Kata Perempuan Dalam Al-Quran Disebut Sebanyak 57 Kali, Sama Seperti Laki-laki

Kata Perempuan Dalam Al-Quran Disebut Sebanyak 57 Kali, Sama Seperti Laki-laki

Kata Perempuan Dalam Al-Quran Disebut Sebanyak 57 Kali, Sama Seperti Laki-laki
Ilustrasi perempuan bekerja (Freepik)

Pemberdayaan perempuan disinggung dalam Al-Qur’an dengan menyebutkan bahwa Allah menjadikan manusia sebagai khalifah fil ardh. Pada QS.Al-Baqarah/2:30 ayat tersebut menjelaskan Allah ingin agar manusia bisa mengelola bumi dengan sebaik-baiknya untuk dijadikan modal kehidupan dan keturunan mereka. Allah menambahkan dalam QS. Al-Mulk/67:  15 yang berbunyi:

 هُوَ الَّذِیۡ جَعَلَ لَکُمُ الۡاَرۡضَ ذَلُوۡلًا فَامۡشُوۡا فِیۡ مَنَاکِبِهَا وَ کُلُوۡا مِنۡ رِّزۡقِهِ‌ؕوَ اِلَىْهِ النُّشُوۡرُ

Allah telah menjadikan bumi sebagai tempat hidup yang pantas, kemudian menjadikan struktur bumi yang lembek sehingga bisa digunakan bercocok tanam. Pada potongan ayat “Famsyu fi manaqibiha wa kulu min rizqih” dapat diartikan seruan kepada manusia untuk memanfaatkan bumi sebaik-baiknya sebagai bagian dari rizki yang diberikan Allah SWT.

Allah hanya memberikan modal-modal awal kepada manusia, agar modal awal tersebut bisa dimanfaatkan, modal tersebut berupa flora, fauna, dan kekayaan lain yang terkandung di dalam bumi. Namun semuanya bergantung kepada manusia itu sendiri, apakah mereka bisa mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya. Manusia memberdayakan anugerah dari Allah dengan menggunakan semaksimal mungkin dan memanfaatkannya. Usaha atau ikhtiar dalam memanfaatkan anugerah dari Allah akan berdekatan dengan kata “amal”, sedangkan hal yang berkaitan dengan amal di dalam Al-Quran adalah menghormati amal manusia, yakni menghormati mereka yang mau bekerja.

Allah juga sangat menghargai ilmu pengetahuan. Allah memberikan ilmu pengetahuan sebelum menurunkan Nabi Adam. Hal ini sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Baqarah/2: 31

وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلْأَسْمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى ٱلْمَلَٰٓئِكَةِ

Ayat di atas merupakan bentuk apresiasi Allah SWT atas ilmu pengetahuan. Selain ayat tersebut, ada beberapa ayat lain yang menyinggung tentang ilmu pengetahuan, seperti QS. Az-Zumar/39: 9,

  هَلْ يَسْتَوِى  ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

Ayat tersebut menunjukkan bahwa derajat orang tidaklah sama antara yang berilmu pengetahuan dengan orang yang tidak berilmu pengetahuan. Pada ayat lain QS.Al-Mujadilah/58: 11 disebutkan,

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ

Orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan akan Allah angkat derajat mereka. Ayat tersebut tidak dibatasi antara perempuan dan laki-laki.

Diskursus posisi perempuan (wanita, al-nisa’) dalam Islam mendapat perhatian cukup serius. Terminologi perempuan (al-nisa’) dalam Al-Qur’an bahkan dipergunakan sebanyak 57 kali, sama dengan kata al-rajul/al-rijal (laki-laki) atau al-untsa yang berpasangan dengan al-dzakar. Perimbangan ini selintas memberikan suatu indikasi, bahwa antara kedua jenis kelamin tersebut sungguhpun memiliki perbedaan, diperlakukan dan diperhatikan secara berimbang (sama) oleh Islam. Kesetaraan ini hingga berkali-kali Allah SWT menyebutkan keduanya secara berdampingan dan berpasang-pasangan, seperti dalam QS.Ghafir/40: 40, Ali Imran/3: 195, Al-Nahl/16: 97, Al- Ahzab/33: 35 dan sebagainya.

Bahkan, dalam beberapa hadis, Nabi Muhammad justru sangat memuliakan dan lebih menganjurkan untuk mendahulukan penghormatan kepada perempuan ketimbang laki- laki. Misalnya pada saat Nabi ditanya seorang sahabat perihal “Siapa di antara manusia yang paling utama untuk dihormati?”. Nabi mengulang jawaban “ibumu” sebanyak tiga kali, setelah itu baru “ayahmu”. Hadis ini dikuatkan pula dengan sabda beliau, “al-Jannatu tahta aqdâmil ummahât“, surga itu di bawah telapak kaki ibu.

Dengan demikian, dalam Islam, eksistensi perempuan benar-benar mendapat tempat yang mulia, menjadi mitra sejajar laki-laki, Islam tidak menempatkan perempuan sebagai unsur sub-ordinat (di bawah) dalam pranata sosial. Kehadiran Islam justru melenyapkan diskriminasi laki-laki atas perempuan. Sejarah mencatat, bahwa sebelum Islam datang posisi perempuan hanyalah sebagai obyek, bahkan sering dijadikan komoditas perbudakan dan “seksual”. Keyakinan yang berkembang saat itu memandang perempuan sebagai penghalang kemajuan. Asumsi ini kemudian diluruskan Allah dalam QS.Al Ahzab/33: 35.

Persoalan yang muncul kemudian, sungguhpun Islam telah mendasari penyadaran integratif tentang eksistensi perempuan dalam beberapa hal sebagai mitra sejajar laki-laki, namun realitas yang terjadi saat ini, di berbagai negeri yang mayoritas muslim, justru menampilkan pemandangan yang kontradiktif. Perkembangan dan pertumbuhan Islam ke berbagai penjuru dunia tidak bisa dilepaskan dari faktor kultural (bi lughati qaumihim). Pengaruh kultur yang masih bersifat patrilinial dan kenyataan perbandingan proposional antara laki-laki dan perempuan memacu suburnya “diskriminasi” gender.

Harus diakui, bahwa di dalam Al-Qur’an memang terdapat ayat-ayat yang secara qath’iy (tegas/pasti) menempatkan laki-laki di atas perempuan; misalnya ayat tentang mawaris. Terhadap teks-teks ayat tersebut memang tidak ada ruang untuk merenovasi. Namun jumlah ayat-ayat semacam ini sangatlah minim, sekitar 5%.

Perbedaan ini lebih disebabkan karena faktor kodrati, di mana laki-lakilah yang memiliki tanggung jawab atas bangunan suatu rumah tangga. Sama halnya dengan peran domestik perempuan yang sudah menjadi kodrat kaum hawa, seperti sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak, melahirkan, menyusui dan sebagainya, jelas tidak mungkin disejajarkan dengan laki-laki. Di sinilah rahasia Allah menciptakan kedua jenis makhluq tersebut berpasang-pasangan terlihat secara nyata.

Sementara itu, di luar peran-peran kodrati, seperti dalam kancah politik, sosial-budaya, ekonomi, serta pranata sosial lainnya, antara laki-laki dan perempuan masing-masing memikul tanggung jawab secara bergandeng tangan dan bahu membahu sebagai mitra sejajar. Hal ini telah Allah tegaskan dalam QS.At-Taubah/9: 71.

Maka sangat wajar jika dalam lintas sejarah umat Islam terdapat tokoh perempuan yang berperan sebagai pemimpin gerakan politis, misal Siti Aisyah saat memimpin pertempuran Jamal, Syajara-Tuddur tatkala menjadi Ratu di masa Dinasti Mamalik. Cut Nya Dien yang memimpin Perang Aceh, Benazir Butho yang menjadi Perdana Menteri Pakistan dan sebagainya.

Sementara itu, di tubuh ormas-ormas Islam di Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah, perhatian terhadap pemberdayaan hak-hak perempuan dalam organisasi massa Islam terbesar di kawasan Asia Tenggara ini sudah lama bergulir. Lahirnya organisasi Muslimat NU, Fatayat NU, IPPNU, Aisiyah, jelas diproyeksikan untuk lebih memberikan peran kepada kaum perempuan. (AN)