E-Money atau biasa disebut sebagai electronic money merupakan istilah lain dari mata uang elektrik. Produknya biasanya berupa semacam kartu yang berisi QR code dan dilengkapi dengan sebuah chip yang berfungsi merekam data transaksi. Contoh dari e-money ini adalah kartu e-Tol, BRIZZI, Gazcard, BNI Tapcash, Blink, dan lain-lain.
Keberadaan e-Money selanjutnya berkembang dalam bentuk mata uang digital (virtual money) yang meninggalkan basis chip dan kartu, sehingga yang tersisa hanya access code dan account. Keduanya umumnya disamakan begitu saja statusnya sebagai e-money. Mungkin penyamaan ini disebabkan karena keduanya sama-sama bergantung pada keberadaan electric atau listrik. Contoh dari virtual money ini adalah OVO, Mandiri eCash oleh Bank Mandiri, Sakuku oleh BCA, TCASH dari Telkomsel, dan sejenisnya.
Meskipun menunjukkan sisi ketergantungan yang sama terhadap listrik, akan tetapi sebenarnya dari kedua jenis mata uang ini memiliki perbedaan yang mendasar. Berikut ini adalah beberapa perbedaan itu:
Pertama, Virtual Money dibuka dengan jalan membuat sebuah akun (account). Sementara e-Money tidak bergantung pada account melainkan sepenuhnya ada pada chip card.
Kedua, Virtual money tidak bisa lenyap seiring rusak atau lenyapnya handphone yang dijadikan instrumen simpanan. Sementara itu, e-money, misalnya e-Tol card, harta yang tersimpan di dalam kartu e-Tol, dapat hilang seiring hilangnya kartu. Ia tidak bisa kembali selagi kartu itu tidak bisa ditemukan lagi. Jadi, dengan mengetahui sisi kelemahan ini, jangan pernah anda berfikir untuk menaruh saldo keuangan anda sebesar-besarnya dalam bentuk e-Money card ini. Lebih baik, anda mengisi saldonya dalam jumlah seperlunya untuk kebutuhan anda.
Ketiga, Virtual money tidak bisa digunakan dan diakses oleh siapapun selain pemilik akun dan pihak yang mengetahui kata sandinya. Sementara e-money, bisa diakses oleh siapapun yang memegangnya tanpa susah payah memikirkan kata sandinya, bahkan bisa mengisi ulang (top up) atau membelanjakannya. Jadi, jika ada seseorang menemukan e-Tol, maka hakikatnya ia sama dengan menemukan segebok uang yang disederhanakan bentuknya dalam wujud kartu e-Tol.
Keempat, Virtual Money hanya dapat diakses dengan jalan transaksi via online. Karena instrumennya adalah dunia virtual, maka penggunaan virtual money melazimkan adanya sambungan atau jasa internet. Tanpa adanya sambungan jasa internet, mata uang itu tidak bisa digunakan. Lain halnya dengan e-money, ia bisa digunakan via offline seperti mata uang tradisional. Data transaksi selalu bisa dibaca dan terekam di chip yang tersimpan di dalamnya.
Dengan melihat sejumlah perbedaan di atas, maka sikap pengguna virtual money, bilamana suatu ketika ia kehilangan handphone yang didalamnya terdapat akun OVO, Sakuku, DANA dan sejenisnya, maka langkah bijak yang harus dilakukan adalah bersegera untuk mereset password semua akun yang digunakan, termasuk mengganti kode pemulihan password yang barangkali membutuhkan nomor telephone lain.
Sudah pasti, dengan menggunakan nomor telepon yang berbeda. Demikian juga, jangan mudah untuk memberitahu kode akses handphone ke orang lain, khususnya akun virtual money anda! Memberitahukan kode akses kepada orang lain, sama halnya dengan memberitahu tempat menyimpan harta. Akibatnya, harta tersebut menjadi rawan dicuri.
Sisi menarik dari mata uang virtual ini adalah pemindahan harta dari satu akun ke akun yang lain dapat terekam dengan baik dalam bentuk data history yang bisa dicek secara berkala oleh pemilik akun lewat aplikasi yang tersedia. Jadi, berbekal data history ini, seseorang akan dengan mudah mengecek saldo yang dimilikinya, manakala ditemui adanya transaksi yang mencurigakan dengan menggunakan akunnya sehingga ia dapat terhindar dari pelarian dana oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dengan mencermati sisi perbedaan kedua money di atas, maka berdasarkan tinjauan keharusan adanya akun pada virtual money dan tidak ada akun pada e-money card, maka sudah pasti ada sisi perbedaan lain pada aspek muamalahnya terkait dengan sifat akad yang terjalin.
Jika sebelumnya kita pernah mengulas, bahwa e-money card diperoleh lewat jalur jual beli barang manfaat, maka pada virtual money, yang berlaku adalah bukan jual beli. Akad yang dipergunakan oleh pengguna virtual money dengan produsen adalah akad titip harta yang bisa dijamin kembalinya (wadi’ah yad al-dlammanah). Mengapa demikian? Dengan mencermati kedudukan “virtual account” yang menjadi instrumen antara pihak produsen dan konsumen pengguna, maka seseorang bisa mengakses virtual money yang dimilikinya, meskipun dari pesawat handphone yang berbeda, asalkan ia tidak lupa dengan passwordnya dan selagi masih tersambung dengan internet.
Jadi, sekalipun pemiliknya pergi ke negeri antah berantah, lalu pesawat handphonenya mendadak rusak, kemudian ia membeli pesawat handphone baru, ia tetap bisa memakai virtual money yang dimilikinya selagi bisa masuk ke dalam akun yang dimaksud. Akunnya tidak kemana-mana, hartanya juga tidak kemana-mana, pesawat handphonenya bisa berbeda. Perpindahan pesawat hanphone tanpa disertai perpindahan akun seperti ini, menunjukkan barang tersebut ada pada posisi pihak yang dititipi.
Oleh karenanya, tidak diragukan lagi bahwa virtual money adalah sebuah harta titipan, sehingga akadnya pun juga bukan akad jual beli, melainkan akad wadi’ah yad al-dlammanah (titipan yang dijamin pengembaliannya dalam bentuk nilai).
Mungkin pendapat ini agak berbeda sudut pandangnya dengan sejumlah pihak yang mengatasnamakan bahwa virtual money dan e-money adalah harta duyun (harta yang menyatakan utang). Pihak produsen selaku pihak yang utang (mudin), sementara pihak konsumen berperan selaku pemberi utang (da-in).
Jika harta yang tersimpan dalam dua instrumen e-money di atas benar dipandang sebagai utang, maka setiap bonus yang ditawarkan sebesar 10% atau discount, nantinya akan rawan dipandang sebagai riba qardly, mengingat hal itu disyaratkan oleh penerima utang (konsumen) dan disetujui oleh pemberi utang (produsen). Tentu hal ini menjadi sangat riskan.
Lain halnya bila harta itu dipandang sebagai harta titipan (muda’) kepada jasa penerima titipan (mudi’) oleh penitip harta (wadi’). Bonus yang ditawarkan oleh pihak yang dititipi atas jasa yang diberikan, adalah sah seiring perannya selaku penyelenggara jasa. Dengan demikian, akad yang dipergunakan antara penyelenggara jasa (produsen) dan konsumen virtual money adalah akad ijarah, dengan bahasa lain dipandang sebagai sewa jasa penitipan.
Setiap penyelenggara jasa memiliki hak yang sah untuk menawarkan jasa kepada orang lain dengan bonus sekian persen kepada pengguna jasanya. Upah dari hasil jasa ini adalah halal. Dalam akad mu’amalah, menawarkan jasa dengan iming-iming bonus kepada pengguna jasa dikenal sebagai akad muwadla’ah. Dan ini adalah bagian dari strategi pemasaran yang dibenarkan oleh syariat agama Islam