Hukum Buka Puasa Bersama di Tempat Ibadah Agama Lain

Hukum Buka Puasa Bersama di Tempat Ibadah Agama Lain

Hukum Buka Puasa Bersama di Tempat Ibadah Agama Lain

Beberapa waktu lalu, tepatnya Kamis (16/06/16), kegiatan buka puasa bersama lintas iman yang akan dihadiri Ibu Sinta Nuriyah, isri Gus Dur, batal dilaksanakan di Gereja Katolik Kristus Ungaran. Hal ini disebabkan aksi penolakan dari Front Pembela Islam (FPI). Akhirnya kegiatan buka puasa lintas iman tersebut terpaksa dipindahkan ke Balai Kelurahan Pudakpayung, Semarang, Jawa Tengah. Untungnya, panitia penyelenggara acara tersebut dewasa menanggapi penolakan sebagian ormas di atas.

Lalu, pertanyaanya, bagaimana sebenarnya hukum fikih menanggapi hal ini?

Untuk menjawab permasalahan buka puasa di tempat ibadah agama lain, kita perlu terlebih dulu mengetahui hukum shalat di gereja atau di tempat ibadah agama lain. Secara umum, ulama sepakat bahwa shalat di gereja atau tempat ibadah agama lain itu sah selagi tempatnya dipastikan suci, sebagaimana disampaikan Imam Ibnu Abdil Bar dalam kitab at-Tamhid lima fil Muwatha minal Ma’ani wal Asanid (Juz 5, hlm 229). Namun demikian, mayoritas ulama hanya menganggap makruh shalat di tempat ibadah agama lain yang di dalamnya terdapat lukisan dan gambar.

Lembaga Fatwa Mesir atau Darul Ifta al-Mishriyah mengutip kisah sahabat Umar yang pernah melakukan shalat di gereja yang diceritakan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab Mukadimah-nya. Pada waktu itu, sahabat Umar memimpin pembebasan Baitul Maqdis. Kebetulan sahabat Umar sedang mampir di salah satu gereja di Baitul Maqdis. Tidak berselang lama, tiba saatnya waktu shalat.

Uskup gereja itu pun menawarkan tempat khusus di dalam gereja untuk Umar melakukan shalat. Namun Umar lebih memilih shalat di loteng gereja. Konon, Umar melakukan demikian agar umat Muslim tidak latah melakukan shalat di tempat ibadah agama lain tanpa ada sebab. Lantas bagaimana dengan buka puasa di tempat ibadah agama lain? Ada tiga hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, buka puasa itu tidak terkait dengan tempat. Hal ini tentu berbeda dengan shalat yang mana dianjurkan untuk melaksanakannya di masjid atau pun di tempat lain yang dipastikan kesuciannya dari najis, termasuk gereja. Apalagi ulama sepakat bahwa shalat di gereja iu sah. Berbicara puasa, tentu pembahasan yang diperbincangkan adalah menu apa yang disunahkan saat berbuka, bukan tempat mana yang disunahkan untuk berbuka.

Kedua, buka puasa tidak membutuhkan pergerekan anggota tubuh, sebagaimana shalat yang mengandung ruku, sujud, yang mungkin bila dilakukan di gereja dikhawatirkan terjerumus dalam kategori syirik. Ini saja ulama menganggapnya sah, apalagi buka puasa yang tidak membutuhkan pergerekan seperti yang disebutkan di atas bukan?

Ketiga, momen buka puasa yang dilakukan di gereja yang diinisiasi Yayasan Ciganjur bertujuan untuk menjaga keharmonisan antar umat beragama. Hal ini tentu dapat mengedukasi sesama umat beragama untuk memahami inti dari ibadah puasa itu sendiri. Apalagi puasa itu bukan miliki umat Islam saja, karena jauh hari sebelum Islam datang, agama Yahudi dan Kristen juga mengenal ibadah puasa.

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa buka puasa tidak terkait dengan tempat, di mana pun tempatnya itu tidak larang, termasuk gereja. Apalagi tema yang diangkat dalam acara di atas mengajak umat beragama untuk memahami makna puasa dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan beragama. Wallahu a’lam.

*Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan lembaga pengkaji ilmu hadis elbukhori institute.