Salah satu penyebab perpecahan umat yang sudah sangat mengkhawatirkan hari ini adalah penerimaan (tanpa kritis) seseorang atas ucapan atau berita dari orang lain. Dimana berita tersebut memicu perselisihan. Berapa banyak kerugian yang dihasilkan dari sebuah berita (bohong) yang pada akhirnya melahirkan penyesalan. Berapa banyak berita yang berkembang di tengah masyarakat yang tidak sesuai dengan fakta? Oleh sebab itu, sebagai makhluk yang diberi akal, kita harus hati-hati dalam menerima sebuah isi berita. Harus melakukan proses seleksi dan melakukan penyaringa. Tidak boleh sembrono dengan menerimanya begitu saja.
(Syeikh Abdurrahman as-Sa’di)
Dalam literatur-literatur ushul fiqh disebutkan dengan begitu jelas definisi sebuah khabar/berita; sesuatu yg mungkin benar sekaligus mungkin salah. Bahkan dalam diskursus hadis, ada sebuah ilmu khusus yg membahas tentang para informan hadis (jarh wa ta’dil). Sebuah upaya memverifikasi kesahihan periwayatan melalui jalur para informannya.
Lalu bagaimana dengan berita yang bersliweran di media sosial? Apakah semua yang semisal lewat di beranda facebook, twitter, atau berita online, bisa kita pastikan kebenarannya? Lalu kita amini dan diperbolehkan membagikannya kepada orang lain tanpa melakukan proses verifikasi keberaran isi beritanya? siapa penulis beritanya? Apa motifnya dan tujuannya apa?
Di tengah kecepatan teknologi informasi digital sekarang ini, beberapa pihak menggunakannya untuk melakukan propaganda-propaganda. Orang-orang yang sudah memosisikan diri berada di kelompok tertentu (baik politik maupun ormas) akan dengan mudah terpancing bila ada pemberitaan “miring” di kubu “lawan”.
Mari muhasabah atau introspeksi diri kita agar tidak terjebak dan terjerembab dalam kubangan para pembual dan pemfitnah.
Memverifikasi Berita
Allah SWT telah mewanti-wanti umat Islam untuk tidak gegabah dalam membenarkan sebuah berita yang disampaikan oleh orang fasik.
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS al-Hujurat:6)
Syeikh Thahir ibn Asyur, ahli tafsir kenamaan asal Tunisia, dalam kitabnya berjudul tafsir at-tahrir wa at-tanwir, dalam menafsirkan ayat di atas memberikan sebuah penjelasan bahwa ayat ini menegaskan kepada umat Islam agar berhati-hati dalam menerima laporan atau berita seseorang yang tidak diketahui asal-usulnya. Hal ini baik dalam ranah persaksian maupun dalam periwayatan.
Dalam konteks hari ini, kita dituntut agar berhati-hati dalam menerima pemberitaan dari media apapun, terlebih media yang isinya sarat dengan muatan kebencian kepada pihak lain.
Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam semesta telah memberikan petunjuk kepada umatnya dalam menjalankan kehidupannya agar sesuai dengan tuntunan syariat. Para ahli ushul fikih sejak berates tahun yang lalu telah merumuskan tentang konsep universalitas syariat dengan memetakannya menjadi lima prinsip dasar; hifdz ad-din (menjaga agama), hifdz an-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-aql (menjaga akal sehat), hifdz al-mal (menjaga harta), dan hifdz al-ird (menjaga harga diri).
Kelima prinsip dasar universalitas syariat ini harus menjadi pegangan dan pedoman keberagamaan seorang muslim dalam menjalankan tuntunan agamanya. Artinya bahwa prinsip-prinsip tersebut harus terjamin pada diri seorang muslim di satu sisi, dan menjaganya agar tidak menciderai prinsip dasar yang menjadi hak orang lain di sisi lain.
Sebagai muslim yang baik, kita tidak diperbolehkan menghilangkan hak hidup, hak beragama, hak berpikir, hak memiliki harta, dan hak harga diri orang lain. Pada titik ini, dalam konteks bermuamalah dengan orang lain di dunia maya misalnya, kita tidak diperbolehkan melakukan hal yang merugikan lima hak dasar seseorang. Bagaimana dengan anda?