Angka perceraian terbilang tinggi di Indonesia. Jika ada perceraian, maka otomatis, perempuan akan berstatus janda. Sedangkan, laki-laki akan berstatus duda. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, hingga Juni tahun 2021 jumlah penduduk Indonesia yang berstatus cerai hidup sebanyak 3,97 juta orang. Angka itu setara dengan 1,46% dari total populasi Indonesia yang mencapai 272,29 juta orang.
Provinsi Jawa Timur, termasuk penyumbang status cerai hidup terbanyak nasional, sebanyak 829,14 ribu jiwa. Kemudian, disusul Jawa Barat sebanyak 825,25 ribu. Pada posisi ketiga adalah Jawa Tengah, sekitar 691,25 ribu penduduk berstatus cerai hidup. Ternyata DKI Jakarta masuk pada posisi keempat dengan angka 159,29 ribu penduduk berstatus cerai hidup. Pada posisi ke lima, provinsi Banten dengan jumlah sebanyak 144,27 ribu jiwa.
Untuk Pulau Sumatera, Provinsi Sumatera Utara masuk pada peringkat pertama dalam status berstatus cerai hidup terbanyak, sekitar 113,94 ribu jiwa. Kemudian disusul dengan provinsi Sumatera Barat, penduduk berstatus cerai hidup sebanyak 80,68 ribu jiwa.
Provinsi Nusa Tenggara Barat, angka perceraian hidup sebanyak 109,7 ribu penduduk. Sulawesi Selatan memiliki 109,26 ribu penduduk berstatus cerai hidup. Sedangkan di Kalimantan Selatan, jumlah status cerai hidup sebanyak 84,1 ribu jiwa.
Berdasarkan data di atas, angka janda termasuk jutaan di Indonesia. Yang sebagian besar dari mereka memiliki anak yang membutuhkan nafkah. Belum lagi, orang tua janda ini yang sudah tua, yang membutuhkan nafkah untuk melanjutkan kehidupan. Kenyataannya, di Indonesia, berstatus janda memberikan kesulitan bagi perempuan; bukan hanya hanya dalam bidang ekonomi namun juga sosial dan psikologis.
Dengan demikian, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seorang janda harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Membanting tulang agar anak bayinya tidak mengalami stunting, ataupun anak-anaknya yang usia sekolah, tidak sampai putus sekolah, disebabkan tidak ada biaya pendidikan.
Hak Janda dalam bekerja
Dalam posisi sebagai tulang punggung keluarga, maka seorang janda dianjurkan untuk bekerja. Hal tersebut untuk membutuhi kebutuhannya, dan juga keluarganya. Sebab, saat status janda sudah melekat, kendatipun masih ada tanggungan nafkah dari suami, tetapi ia harus bertanggungjawab pada dirinya.
Bekerja pada satu sisi adalah kewajiban bagi janda, sebab ada tanggungannya. Pada sisi lain yang lain adalah hak bagi perempuan. Kapan bekerja menjadi hak bagi janda? Dalam proses menjadi janda, dalam Islam ada yang disebutkan dengan iddah (masa menunggu bagi perempuan untuk bisa menikah lagi). Ketentuan Iddah bermacam-macam. Perempuan hamil, maka iddahnya adalah sampai melahirkan. Perempuan yang ditinggal mati suaminya, iddahnya ada 4 bulan 10 hari. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 Allah berfirman:
والذين يتوفون منكم ويذرون أزواجا يتربصن بأنفسهن أربعة أشهر وعشرا فإذا بلغن أجلهن فلا جناح عليكم فيما فعلن في أنفسهن بالمعروف
Artinya:
“Dan yang orang-orang diwafatkan dari kalian, lalu meninggalkan istri-istri, maka (hendaklah istri-istri kalian) itu menahan (diri) selama empat bulan sepuluh hari. Maka ketika waktu (empat bulan sepuluh hari itu) sudah selesai, maka tidak ada dosa bagian kalian (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri (selama dilakukan) dengan patut.” (QS: Al-Baqarah ayat 234)
Problematika bekerja bagi perempuan masa iddah timbul dalam hal ini. Masa 4 bulan 10 hari bukanlah waktu yang pendek. Itu rentetan waktu yang terbilang panjang. Bayangkan saja, bagaimana mungkin ada perusahaan di Indonesia yang mengizinkan karyawan cuti selama itu. Atau bagaimana mungkin perempuan bisa bertahan selama itu tanpa bekerja, terlebih jika tidak dinafkahi suaminya.
Pasalnya, banyak sekali pandangan bahwa perempuan janda yang baru bercerai hidup atau mati, tidak boleh bekerja, selama masih ada masa iddah. Pandangan ini tak terlepas dari ada stigma negatif yang disematkan pada janda. Dalam sosial, status janda sering sekali dianggap posisi rendah.
Terkait janda bekerja dalam masa iddah, ulama fikih berbeda pendapat dalam hal ini. Tidak ada pendapat yang tunggal. Justru Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menyebutkan bahwa seorang perempuan yang dalam keadaan iddah tetap diperbolehkan untuk bekerja memenuhi kebutuhannya:
وللمُعْتدة الخروج في حوائجها نهارًا سواء كانت مُطلقة أو متوفًّى عنها زوجها؛ قال جابر رضي الله عنه: طُلِّقَتْ خَالَتِي ثَلاثًا فَخَرَجَتْ تَجُدُّ -أي تقطع- نَخْلًا لَهَا فَلَقِيَهَا رَجُلٌ فَنَهَاهَا، فَأَتَتِ النَّبِي صلى الله عليه وآله وسلم فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَه فَقَالَ لَهَا: «اخْرُجِي فَجُدِّي نَخْلَكِ لَعَلَّكِ أَنْ تَصَدَّقِي مِنْه أَوْ تَفْعَلِي خَيْرًا
Artinya:
“Dan, bagi wanita yang sedang dalam masa iddah ada hak untuk keluar untuk memenuhi kebutuhannya, di waktu siang hari. Baik wanita di masa iddah itu adalah wanita yang punya iddah karena ditalak atau suaminya meninggal. Jabir ra. berkata, “Bibi saya ditalak tiga (thalaq baa’in kubra), ia lalu keluar untuk memotong buah kurmanya. Lalu ada seorang laki-laki yang menemuinya kemudian melarangnya. Bibi saya lalu menemui Nabi Saw. kemudian menceritakan peristiwa tadi. Nabi lalu bersabda kepadanya, “keluarlah dan tetap kerjakan memotong buah kurmanya. Semoga engkau dapat tetap bersedekah atau berbuat baik dengan melakukan itu.”
Pada sisi lain, Lembaga Fatwa Mesir menyatakan boleh hukumnya seorang perempuan yang masih dalam keadaan iddah, keluar rumah untuk bekerja, kuliah, mengajar, ataupun berbelanja ke pasar. Perempuan tersebut boleh keluar rumah pada siang atau malam hari, tidak ada ketentuan:
يجوز شرعًا للمرأة المعتدة من وفاة زوجها أن تخرج من بيتها لقضاء حوائجها؛ ليلًا كان ذلك أو نهارًا، ما دامت تأمن على نفسها، كما يجوز لها الخروج لحضور فرح أختها -كما نص عليه فقهاء المالكية- بشرط التزامها بعدم الزينة، وكذا المبيت في بيتها
Artinya:
“Dibolehkan bagi seorang wanita yang dalam iddah setelah kematian suaminya untuk keluar dari rumahnya untuk memenuhi kebutuhannya. Keluar rumah itu boleh malam atau siang, selama dia aman untuk dirinya sendiri, dan diperbolehkan baginya untuk pergi menghadiri pernikahan saudara perempuannya – sebagaimana ditentukan oleh para ulama fikih dari Maliki – asalkan dia untuk tidak terlalu berhias diri, dan juga tidak untuk menginap di rumahnya.”
Islam Menyuruh Untuk Memuliakan Janda
Islam adalah ajaran universal. Yang mengajarkan cinta dan kasih terhadap semua makhluk. Yang populer dengan istilah rahmatan lil alamin (rahmat untuk alam semesta). Termasuk dalam hal ini perintah Islam untuk menyayangi dan mensejahterakan janda.
Praktik menyayangi dan memberikan perhatian pada janda sudah dipraktikan langsung oleh Rasulullah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah memberikan gambaran, bahwa seorang yang menyayangi dan menyantuni janda, maka perbuatan tersebut seperti layaknya berjihad di jalan Allah, atau pahalanya sama dengan seorang yang beribadah sepanjang malam, ataupun seperti berpuasa sepanjang siang. Hadis tersebut sebagaimana riwayat Bukhari, melalui sumber Abu Hurairah;
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ الْقَائِمِ اللَّيْلَ الصَّائِمِ النَّهَارَ
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Qaza’ah, telah menceritakan kepada kami Malik dari Tsaur bin Zaid dari Abul Ghaits dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Orang yang memberi kecukupan kepada para janda dan orang-orang miskin, maka ia seperti halnya seorang mujahid di jalan Allah atau seorang yang berdiri menunaikan qiyamul lail dan berpuasa di siang harinya.’”
Pada sisi lain, Rasulullah sudah sadar bahwa para janda merupakan kaum yang rentan dalam masalah sosial dan ekonomi, maka beliau memberikan perhatian. Di antara bentuk perhatian Nabi pada janda adalah dengan mendoakan mereka untuk mendapatkan kemudahan, dan dilapangkan rezekinya. Pasalnya, di zaman Rasulullah, tak sedikit perempuan yang berstatus janda, disebabkan, ditinggal wafat oleh suaminya yang gugur dalam berperang atau lainnya.
Adapun doa Rasulullah untuk para janda itu sebagaimana dikatakan dalam kitab Al-Fathur Rabbani li Tartibi Musnad Ahmad bin Hanbal , bahwa Rasulullah mendoakan pada Julaibib sebagai berikut:
اللهُمَّ صُبَّ عَلَيْهَا الْخَيْرَ صَبًّا ، وَلَا تَجْعَلْ عَيْشَهَا كَدًّا كَدًّا
Artinya:
“Ya Allah, limpahkan kepadanya kebaikan dengan kebaikan yang melimpah, dan jangan jadikan kehidupannya membanting tulang (sulit).”
*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja