Syekh Arsyad, Syekh Nafis, dan Penerima Beasiswa Abad ke-21

Syekh Arsyad, Syekh Nafis, dan Penerima Beasiswa Abad ke-21

Syekh Arsyad, Syekh Nafis, dan Penerima Beasiswa Abad ke-21
Makam Syekh Arsyad al-Banjari dikunjungi banyak peziarah (gambar: www.wisatakalimantan.com)

Hari-hari ini, kita mendengar banyak pembicaraan tentang penerima beasiswa dengan berbagai problematika mereka. Mulai dari plesiran, dianggap low-achiever, enggan kembali ke dalam negeri, hingga yang paling baru adalah susah beradaptasi dengan lingkungan dalam negeri.

Memang susah ya, kuliah di luar negeri dengan beasiswa pemerintah, di mana ekspektasi biasanya lebih besar dari apa yang bisa diberikan. Nilai bagus dan publikasi rupanya tidak cukup. Kita juga mesti hidup penuh pengabdian, tidak upload foto ketika plesiran, hingga menikah tepat waktu.

Tapi janganlah bersedih hati: mungkin cerita ini bisa jadi renungan.

Di abad ke-18, ketika Belanda belum berkuasa penuh di tanah Banjar, tersebutlah dua orang dari Martapura yang belajar di tanah suci Mekkah. Keduanya orang “kampung” yang diberi beasiswa oleh Kesultanan Banjar. Waktu itu adalah masa ketika jejaring pengetahuan muslim berporos di Mekkah dan Madinah, sementara “Barat” belum dikenal sebagai tempat belajar. Dua orang itu bernama Muhammad Arsyad dan Muhammad Nafis.

Tak jelas apakah keduanya berangkat di saat yang bersamaan atau tidak, tapi keduanya mewakili generasi emas “intelektual” Banjar yang belajar di luar negeri dan kembali dengan intelektualitas masing-masing ke tanah air.

Bisa dikatakan waktu itu adalah zaman keemasan bagi ulama-ulama Banjar yang disokong kuat oleh negara –Kesultanan Banjar. Dan bukan hanya Kesultanan Banjar; beasiswa serupa diberikan oleh beberapa Kesultanan lain untuk menyekolahkan anak-anak mudanya ke Mekkah dan Madinah; ada Wahab al-Bugisi, Abdussamad Al-Falimbani, hingga Abdurrahman Mishri al-Batawi–yang sepertinya memang belajar sendiri kesana. Azyumardi Azra mencatat dengan baik hal ini dalam bukunya yang terkenal, The Origin of Islamic Reformism in Southeast Asia.

Nama pertama mungkin banyak dikenal, terutama oleh orang Banjar. Arsyad tumbuh dan besar di Kayutangi -ibukota Kesultanan Banjar waktu itu. Alkisah, ia dibawa ke Keraton ketika masih anak-anak dan di usia 30 tahun ia disekolahkan oleh Sultan Tahmidullah ke Mekkah, dengan harapan ia dapat menjadi alim ulama yang bermanfaat bagi masyarakat Banjar. Ia berangkat ke Mekkah dan  belajar fiqh di sana, konon selama 30 tahun. lalu kemudian kembali ke Martapura.

Begitu juga dengan Nafis. Syahdan, ia diceritakan lahir dari keluarga bangsawan di Martapura dan pergi ke Mekkah di saat yang tak jauh berselang dari Arsyad. Disana, ia belajar tasawuf hingga diberi gelar “Mursyid”Penghargaan yang tidak mudah didapatkan bagi orang yang belajar tasawuf waktu itu. Sebagaimana Arsyad, ia pun kembali dan mengajar di tanah Banjar.

Tapi poin menariknya bukan disana. Kembali ke tanah air, keduanya menjalankan fungsi yang disebut oleh Edward Said sebagai “intelektual” yang bukan hanya menjadi profesi, tapi juga . Sebagai alumnus Mekkah, keduanya tentu mendapatkan harapan yang luas dari masyarakat, baik para pembesar Kesultanan maupun rakyat biasa. Namun, artikulasi intelektual mereka berbeda satu sama lain. Keduanya mencerminkan tradisi intelektual Banjar yang saat ini hampir terlupakan.

Peran intelektual yang diambil oleh Arsyad adalah peran-peran formal. Karena ia diberi  beasiswa oleh Sultan, sekembalinya ke tanah air, Arsyad diberikan sebidang tanah oleh Kesultanan di daerah yang saat ini kita kenal sebagai “Dalam Pagar”. Arsyad mengubah “Dalam Pagar” menjadi sebuah universitas, tempat ia menulis kitab, memberikan fatwa, dan mengajar agama kepada murid-muridnya. Institusi inilah yang kelak dikenal luas sebagai pesantren. Zaman itu, pesantren sinonim dengan “universitas” yang kita kenal sekarang. Dalam Pagar adalah tempat produksi dan reproduksi pengetahuan.

Dari institusi tradisional itu, lahirlah banyak kitab yang ditulis oleh Arsyad Al-Banjari dengan jangkauan internasional. Di antara yang terkenal adalah Tuhfatur Raghibien dan Sabilal Muhtadin. Arsyad beruntung karena jawi menjadi lingua franca . Kitab-kitab Syekh Arsyad dibaca hingga Pattani dan Malaysia -bahkan bisa jadi lebih luas.

Namun, Nafis mengambil jalan yang berbeda. Jika Arsyad bergerak dengan akses Kesultanan, jalan hidup sufi mengantarkan Nafis untuk mengartikulasikan jalan intelektualnya ke pelosok kampung, hutan dan gunung, dengan tujuan berdakwah. Ia mengajarkan agama tidak di pesantren melainkan blusukan ke kampung-kampung. Dengan cara itu, ia menjadi sangat dekat dengan masyarakat. Bisa jadi, karena kesibukan berdakwah di kampung itulah, hanya dua bukunya yang terlacak: Ad-Durrun Nafis dan Kanzus Sa’adah. 

Arsyad al-Banjari mewakili intelektual Banjar dengan tradisi “pengajaran”. Ciri-ciri tradisi intelektual ini adalah berorientasi pada institusi dan ‘intelektual’. Kekuatannya adalah pada publikasi dan kualitas pengetahuan. Tradisi ini, saat ini, mungkin bagi sebagian orang akan dicemooh sebagai “menara gading” atau “dekat dengan kekuasaan”, tetapi punya peran penting dalam menentukan arah Kesultanan karena akses dan kredibilitasnya. Dengan cara inilah bangunan intelektual Islam Banjar terbentuk.

Di sisi lain, Nafis al-Banjari mewakili intelektual Banjar dengan tradisi “pengabdian”. Artikulasi intelektual tradisi ini bukanlah melalui jalan hidup yang gegap gempita, melainkan penuh kesunyian. Jalan intelektual, dalam tradisi ini, adalah jalan yang sunyi, penuh onak dan duri, dan mungkin akan sangat jauh dengan akses kekuasaan dan kenyamanan hidup. Jauh dari gemerlap dunia, selfie, atau mungkin hiruk-pikuk grup Whatsapp tempat undangan tersebar dimana-mana.

Bahkan, tidak ada yang tahu persis kapan Nafis al-Banjari meninggal dan hanya sedikit yang tahu di mana makamnya (bandingkan dengan “Kalampayan”, makam Arsyad al-Banjari yang tiap hari diziarahi dan haulnya diperingati tiap tahun). Tapi tetap saja orang menghormati Nafis al-Banjari sebagai seorang ulama sufi terkemuka di tanah Banjar. Dari tangannya lah Islam Nusantara berkembang hingga ke bentuknya sekarang.

Cerita tentang Arsyad dan Nafis mewakili dua jenis penerima beasiswa yang kembali ke dalam negeri setelah Indonesia hari ini: (1) mereka yang kembali dan bekerja dalam sektor-sektor pendidikan tinggi formal; dan (2) mereka yang kembali dan kemudian bekerja di akar-rumput dan memproduksi pengetahuan untuk kalangan kawula. 

Bagi penerima beasiswa yang kembali ke Tanah Air, ada kegalauan yang biasanya dialami: Apakah ilmu yang kita pelajari “dibutuhkan” di tanah air? Apakab jika ilmu kita ternyata tidak dilirik, kita lantas jatuh dan kesandung masa lalu?

Yang diinginkan, memang, jalan yang ditempuh adalah jalan Arsyad Al-Banjari, menjadi “intelektual” di institusi yang dibangun pemerintah dan mengembangkan pengetahuan dari sana. Tapi kita semua tahu dengan kultur birokrasi dan oligarki yang mengakar akut di negara kita. Bahwa untuk masuk ke pemutus kebijakan, seringkali ilmu tidak cukup. Akses juga berperan.

Di sinilah mungkin tak sedikit juga mengikuti jalan Nafis yang avonturir, hening di akar rumput, atau malah berjuang membesarkan lembaga di pelosok desa dengan gaji mepet UMR. Dari sana mereka melawan kezaliman yang real. Mereka menjadi “rakyat”, orang biasa yang tak terkenal, terpencil, dan mungkin juga terusir. Ini juga jalan pengabdian yang mungkin tak semuanya ingin ditempuh oleh para penerima beasiswa lulusan Inggris atau Amerika.

Pada titik inilah, bisa jadi, tugas terberat kita adalah belajar mejadi rakyat. Bahwa belajar apapun dan dimanapun, musuh kita tetap sama: Penindasan kepada rakyat, kezaliman kepada orang-orang kecil. Dan tugas kita juga masih tetap sama: mengatakan yang haq adalah haq, walau dengan pelbagai konsekuensi yang tak sepenuhnya mudah.

Dan memang tidak mudah. Tapi pada akhirnya, semua yang berpendidikan, dituntut untuk tidak sekadar menjadi profesional; bagian dari segelintir elit yang membuat perubahan (dari atas). Mau tidak mau, kita semua dituntut untuk menjadi intelektual organikmeminjam istilah Antonio Gramscimereka yang berbuat sesuatu untuk kelompok masyarakat dimana ia tinggal; dan mendorong perubahan dari sana. Dan pada akhirnya, kita semua mungkin akan sadar bahwa untuk membuat perubahan, kita tidak sekadar punya pengetahuan, tetapi juga gerakan dan kesadaran kritis untuk melawan, jika diperlukan.

Pilihannya, mau menjadi Arsyad atau Nafis? Selanjutnya terserah para awardee tercinta.