Akhir-akhir ini sedang ramai kasus seorang oknum polisi menembak anak buahnya. Banyak masyarakat yang geram dengan perbuatannya. Karena, penembakan dilakukan secara terstruktur dan rapih. Masyarakat yang geram berharap agar pelaku dapat dihukum seberat-beratnya. Ada juga yang berkomentar lebih baik ditembak saja, dengan kata lain dijatuhi hukuman mati.
Masalahnya, metode penghukuman kekerasan fisik sudah tidak diperbolehkan lagi di abad modern. Akibatnya, tuntutan jaman ini memberi hambatan pada pelaksanaan hukum Islam di era modern.
Terlebih, hukum Islam selalu melibatkan jenis-jenis penghukuman yang berbentuk kekerasan fisik, salah satunya adalah qisas.
Oleh karena itu, penghukuman dengan metode seperti itu jelas sangat bertentangan dengan nilai kemanusiaan di abad modern. Lantas, bagaimana Islam menyikapi hukum ini?
Sosio-historis Arab
Pemberlakuan hukum fisik pada masa lampau merupakan hal yang normal. Apabila seorang melakukan kejahatan, maka boleh dari pihak keluarga melakukan balas dendam, darah dibalas dengan darah.
Wahyu yang diturunkan pada masa Kenabian tidak dapat dipisahkan dari realitas historis (historical reality) sosial kebudayaan masyarakat Arab pada masa itu.
Realitas sejarah ini dapat ditemukan pada ciri khas metode penghukuman yang bersifat praktis untuk diterapkan. Cara hidup orang Arab pada masa lalu adalah nomaden.
Mereka tidak sempat untuk membangun suatu badan peradilan atau penjara untuk menghukum orang-orang yang berbuat kejahatan.
Untuk mengubah masyarakat Arab yang nomaden. Rasulullah membuat suatu peradaban yang biasa dikenal dengan madani. Agar terciptanya suatu aturan hidup, maka Rasulullah mengajak masyarakat Arab dari berbagai suku untuk membuat suatu produk hukum berupa konstitusi Madinah.
Maka tidak heran, jika produk hukum pada masa itu tidak dapat dilepaskan dari latar belakang kondisi sosial pada masa itu. Pada periode Madinah, orang-orang Yahudi juga ikut terlibat pada perumusan Piagam Madinah.
Salah satu hukum Islam yang mengambil dari produk penghukuman dari risalah Taurat adalah hukum qisas. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَاۤ اَنَّ النَّفْسَ بِا لنَّفْسِ ۙ وَا لْعَيْنَ بِا لْعَيْنِ وَا لْاَ نْفَ بِا لْاَ نْفِ وَا لْاُ ذُنَ بِا لْاُ ذُنِ وَا لسِّنَّ بِا لسِّنِّ ۙ وَا لْجُرُوْحَ قِصَا صٌ ۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّا رَةٌ لَّهٗ ۗ وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَاۤ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim.” (QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 45)
Realitas historis ini sangat melekat dalam Al-Quran. Fazlur Rahman dalam bukunya Islam dan Modernitas bahwa, secara esensial hukum qisas merupakan peninggalan budaya Arab pra-Islam. Rasul menghendaki hukuman tersebut.
Disamping itu, Islam memberikan kontribusi penyelesaian konflik bahwa memaafkan korban adalah lebih baik. Bagi pelaku yang dimaafkan diwajibkan mengganti nyawa dengan diyat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَا صُ فِى الْقَتْلٰى ۗ اَلْحُرُّ بِا لْحُـرِّ وَا لْعَبْدُ بِا لْعَبْدِوَا لْاُ نْثٰى بِا لْاُ نْثٰى ۗ فَمَنْ عُفِيَ لَهٗ مِنْ اَخِيْهِ شَيْءٌ فَا تِّبَا عٌ بِۢا لْمَعْرُوْفِ وَاَ دَآءٌ اِلَيْهِ بِاِ حْسَا نٍ ۗ ذٰلِكَ تَخْفِيْفٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدٰى بَعْدَ ذٰلِكَ فَلَهٗ عَذَا بٌ اَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barang siapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 178)
Dekonstruksi Hukuman Mati
Turunya Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari realitas historis kebudayaan masyarakat Arab pada masa itu. Oleh karena itu, Al-Qur’an perlu ditafsirkan ulang agar sesuai dengan kondisi sekarang ini.
Jika Islam menghendaki hukuman mati pada konteks realitas sejarah masa itu. Maka, di jaman modern kehendak hukuman semacam itu justru akan ditentang oleh realitas sekarang.
Kita tidak boleh memahami qisas secara parsial dan literal. Karena, dikhawatirkan akan menghancurkan sayap agama Islam yang halus.
Pemberlakuan qisas agar dapat diterima di abad modern, sepertinya perlu meminjam perspektif hukum dari Muhammad Syahrur. Tujuannya, agar hukuman ini dapat diterima dan menghidupkan Al-Qur’an kembali dari sisi ideal moralnya.
Menurut Syahrur dalam al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah menjelaskan bahwa, hukuman qisas merupakan bentuk hukuman maksimal. Dalam hal ini, hakim dalam ijtihadnya boleh memberikan sanksi selain hukuman mati kepada pelaku pembunuhan.
Jika hukuman mati tidak dikehendaki oleh jaman, maka jangan pahami makna mati secara dzahir. Masih ada alternatif lain selain menghukum mati penjahat.
Misalnya, sanksi yang dijatuhkan setara dengan hukuman mati seperti penjara seumur hidup. Era modern menghendaki hukuman semacam itu.
Penjatuhan hukuman harus diberikan secara objektif kepada si pembunuh. Dalam ayat 178 Surat Al-Baqarah, Allah melarang kepada siapa saja yang memberikan hukuman melampaui batas dari hukuman yang sudah ditentukan.
Dengan demikian, keputusan hakim dalam penjatuhan hukuman harus objektif dengan perbuatan si pembunuh. Mulai dari menanyakan motif pembunuhan apakah disengaja atau tidak disengaja dan berencana atau tidak berencana.