Seseorang bertanya kepada kami (Kiai Ali Mustafa Yaqub, Red.). Seorang tersebut bekerja di sebuah yayasan Islam yang mempunyai beberapa bidang, baik bidang usaha maupun keagamaan, termasuk salah satunya bidang sosial, yaitu panti asuhan yatim.
Selama ini banyak sumbangan sedekah yang diamanatkan kepada panti asuhan yatim ini, baik dari pada donatur tetap maupun spontan, berupa barang maupun tunai. Atau juga dari bantuan pemerintah, bahkan dari hasil kotak amal yang dititipkan pada tempat-tempat usaha, seperti supermarket, hotel, restoran, rumah sakit, dan ruang praktik dokter maupun usaha lain yang halal. Jumlahnya tiap bulan cukup lumayan.
Beberapa hal yang ditanyakan adalah: pertama, mengingat yayasan ini, selain mempunyai panti asuhan yatim, juga mempunyai bidang kegiatan dan usaha lain, maka bolehkah dana panti asuhan yatim ini digunakan untuk keperluan lain non panti?
Kedua, adakah dalil naqli yang membolehkan atau melarang secara tegas hal itu? Ketiga, seberapa besarkah prosentase hak menurut syar’i, baik hak bagi pengasuh maupun segenap karyawan yang terlibat di dalam yayasan ini dibanding hak anak yatim itu sendiri? Tiga pertanyaan ini ditanyakan agar seorang tersebut dan anggota lembaganya tidak was-was dan syubhat.
Kami ingin menjawab, pertama, pendistribusian dana yang berasal dari para donatur itu tergantung pada motivasi mereka yang memberikan dana. Apakah mereka memberikan dana untuk keperluan yayasan yang bersifat umum atau untuk keperluan yang bersifat khusus. Hal ini bisa dilihat dari kotak-kotak amal yang yang Bapak/Ibu edarkan. Apakah dalam kotak amal itu disebutkan amal jariyah (secara umum) atau disebutkan secara khusus, yaitu untuk keperluan panti asuhan.
Jika para penginfaq menitipkan dananya pada kotak amal yang bertuliskan amal jariyah, maka Bapak/Ibu pengurus yayasan boleh mendistribusikan dana itu di luar panti. Tapi jika mereka menginfaqkan dananya di kotak amal untuk panti asuhan (atau mereka menyebutkan tujuan dana dari penyaluran itu pada pengurus yayasan), maka otomatis pengurus yayasan harus menyalurkan dana itu sesuai permintaan. Begitu pula bila pengurus yayasan bermaksud menginvestasikan sejumlah dana para penginfaq, maka hasil atau keuntungan dari investasi itu harus tetap disalurkan sesuai dengan pesanan dari para penginfaq.
Kedua, dalil yang berkaitan dengan hal ini adalah Hadis Shahih riwayat al-Bukhari dan al-Tirmidzi,
المسلمون على شروطهم الا شرطا حرم حلالا أو أحل حراما
“Kaum muslimin itu terikat dengan perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. (HR. Imam al-Bukhari dan al-Tirmidzi)
Berangkat dari Hadis ini, maka penerima dana infaq harus memegang amanah untuk menyalurkan dana itu sesuai pesanan para penginfaq. Jadi, antara pemberi dan penerima infaq terikat perjanjian yang tidak boleh dilanggarnya selagi tidak menyalahi syariat.
Ketiga, mengenai prosentase hak pengasuh yayasan maupun segenap karyawan dibanding hak anak yatim, nash al-Qur’an maupun Hadis tidak berbicara jelas soal ini. Karena itu, prosentasenya dikembalikan kepada tradisi yang berlaku di masyarakat (Upah Minimum Regional), yang dalam bahasan agama disebut al-Urf. Tapi pengurus atau karyawan tidak boleh mengambil prosentase upah dengan tujuan memperkaya diri, lebih-lebih dengan cara memakan hak anak yatim secara zalim.
Allah Swt memperingatkan dalam firman-Nya,
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (النساء:10)
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api di dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.” (Qs. al-Nisa:10).
Dalam praktiknya, pengurus atau pengelola yayasan harus membagi gaji karyawan secara proporsional dan mengambil hak anak yatim sesuai kebutuhan. Ini selaras dengan firman Allah,
وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهَدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللهِ حَسِيبًا (النساء:6)
“Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (QS. al-Nisa’ :6)
Perlu diketahui, selama al-‘urf tidak menyalahi syariat, maka itu bisa dijadikan dalil dalam hukum Islam.
Kami tidak menggunakan istilah ‘sumbangan.’ Sebab pada dasarnya lembaga-lembaga yang bergerak di jalan Allah SWT, adalah milik Allah SWT. Dan, Allah SWT tentu tidak memerlukan sumbangan. Makanya kami hanya menggunakan istilah infaq sesuai Al-Qur’an. (AN)
Wallahu a’lam.
Artikel ini diolah diri buku “Ali Mustafa Yaqub, Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal, (Jakarta:PT Pustaka Firdaus, 2008)”