Tidak semua radikalisme berujung pada terorisme akan tetapi kita tidak bisa mengelak bahwa semua pelaku aksi teroris itu sebelumnya telah terpapar ide dan pikiran-pikiran yang radikal. Jejak-jejak sejarah itu terbentang sejak bom Bali hingga bom Surabaya yang terjadi baru-baru ini.
Betul bahwa motivasi untuk menjadi pelaku aksi teror tidaklah tunggal, ada persoalan psikologi, budaya, pergaulan, dll, akan tetapi sekali lagi jejak sejarah membuktikan bahwa pelaku teror itu menggunakan ajaran agama sebagai landasan aksi-aksi terornya, karena itu penting untuk merunut dari mana sumber utama motif agama itu.
Dari sini kita bisa melacak bahwa pemahaman agama yang sangat tekstual bisa jadi menjadi awal mula bibit pikiran-pikaran radikal itu. Dari titik ini mulai timbul kemudian nilai-nilqi konservativisme, intoleran, dan merasa paling benar.
Jadi kalau dibaratkan sebagai sebuah iceberg, gunung es, terorisme adalah puncak gunung es yang dilaut yang kelihatan kasat mata. Sementara sisi gunung yang terendam, yang tidak kelihatan, itulah bersemayam radikalisme, konservatif, dan nilai-nilai anti keragaman.
Dalam survei Alvara Research Center bulan Oktober 2017, menemukan bahwa 23,4 persen mahasiswa setuju untuk berjihad menegakkan khilafah di Indonesia. Dari angka 23,4 persen tersebut terbagi menjadi dua bagian yaitu yang setuju 17,6 persen, dan yang sangat setuju 5,8 persen. Dengan demikian 5,8 persen inilah yang menjadi puncak gunung es yang memiliki potensi menjadi pelaku teror dan yang 17,6 persen adalah yang menempati sisi dalam iceberg radikalisme.
Karena itu tantangan kita terberat bukanlah “menghabisi” pelaku2 teror itu, karena lebih mudah dideteksi, akan tetapi bagaimana kita bisa mengurangi atau kalau bisa menghilangkan ide dan pikiran-pikiran radikalisme itu. Dipoin inilah tugas masyarakat berada, jangan diam, terus bergerak bersama menularkan ajaran-ajaran toleran, inklusif, dan penuh kedamaian.
Tentu ini pekerjaan yang tidak mudah, membutuhkan energi besar, militansi, dan juga konsistensi dalam setiap gerakan. Anak muda dalam hal ini Gen Z dan Milenial adalah bagian terpenting dari upaya ini. Mereka sejak dini harus mulai ditanamkan nilai-nilai kebangsaan dan beragama secara inklusif.
Biacara anak muda maka kita mau tidak mau harus bicara internet dan sosial media karena penetrasi pengguna internet sangat tinggi di anak muda Indonesia 83,4 persen generasi milenial terkoneksi dengan internet. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya dibanding dunia nyata.
Wawancara majalah Tempo terhadap dua perempuan muda, Dita Siska Milenia dan Siska Nur Azizah, yang ditangkap di Mako Brimob menunjukkan bahwa semua pikiran radikal mereka itu datang secara otodidak dari sosial media yang mereka ikuti.
Akhirnya perjuangan melawan radikalisme dan terorisme adalah kerja panjang, kerja marathon sebagai bentuk kecintaan terhadap Indonesia, dan juga sekaligus sebagai bentuk balas budi kepada para pendiri republik ini.
*) Hasanuddin Ali, Direktur Alvara Research Center