Setiap Muslim tentu tahu bahwa Nabi poligami, tapi tidak semua tahu bahwa Nabi punya istri seorang Yahudi. Lebih tepatnya, seorang Yahudi yang juga mantan istri dari seorang Yahudi yang terang-terangan memerangi Islam; seorang putri dari provokator yang menyebabkan ketegangan dan konflik besar antara Madinah dan Bani Nadhir dan Bani Quraizah. Namanya: Shafiyyah binti Huyay.
Shafiyyah menikah dengan Kinanah, pemuka Bani Nadhir yang tinggal di Khaibar. Sejak kecil Shafiyyah penasaran pada sosok Nabi, tapi ia diisolasi oleh keluarganya. Ketika Kinanah menginisiasi pemberontakan terhadap Madinah, Nabi meresponnya dengan mengepung Khaibar. Singkatnya, Khaibar takluk dan Shafiyyah menjadi tawanan.
Rasulullah kemudian menikahinya. Upaya ini sepertinya juga dimaksudkan untuk mempercepat proses perdamaian antara Madinah dan bangsa Yahudi paca konflik berkepanjangan. Bahkan ketika Shafiyyah diejek istri-istri Nabi yang lain dengan sebutan putri Huyay, untuk ‘mengingatkannya’ akan ‘keyahudian’ dan ‘kejahatan’ ayahnya, Nabi marah besar.
Hari ini, sebagian dari kita bahkan marah hanya karena seseorang berbangsa Yahudi, walaupun dia bisa jadi pendudukan Palestina. Lebih parah lagi, sebagian dari kita malah cenderung menganggap setiap orang kulit putih adalah Yahudi dan setiap Yahudi pasti jahat.
Suku Yahudi lain yang pemberontakannya digagalkan adalah Bani Quraizah. Rasulullah mendapat Raihanah sebagai tawanan. Beliau melamarnya tetapi Raihanah menolak. Percayalah kepadaku duhai Rasul, ujarnya, begini lebih baik bagi kau dan aku. Setelah beberapa waktu tinggal di Madinah, Raihanah masuk Islam.
Upaya mencipta perdamaian di tengah diversitas Madinah terekam juga dalam pernikahan Nabi dengan Juwairiyah binti al-Harits dari Bani Musthaliq. Singkat cerita, setelah kalah dalam suatu perang yang singkat, dua ratus keluarga dari Bani Musthaliq ditawan beserta 2000 unta dan 5000 kambing. Secara kasat mata: jumlah ini menggiurkan.
Tetapi Rasul memutuskan menikahi Juwairiyah dan pernikahan itu menyebabkan Muslim membebaskan semua tawanan. Upaya rekonsiliasi dan perdamaian jadi lebih cepat karena melibatkan proses pemersaudaraan dan pemaafan.
Tetapi, mungkin misi rekonsiliasi ini belum selesai sampai di sana. Ketika Raja Muqawqis menerima surat ajakan berislam dari Nabi, Raja Muqawqis menolak. Tetapi, dia ingin membangun hubungan diplomatik dengan Madinah. Maka dikirimlah hadiah-hadiah termasuk Mariyah dan Sirin. Mariyah dinikahi Nabi. Sepertinya hal ini juga dimaksudkan untuk menunjukkan apresiasi dan penerimaan Nabi atas pilihan keyakinan sang Raja dan itikad baik membangun pertemanan lintas agama.
Kelak, pernikahan ini sepertinya dijadikan rujukan sebagian ulama yang membolehkan lelaki Muslim menikahi perempuan Ahlul Kitab.
Namun begitu, pernikahan ini juga menegaskan bahwa terlepas dari segala perbedaan keyakinan, kita sebetulnya bisa hidup rukun dalam keberagaman. Karena jika Nabi tak berniat untuk ini, beliau bisa saja menolak hadiah-hadiah itu dan memilih melancarkan serangan. (Habis)