Dulu, saya pernah fobia simbol iluminati, fobia beli coklat di hari valentine bahkan jadi ketua panitia pengajian tolak valentine tiap tanggal 14, fobia pakai daleman ciput ninja karena kata Mbak murobbiyah di kampus dulu ciput ninja itu sama dengan yang dipakai suster gereja dan dia keluarkan dalil andalan bahwa kita nggak boleh menyerupai suatu kaum. (Suaminya Mbak murobbiyah ini akhirnya saya unfriend dari FB pas musim pilpres kemarin karena setiap saat heboh teori konspirasi -sungguh-sungguh dalam level yang mabok teori konspirasi- kecurangan KPPS padahal kerjanya di BUMN dan istrinya pun belajar pakai beasiswa LPDP)
Saya nggak tahu tepatnya kenapa saya sembuh dari pikiran-pikiran begitu. Seingat saya, saya bergeser dari pikiran-pikiran klenik begitu bukan karena belajar dalil-dalil lain, melainkan menghayati konsep hidup merdeka. Prosesnya tentu tidak singkat. Mungkin pertemuan dengan istilah kaum merdikanya Tan Malaka, merdeka ala Kartini, merdeka ala Bumi Manusia-nya Pram, merdeka ala Umar Kayam di novel Para Priyayi, merdeka ala Hamka, merdeka ala Soekarno, merdeka ala Ahmad Wahib, merdeka ala Agus Mulyadi, sampai merdeka ala tasawuf enteng-entengan.
Kenal kata berpikir merdeka tak hanya jadi sejarah melek budaya keberaksaraan buat saya pribadi, tapi juga bikin hidup lebih hidup: tidak mudah mengeluh, tidak mudah patah, tidak lekas kalah dll.
Kemarin, Ridwan Kamil menghadiri debat terbuka untuk klarifikasi hoaks simbol iluminati Masjid Al Safar yang diviralkan oleh “Ustaz” Rahmat Baequni. Ustadz yang berfollower ratusan ribu di Instagram hadir bersama ribuan pengikutnya. Ia memaparkan pesan Nabi untuk menjauhi fitnah Dajjal yang pada masa kini bisa masuk lewat simbol dan arsitektur.
Ridwan Kamil yang arsitek itu memaparkan kalau mesjid Nabawi juga segitiga bentuknya, bahkan simbol FPI juga bentuknya segitiga. Tapi tidak pernah ramai dibahas. Ridwan Kamil, ketika memaparkan begitu, cuma disoraki Huuuuu oleh pendukung Ustadz. Mereka ditengahi oleh ketua MUI Jabar dan ujung-ujungnya salaman.
Diskusi umum terkait Arsitektur Masjid dengan Ustadz Rahmat Baequni, saya tutup dgn pertanyaan ttg masjid2 lainnya yg punya segitiga /satu lingkaran termasuk mihrab Masjid Nabawi di slides ini. Sudahi ya warga Jabar. Move on. Peradaban revolusi 4.0 dan 5.0 menanti antisipasi kita pic.twitter.com/a8l5zXxxaw
— Ridwan Kamil (@ridwankamil) June 10, 2019
Entah apa hasil pertemuan semacam ini. Saya nggak yakin pendukung Ustadz Rahmat Baequni ujug-ujug logikanya jalan setelah diberi pemaparan Ridwan Kamil. Apalagi Sang Ustadz sejak awal sudah pakai senjata “pesan Nabi”. Pokoknya kalau pakai “dalil”, (aduh, saya nggak berani teruskan bagian ini, bahaya. Skip saja).
Begini. Saya sedang berpikir, bagaimana biar umat ini berhenti tergiring untuk pengetahuan keklenikan yang disebar oleh seorang agamawan (yang biasanya suksesor kampanye). Nggak takut sama bentuk segitiga.
Ngajakin semua orang buat baca buku yang ngajarin epistemologi ini-inu jelas nggak mungkin. Memaksa pentolan berseragam agamawan tapi punya keterampilan pendongeng kisah-kisah misteri buat turun panggung jauh lebih tidak mungkin lagi.
Sedangkan negara lain sudah berpikir bagaimana caranya bikin rumah tahan gempa di tengah ruang kota yang sudah terlanjur remuk dihantam kapitalisma.
Kita umat Islam diminta bangga jadi umat yang besar. Tapi kalau kritik orang pakai seragam agamawan tapi goblok pasti langsung ditanya “anda Islam bukan?” atau diminta maklum karena sebaik-baiknya persaudaraan adalah saudara se-Islam.
Ya nggaklah. Saudara yang baik itu boleh noyor (baca: mengingatkan) kepala saudaranya yang sudah nggak eling karena kebanyakan konsumsi hoaks. Bukan begitu, bukan?