HTI memandang Khilafah itu, terkadang berbeda dengan kita memahaminya. HTI, saat berbicara Khilafah itu tidak sekedar pada tatanan konsep, tetapi ia diproyeksikan sebagai sebuah sistem. Artinya, pembicaraan Khilafah lebih kepada sistem daripada sekumpulan tata nilai dan nilai-nilai yang membanyanginya. Karenanya di saat kita mengatakan bahwa Indonesia sudah Khilafah, maka bagi HTI belum. Di samping belum “totalitas” (sebagaimana bangunan jalan dan konsep yang dibuat Taqiyuddin Al-Nabhani), juga bagi HTI itu tidak masuk dalam ayat “fi Al-Silmi kaffah”. Di sinilah yang sering saya katakan, HTI kerap mencampuradukkan wilayah syariat dan Fikih sebagai derivasinya.
Syariah (dipahami sebagai hukum Ilahi) memiliki dua sumber: Al-Qur’an dan hadis. Di dunia hanya ada satu Al-Qur’an, sedangkan hadis memiliki kompilasi banyak. Yang sering dirujuk HTI adalah Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Al-Nasa’i dan Ibnu Majah. Pada saat proses menafsirkannya dua sumber utama dari syariah itu bisa melahirkan Fikih. Fikih pun tergantung pada empat sumber utama. Ada interpretasi Qur’an, sunnah, penalaran kolektif (ijma’) dan penalaran individual atau analogi determinan. Dalam mazhab pemikirannya, setidaknya ada lima yang cukup kita kenal: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Ja’fariyah (umumnya digunakan oleh kalangan Syiah).
Sebenarnya jelas. Menolak KHILAFAH seperti yang digaungkan HTI itu tidak melanggar dan bertentangan dengan syariat Islam. syariat Islam (peraturan Islam) memiliki perbedaan dengan Fikih. Fikih merupakan bagian daripada syariah itu sendiri. Syariat Islam lebih luas cakupannya daripada Fikih. Sekalipun dalam proses kerja Fikih membutuhkan hadis, tapi produknya bukan syariat murni itu sendiri.
Maka kita tidak akan ketemukan dalil implisit bahwa Khilafah (seperti gagasan HTI) itu wajib. Kata-kata khilafah dalam setiap proses kelahirannya memiliki maknanya sendiri-sendiri. Sedangkan HTI, setiap kata Khilafah ya kesimpulannya: bagaimana menerapkannya dan menjadikannya sebagai sebuah sistem yang diformalisasikan.
Ada tiga aspek yang tidak bisa dipisahkan dalam beragama Islam, yakni: akidah, syariat dan akhlak. Muslim yang baik adalah Muslim yang memiliki akidah yang kokoh. Kekokohan itu mendorongnya untuk berbuat syariat Islam. Dalam menjalankan dan menerapkan syariat Islam, Muslim diberikan satu pegangan berupa akhlak dalam menerapkan ajaran Islam. Ketiganya saling bertautan, dan Muslim tidak bisa memilih salah satunya saja.
Dalam kasus Khilafah pun, jika ia dilihat dari aspek “amaliyah” (aspek tindakan dalam Fikih), ia masuk ke “fard” (wajib), “mustahab” (dianjurkan), “mubah” (boleh), “makruh” (dihindari) ataukah “haram” (dilarang/larangan)?. Bagi saya tidak wajib dan menolaknya tidak bertentangan dengan Islam. Sebagai sebuah “tata nilai” yang mengitarinya, Muslim (Saya rasa) tidak ada yang menolaknya. Tetapi memaksakan Khilafah versi HTI, pasti mendapat tantangan dari internal Islam itu sendiri. Karena ia sebagai sebuah sistem masih problematik dalam kerangka dan teori “maqashidu al-Syariah”.
Lebih lanjut lagi, dalam pembicaraan tentang hukum Islam, kita tidak terlepas dari namanya “masalahat”. Al-Thufi biasanya mengutarakan bahwa inti dari seluruh ajaran Islam dalam bidang hukum adalah kemaslahatan. Mewujudkan Khilafah—dalam gaungan HTI yang lebih kental kepada sikap pemberontakan kepada Barat daripada panggilan Ilahi—harus diukur dari masalahat atau tidaknya, jika diterapkan di Indonesia. Banyak “muhdarat”-nya atau manfaatnya.
Jadi, lahirnya Perppu yang dikeluarkan pemerintah, tidak serta merta bahwa pemerintah anti-Islam. Di dalam Islam saja masih terjadi perdebatan yang tak kunjung habis terkait khilafah itu sendiri. Jadi argumen “Jokowi anti-Islam” atau “Rezim Represif” itu reaksi seseorang atau kelompok yang proyeknya merasa terganggu. Setelah adanya Perppu, tugas kita belum selesai. Masih ada Khilafatul Muslimin, Majelis Mujahidin Indonesia dan konco-koncone.