Hukum Bermakmum pada Orang yang Tidak Fasih Baca al-Qur’an

Hukum Bermakmum pada Orang yang Tidak Fasih Baca al-Qur’an

Hukum Bermakmum pada Orang yang Tidak Fasih Baca al-Qur’an

Pada saat kita bermakmum seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa imam yang sedang memimpin salat kurang bagus bacaan al-Qur’annya. Padahal, kita sudah belajar di pesantren tentang tahsin dan tajwid cara membaca al-Qur’an dengan baik dan benar.

Bahkan dalam hadis Nabi Saw. disebutkan bahwa membaca al-Qur’an, yakni surah al-Fatihah, adalah bagian dari rukun shalat yang wajib dibacakan. Bunyi hadis tersebut adalah:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابْ

“Tidak ada salat (tidak sah salatnya) bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah” (HR. Bukhari).

Semengtara itu, dalam hadis yang lain disebutkan bahwa syarat orang yang menjadi imam adalah orang yang paling fasih bacaannya. Sebagaimana riwayat Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah:

لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ خِيَارُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ قُرَّاؤُكُم

“Hendaklah azan orang yang terpilih di antara kalian, dan menjadi imam orang yang paling fasih (qurra) di antara kalian.”

Lantas bagaimana hukum bermakmum kepada imam yang kurang fasih membaca al-Quran terutama surat al-Fatihah?

Terkait dengan hal ini, Imam al-Nawawi dalam kitab Raudlat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin telah merinci penjelasan mengenai hukum bermakmum kepada imam yang tidak bias/baik membaca al-Fatihah.

فَإِنْ أَخَلَّ بِأَنْ كَانَ أُمِّيًّا، فَفِي صِحَّةِ اقْتِدَاءِ الْقَارِئِ بِهِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ. الْجَدِيدُ الْأَظْهَرُ: لَا تَصِحُّ. وَالْقَدِيمُ: إِنْ كَانَتْ سِرِّيَّةً صَحَّ، وَإِلَّا فَلَا. وَالثَّالِثُ: مُخَرَّجٌ أَنَّهُ يَصِحُّ مُطْلَقًا.

“Jika orang yang menjadi Imam itu adalah yang tidak bisa membaca al-Qur’an/al-Fatihah (Ummy), maka hukum sah salat bagi makmum yang lebih fasih ada tiga pendapat: pendapat pertama jadid tidak sah, sedang pendapat kedua sah jika sedang salat sirriyyah (tidak mengeraskan suara: Zuhur, Ashar), jika salat jahriyyah (Subuh, Magrib, Isya) tidak sah. Adapun pendapat ketiga, pendapat paling lemah (mukharraj/dha’if), sah secara mutlak”.

Dari keterangan di atas, Imam al-Nawawi selanjutnya menjelaskan bahwa ia lebih cenderung kepada pendapat yang pertama yakni tidak sah.

Akan tetapi, penulis berpendapat jika kita terlanjur bermakmum, tetapi tidak ingin membuat imam tersinggung, alangkah baiknya niat mufarraqah (berniat memisahkan diri dari jamaah) dan tetap mengikuti gerakan salat sesuai ritme imam. Agar hubungan sosial tidak rusak dengan berupaya sebisa mungkin mengajak si imam untuk belajar kembali membenarkan bacaan al-Qur’an.

Selengkapnya, klik di sini