Era New Normal seperti saat ini, beberapa masjid mulai dibuka kembali. Termasuk masjid raya di Sumatra Barat. Kendati demikian, berita Covid-19 sampai sekarang pun masih viral di media sosial. Tetapi kabar baiknya, mayoritas masyarakat sudah sadar pentingya mengenakan masker, mencuci tangan, dan mengonsumsi makanan yang bernutrisi tinggi, serta menjaga jarak, termasuk shaf shalat Jamaah.
Saya jadi teringat pertanyaan seorang teman. Ia bercurhat pernah shalat Tarawih berjamaah dan shaf jamaahnya bolong-bolong. Artinya shafnya renggang, barisan tidak lurus, dan tidak rapat. Lantas dia bertanya, “Bagaimana hukum merenggangkan shaf salat ketika berjamaah?”
Karena intruksi merenggangkan shaf adalah kebijakan para ulama, baik di MUI, NU atau Muhammadiyah, saya perlu membahas dampaknya dari sudut pandang Maqasid al-Syariah dengan memandang maslahat dan mafsadatnya kepada masyarakat.
Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam kitab Dawabit al-Maslahat fi al-Syariah al-Islamiyah menyatakan maslahat ialah hal yang memiliki manfaat. Dengan demikian, setiap maslahat adalah segala sesuatu yang mengandung manfaat, baik diperoleh dengan cara mengambil (Jalbi) serta memperoleh dari hal lain, seperti mencari faedah, atau dengan cara menepis seperti menepis mudarat dan penyakit.
Abu Muhammad Maufiquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad Bin Qudamah al-Jama’ili al-Muqoddasi dalam kitab Raudatun Nadir Wajinnatul Manadir fi Usul Fiqih ala Madzhab Imam Ahmad bin Hambal menerangkan bahwa yang dimaksud maslahat adalah menarik manfaat atau menolak mudarat.
Nah, menolak mudarat hanya bisa terwujud dengan cara mematuhi aturan pemerintah berupa mengenakan masker, menjaga jarak satu meter, termasuk merenggangkan shaf ketika salat berjamaah. Sebab imam atau pemerintah tidak akan membuat aturan yang meresahkan umat kecuali dalam kondisi kritis seperti sekarang.
Menanggapi hukum merenggangkan shaf, Imam Ibnu Batthol Abu Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Milk dalam kitab Syarah Sahih al-Bukhari, mengomentari hadis nabi, sawwu sufufakum, fainna taswiyatas sufufa min iqomatis solah. Beliau memunculkan pemahaman bahwa merapatkan shaf shalat hukumnya sunah bukan wajib. Hal yang menjadi illat (alasan hukum) adalah dengan mengaitkan sabda kanjeng nabi yang lain. “Fainna Iqomatas Sufuf min Husnis-Shalat”.
Dengan mengkolaborasikan dua hadis Nabi tadi, rupanya sudah jelas bahwa hukum merapatkan shaf ialah tidak wajib. Berarti, kita cukup berpegang teguh terhadap seruan pemerintah selama mengandung maslahat, sembari berdoa kepada Allah agar wabah Covid-19 segera dihilangkan dari tanah kelahiran.
Adapun intruksi dari para ulama untuk merenggangkan saf, nyatanya relevan dengan ruh sariat. Pernyataan ini dikuatkan dengan ungkapan Ibnu Nujaim al-Mishri dalam kitab al-Asybah wa al-Nadha’ir,
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة.
“Adapun tindakan imam atau pemerintah atas masyarakat ialah berpijak kepada kemaslahatan”.
Akhirnya, hukum merenggangkan shaf shalat jamaah dengan alasan menghindari penularan penyakit Covid-19 dibenarkan. Sambil menunggu informasi sirnanya wabah dari tanah air kita. Lagi pula kita sebagai masyarakat Indonesia sudah barang tentu wajib menaati ketetapan ulil amri atau pemerintah selama tidak melenceng dari syariat. (AN)
Wallahu a’lam.