan perempuan banyak terhenti setelah mereka melakukan hijrah ke Suriah. Selepas itu, mereka diharapkan menjadi pendorong dan penjaga motivasi suami dan anak-anak mereka agar mau berperang melawan musuh-musuh ISIS. Bagi Lahoud, hal ini jelas menunjukkan bahwa ISIS tidak fokus untuk membangun perempuan, melainkan hanya diri nya sendiri, demi keberlangsungan khilafah.
Ketidakberpihakan ISIS terhadap perempuan juga terlihat dari pelegalan perbudakan perempuan. ISIS menggunakan narasi ‘ghonimah’ agar para laki-laki bebas untuk memiliki para perempuan dari kelompok yang kalah perang. Bahkan, ISIS menamai mereka dengan sebutan budak. Kesempatan untuk memiliki budak tentu merupakan salah satu cara yang digunakan ISIS untuk memotivasi laki-laki agar bergabung bersama mereka.
Namun hal yang perlu diwaspadai adalah bahwa ilusi pemberdayaan ini bukan hanya mendorong perempuan untuk berhijrah ke Suriah, tetapi juga untuk melakukan aksi terror di negara asal mereka. Terutama perempuan yang tidak bisa berhijrah ke negeri daulah dan kerap membaca propaganda lain seperti anjuran melakukan istisyhadiyah.
Contohnya adalah Dian Yuli Novi, calon pelaku bom bunuh diri pertama perempuan di Indonesia. Dia mengungkapkan bahwa alasannya untuk melakukan jihad adalah karena di Indonesia laki-laki sudah tidak melakukannya. Melalui surat yang diberikan kepada kedua orang tuanya, Dian juga mengungkapkan bahwa dia ingin melakukan bom bunuh diri karena ingin menyelamatkan kedua orang tuanya dari azab dan siksa neraka.
Hal ini karena dia meyakini seorang yang syahid dapat memberikan syafaat kepada keluarganya. Dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi, Dian mengungkapkan bahwa jalan yang ia tempuh adalah jalan-jalan orang Ghuraba. Pemahaman serupa juga bisa dilihat dari kasus Dita, perempuan yang ditangkap karena hendak membantu para napiter di Mako Brimob Depok. Dalam wawancara dengan Majalah Tempo, Dita mengungkapkan keinginanya untuk bergabung dengan pasukan ISIS jika bisa pergi ke Suriah. Dia tidak ingin menikah karena menganggap dirinya masih muda. Jika kita lihat, narasi yang ditujukan kepada perempuan adalah untuk menikah dengan para pejuang ISIS. Namun, nyatanya, Dita menolak hal tersebut.
ISIS memang tidak menawarkan pemberdayaan perempuan, namun ilusi seolah berdaya mampu untuk mendorong perempuan pergi berhijrah ke Suriah dan berkeinginan untuk melakukan aksi terror.