Sekitar dua bulan lalu kakak membelikan ibu telepon pintar. Telepon yang kakak saya berikan adalah sebuah android tipe sederhana. Sebelumnya ibu memakai telepon selular tipe lama yang hanya bisa menelepon dan mengirim pesan. Bukan tanpa alasan kakak membelikan ibu telepon selular, telepon lamanya memang sudah diperban sana-sini.
Tak ayal telepon selular dari kakak membuat ibu tak lagi memusingkan kondisi alat komunikasinya. Sayangnya ibu sama sekali tak bisa menggunakan telepon pintar. Ia tak terbiasa dengan layar sentuh dan tak mengenal konsep aplikasi. Maka, ia meminta saya mengajari mengoperasikan telepon pintarnya.
“Pokoknya bisa telepon sama ngirim pesan aja le,” pintanya. Saya pun mengenalkan dirinya dengan WhatsApp, “Ini kayak sms tapi bisa ngirim gambar Bu, jadi Ibu bisa kirim barang di toko Ibu ke langganan,” jelas saya singkat.
Ibu memang menganggukkan kepala saat saya jelaskan, namun butuh waktu lama untuk membuatnya mahir menggunakan WhatsApp. Setelah dua minggu ia pun mampu mengoperasikan aplikasi itu dengan baik. Ia bisa mengirim pesan dan gambar, walau sesekali lupa bagaimana cara mengirim foto.
Bahkan saat saya pulang ke rumah beberapa waktu lalu ia bercerita dengan bangga, “Seminggu iki ono loro langganan ibu tuku nang WhatsApp le (Seminggu ini ada dua orang langganan yang membeli barang melalui WhatsApp).”
Tentu efek positif aplikasi itu melegakan bagi saya. Selain meningkatkan penjualan, satu hal yang meningkat adalah percakapan kami berdua.
Kini, ibu sering mengirim pesan pada saya ketika siang atau menjelang jam pulang kantor untuk bertanya hal-hal kecil. Ibu misalnya bertanya apakah sudah makan, lain waktu bertanya apakah saya pulang ke rumah atau tidak.
Perspektifnya tentang pesan ternyata berubah seiring dengan penggunaan WhatsApp. Sebelumnya saat berkirim pesan melalui SMS ia hanya menanyakan hal-hal penting. Setelah beralih ke WhatsApp ia memperlakukan pesan sebagai obrolan. Saya tak tahu apa sebabnya, mungkin karena saya lebih cepat membalas pesannya ketika ia bertanya melalui WhatsApp.
Intensitas komunikasi yang meningkat tajam ini ternyata tak hanya berpengaruh soal kuantitas bertukar pesan. Ada perasaan lebih dekat dengan ibu. Jika sebelumnya ibu hanya saya “temui” di akhir pekan, kini setiap hari saya bisa menemuinya.
Kondisi ini mengingatkan saya pada opini Marco tentang pembangunan jalan tol. Ia menulis bahwa jalan lingkar membuat ruang sosial tidak lagi terbatas pada lingkungan kecil, tetapi pada seluruh bentang metropolis itu sendiri. The whole metropolis becomes my neighborhood. Sehingga menurutnya menjadi tidak relevan lagi untuk mengaitkan jarak sosial dengan jarak geografis begitu saja. Ia mencontohkan orang bisa lebih akrab dengan seseorang yang berjarak puluhan kilometer darinya daripada dengan tetangga sebelah rumah.
Mungkin komunikasi modern kini adalah jalan tol versi baru. Kita bisa menulis berduka di linimasa atas kepergian orang ternama yang berjarak ratusan kilometer, namun lupa mengunjungi Yasinan tetangga. Pun seperti interaksi dengan ibu. Saya bisa berlama-lama mengobrol bersama teman yang rumahnya di Tangerang, namun lupa untuk bercanda dengan ibu di rumah.
Pesan-pesan WhatsApp dari ibu rasanya tidak sekadar soal memotong jarak geografis. Ia bukan seperti jalan tol atau sifat transportasi, hasrat untuk menuju ke luar, berpesiar. Semangat yang secara tidak sadar terus kita bawa dalam keseharian. Yang membuat kita merasa tidak puas dengan apa yang kini kita punya.
Marco menulis kalau beberapa keluarga kelas menengah berkumpul, biasanya berakhir pada situasi curhat yang menghasilkan daftar panjang “apa-apa yang Jakarta tidak”. Jakarta tidak punya ini dan itu, Jakarta tidak seperti ini dan itu. Mereka jadi obsesif, dan akhirnya berhenti karena capai: Jakarta ternyata bukan apa-apa! Namun ketika pulang ke dalam kesendirian masing-masing Jakarta toh masih segala-galanya.
Ilustrasi di atas sebenarnya tidak hanya terjadi pada keluarga kelas menengah. Sila datang ke kedai terdekat di sekitar kawasan perkantoran setelah jam kantor. Maka topik utama yang muncul adalah kekecewaan pada pekerjaan dan ingin menyudahinya. Lantas teman yang lain akan menimpali dengan omong kosong soal berani mengambil risiko dan sejenisnya.
Esoknya silakan temui masing-masing mereka di kantornya. Satu-satunya risiko yang mereka ambil adalah bangun pagi untuk pergi ke kantor.
Pesan ibu melalui WhatsApp adalah kebalikan dari itu. Ia mengajak untuk menengok kembali ke asal. Melihat apa yang kita miliki. Mencintai kegagapan saya, ia, dan mungkin banyak orang lainnya pada teknologi, pada kota metropolitan ini.
Kegagapan yang kita nikmati bersama. Seperti halnya ibu yang lama belajar sekadar untuk mengirim gambar melalui WhatsApp. Di tengah kegagapan itu ia menyadarkan satu hal, setidaknya kita tak perlu mencari apa yang tidak kita punya. Di titik itu, ibu lebih pintar dari telepon pintar barunya.