Ibadah Sunah sebagai Wujud Mengamalkan Ilmu

Ibadah Sunah sebagai Wujud Mengamalkan Ilmu

Ibadah Sunah sebagai Wujud Mengamalkan Ilmu

Mendakwahkan Islam dengan cara menghadap-hadapkan satu kebaikan dengan kebaikan lain, terlepas kebaikan itu wajib maupun sunah, adalah sikap yang kurang bijak.

Dalam hal apapun, sepanjang proporsional, mengamalkan ibadah sunah, seiring pula terus mempelajari ilmu adalah keniscayaan. Sebab, salah satu bukti bermanfaatnya ilmu adalah mengamalkan kebaikan meskipun sunah.

Kecerdasan itu memang penting, dalam agama apapun dan peradaban manapun, tetapi kecerdasan justru bukan untuk digunakan meremehkan kebaikan yang sunah. Dan ilmu itu cakupannya luas, apakah itu yang dihafal, yang dibacakan, yang tertulis, yang diamalkan dan yang bermanfaat. Bagaimana jadinya, kalau tidak ada orang yang bisa menghafal Al-Qur’an, zaman di mana belum ada pena dan kertas, mana mungkin Al-Qur’an bisa terus langgeng dipelajari. Menghafal Al-Qur’an oleh para penghafal Al-Qur’an itu istimewa, butuh kecerdasan luar biasa. Buktinya tidak semua umat Muslim mampu menghafal 30 juz Al-Qur’an.

Pelajari ilmu agama, sains, berikut ilmu-ilmu lain, sampai kapan pun, sepanjang hayat, tanpa harus meremehkan ibadah sunah. Terlalu banyak ulama klasik maupun kontemporer yang ahli dalam keilmuan masing-masing sekaligus ahli ibadah sunah.

Bukankah kita pengamal Ahlussunah wal jama’ah (An-Nahdliyah)?

1. Melaksanakan ibadah sunah juga dengan ilmu, bukan dengan “ngarang-ngarang.”

Sedekah itu amalan sunah, bukan hanya bermanfaat bagi orang yang mengamalkannya, melainkan juga bagi orang lain, pahalanya akan abadi terus mengalir, inilah yang disebut sedekah jariyah. Sedekah mampu membangkitkan pilar ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll.

2. Ilmu dan ibadah tidak boleh dipertentangkan.

Ilmu dan ibadah saling menopang. Apabila ada yang keliru dalam realitas keagamaan, yang keliru bukan hakikat ibadahnya, melainkan hanya soal teknis dan pelakunya.

3. Persoalannya ulama itu di mana-mana ahli ibadah.

Ulama yang jadi dokter, jadi pengusaha, dll, itu sudah dipastikan ulama yang ahli ibadah.

4. Ilmu bisa dipelajari.

Ada akhlak dan kebijaksanaan yang akan memperkuat ilmu. Ketaatan orang awam terhadap orang yang berilmu (‘alim/ulama) tidak saklek, bukan indoktrinasi.

5. Bukan hanya ilmu yang bermanfaat yang bernilai jariyah, melainkan sedekah juga do’a anak yang shaleh. Itulah mengapa, sekali lagi, tidak boleh menyepelekan sedekah dan berdo’a.

6. Tidak sedikit ahli ilmu yang tersesat. Langgeng dan bermanfaatnya ilmu karena ketulusan kita dalam mengamalkan, kesabaran kita dalam mengajarkan/mendakwahkan.

Wallahu a’lam

Mamang M Haerudin (Aa), Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Insaaniyyah