[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Play Audio Artikel”]
Ketika Khaulah mengusulkan nama Aisyah untuk dinikahi oleh Nabi, dia juga mengusulkan nama Saudah. Salah seorang janda muhajirin Habasyah. Saudah memang tidak setua Khadijah, tetapi ia sudah berumur.
Saudah sering disebut sebagai: tidak cantik, tetapi telaten dan penyabar. Sepertinya, saat mengiyakan usulan Khaulah untuk menikahi Saudah, alasan Nabi pragmatis semata. Yaitu, sebagai seorang yang sibuk mengurusi umat dan dakwah Islam, Nabi butuh seseorang untuk mengurusi diri dan rumah tangga beliau, termasuk putri-putri beliau. Saudah kandidat yang cocok untuk itu. Bahkan Saudah kelak menjadi ‘ibu’ bagi istri-istri Nabi di ‘tim Aisyah’ (Aisyah, Hafshah, dan Shafiyyah).
Dalam menyebut ‘tim Aisyah’ saya tidak sedang berusaha menggambarkan ada persaingan apalagi bipolarisasi. Alih-alih untuk menunjukkan kedekatan antara tiga istri Nabi yang paling muda, yang berusia sebaya, yaitu Aisyah, Hafshah, dan Shafiyyah. Istri-istri Nabi yang lain lebih tua dari mereka. Saudah, sebagai yang paling tua, bertindak sebagai ‘ibu’ bagi istri-istri Nabi yang muda ini.
Tetapi, ketika Nabi menikahi Ummu Salamah, alasan yang melatari keputusan Nabi adalah penghormatan kepada Abdullah bin Abdul Asad alias Abu Salamah. Abu Salamah adalah saudara sesusuan Nabi. Keduanya sama-sama disusui oleh Halimah as-Sa’diah. Abu Salamah adalah orang pertama yang berhijrah ke Madinah. Dia terpaksa terpisah dari istri dan anak-anaknya. Butuh waktu lama bagi Hindun binti Abu Umaiyah dari Bani Makzhoum alias Ummu Salamah untuk akhirnya bisa menyusul suaminya ke Madinah.
Abu Salamah membuktikan dirinya tidak hanya sebagai saudara yang setia kawan, tetapi juga penuh integritas. Beliau senantiasa mengikuti perintah Nabi. Di Perang Uhud beliau terluka dan lukanya itu tidak pernah sembuh.
Berbeda dengan kultur kita di Indonesia, di Arab pada saat itu, salah satu cara mengekspresikan rasa hormat dan kecintaan kita pada sahabat yang meninggal, adalah dengan menikahi janda yang ditinggalkan. Jadi, ketika Abu Salamah meninggal, Rasulullah melamar Ummu Salamah.
Peran Ummu Salamah ini tidak kecil. Ketika di Hudaibiyah Muslim meragukan perintah Nabi untuk bercukur karena merasa perintah itu tidak sesuai dengan ajaran tradisional Nabi Ibrahim, Rasulullah amat kecewa. Beliau masuk ke tendanya dan menceritakan hal itu kepada Ummu Salamah. Ummu Salamah bilang, “Sekarang, engkau keluarlah lagi dan jangan bicara kepada siapapun sampai engkau mencukur rambutmu sendiri.” Rasulullah melakukannya, dan seketika para Muslim tidak hanya berebut rambut Nabi tapi juga berlomba-lomba mencukur rambut mereka sendiri.
Namun begitu, tidak semua pernikahan Nabi memang sejalan dengan kultur Arab. Kadang, pernikahan Nabi seperti didesain untuk menghancurkan kultur Arab jahiliyyah. Dan misi itu mewujud dalam pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy.
Zainab binti Jahsy, selain terkenal kecantikannya, juga terkenal aktivitas kewirausahaannya. Dia seorang pengrajin dan terbiasa berbisnis hasil kerajinan. Zainab binti Jahsy masih saudara sepupu Rasulullah.
Apa yang membuat pernikahan Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy mendobrak kultur Arab jahilliyyah?
Karena Zainab adalah mantan istri anak angkat Nabi—Zaid bin Haritsah. Di Tanah Hijaz saat itu, menikahi mantan istri anak angkat itu berhukum haram. Anak angkat dianggap seperti anak sendiri, sehingga istrinya adalah anak kita juga.
Pernikahan Zaid dengan Zainab adalah pernikahan yang tidak bahagia. Setelah beberapa kali dilarang Nabi untuk bercerai, Zaid akhirnya menceraikan Zainab.
Uniknya, beberapa waktu kemudian, turun perintah untuk Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy!
Kita bisa melihat bagaimana secara alami pernikahan ini sudah, katakanlah, ‘kontroversial’. Seolah Rasulullah ini pihak ketiga di rumah tangga anak angkatnya sendiri. Tetapi ‘kontroversi’ ini belum berhenti di sana. Allah bermaksud menghancurkan suatu tatanan nilai dan kultur yang dipegang berabad-abad oleh masyarakat Arab.
Apa saja yang dihancurkan? Pertama, kultur jahiliyyah yang mengharamkan pernikahan seseorang dengan mantan istri anak-angkatnya. Kedua, kultur jahiliyyah yang menganggap anak-angkat berhukum seperti anak-sendiri. Sejak al-Ahzab 37 turun, Zaid tidak lagi disebut Zaid bin Muhammad tetapi Zaid bin Haritsah, dan perubahan ini tidak mengubah rasa sayang Nabi kepada Zaid.
Namun begitu, pernikahan ini juga kontroversial, karena dihitung dari istri Nabi yang masih hidup (Saudah, Aisyah, Hafshah, dan Ummu Salamah), Zainab binti Jahsy adalah istri kelima. Sebelumnya, al-Quran melegalkan poligami hanya sebanyak empat istri—tentu saja dengan syarat ketat: adil. Dengan pernikahan ini, Allah ingin menegaskan keistimewaan yang dimilliki Nabi. Yaitu kebolehan berpoligami lebih dari empat istri. Sesuatu yang dilarang kepada Muslim. (Bersambung)