Setelah memperistri Saudah, Aisyah, dan Hafshah, Rasulullah menikahi Zainab binti Khuzaimah dari suku Bani Amir. Zainab dijuluki Ibu orang-orang miskin karena kepeduliannya terhadap orang-orang miskin.
Zainab dua kali menikah. Suami pertama menceraikannya, suami kedua kalah duel satu-lawan-satu melawan Utbah pada Perang Badar. Rasulullah kemudian meminangnya. Pernikahan dengan Zainab binti Khuzaimah memberi dampak rekonsiliasi antara Madinah dengan Bani Amir.
Abu Bara, pimpinan Bani Amir, bahkan meminta Rasul mengirimkan sahabat untuk mengajarkan Islam kepada warganya. Hanya, Abu Bara tidak sadar bahwa di tubuh Bani Amir sedang ada upaya kudeta terhadapnya. Sahabat Nabi dibunuh oleh oposan yang hendak menggulingkan Abu Bara.
Namun demikian, terlepas dari tragedi yang dialami sahabat Nabi akibat konflik di tubuh Bani Amir, pernikahan Rasul dengan Zainab binti Khuzaimah (yang tidak berumur sampai setahun karena Zainab keburu meninggal) bisa dikategorikan sebagai pernikahan yang bertujuan memperkuat rekonsiliasi antar suku-bangsa.
Pernikahan lain yang bertujuan untuk rekonsiliasi adalah pernikahan Rasulullah dengan Ummu Habibah, putri Abu Sufyan. Rasul melamar Ummu Habibah melalui Raja Habasyah. Resepsi pernikahannya digelar saat muhajirin Habasyah dibawah pimpinan Jafar bin Abu Thalib, tiba di Madinah. Kedatangan mereka nyaris bersamaan dengan selesainya Perang Khaibar.
Tak pelak lagi, pernikahan ini bikin posisi Abu Sufyan serba sulit. Suatu kali Abu Sufyan datang ke Madinah untuk meminta maaf atas pelanggaran perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan pihak Quraisy. Dia berharap Hindun akan membantunya merayu Nabi agar memaafkan Quraisy. Tetapi jangankan menolong, menghamparkan tikar untuk ayahnyapun Hindun tak sudi.
Abu Sufyan memang mencoba merayu Abu Bakar, Umar, dan Ali, tetapi ia gagal. Kegagalan ini melemahkan psikologi Abu Sufyan sebagai tetua Quraisy: ia punya putrinya di salah satu rumah Nabi dan ia tidak punya daya apapun untuk memuluskan rencananya. Sesungguhnya, Quraisy telah separuh takluk secara moral sejak saat itu.
Selain itu, pernikahan ini juga membantu ‘memuluskan’ upaya rekonsiliasi dengan Quraisy sebelum dan sesudah Fath al-Makkah. Menjadi lebih mudah bagi kaum Muslim untuk ikut memaafkan kaum Quraisy ketika mendapati tokoh-tokoh penting mereka adalah mertua, saudara ipar, besan, dan keluarga istri-istri Nabi (ummul mu’minin).
Upaya rekonsiliasi dengan Quraisy juga dibantu dengan pernikahan Nabi dengan Maimunah, saudari Ummu Fadhil. Yang disebut belakangan adalah istri Abbas bin Abdul Muthallib, paman Nabi yang baru secara eksplisit menyatakan keislamannya menjelang Fath al-Makkah. Maimunah dinikahi saat Peristiwa Umrah Qadla setahun setelah Perjanjian Hudaibiyah.
Melalui pernikahan dengan Maimunah, Rasulullah ‘mendapatkan’ keimanan Khalid bin Walid, yang adalah keponakan Maimunah. Masuknya Khalid kepada Islam diikuti politikus sekaligus negotiator ulung Quraisy, Amr bin Ash. Berpindah haluannya dua tokoh muda berpengaruh ini melemahkan kekuatan Quraisy.
Penaklukkan ‘tanpa darah’ pun berhasil dilakukan. Tokoh-tokoh penting lainnya akhirnya ikut berpindah haluan, termasuk Abu Sufyan dan Hindun (mertua Nabi) serta Ikrimah dan Shafwan. Mekkah kemudian, sepenuh-penuhnya takluk kepada Nabi. (Bersambung)