Kewalian adalah salah satu topik penting dalam ajaran Islam. Secara khusus, kewalian menjadi pembahasan ilmu tasawuf. Banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi saw. yang berbicara tentang kemuliaan derajat kewalian. Kewalian kemudian menjadi citra Muslim ideal selama berabad-abad.
Belakangan, ada pihak-pihak yang mulai menyudutkan serta menolak tasawuf, termasuk di dalamnya konsep kewalian. Pihak kontra tasawuf tersebut merujuk kepada perilaku sebagian pengamal tasawuf yang ekstrim sehingga menabrak aturan syariat dan bahkan jatuh dalam kekufuran.
Keduanya sama-sama cenderung berlebihan. Kedua kelompok tersebut pada dasarnya sama-sama-sama merobohkan konsep kewalian yang merupakan ajaran Islam. Kedua sikap ekstrim tersebut berbahaya. Karena itu, perlu upaya penjernihan tentang konsep kewalian yang benar dan yang menyimpang. Upaya penjernihan ini telah dilakukan para ulama sejak zaman old.
Di antara ulama zaman old yang telah melakukan upaya tersebut adalah Syekh Abu Nu’aim Al-Ashbahani (w. 430 H.). Seorang ahli hadis terkemuka Persia yang bergelar Al-Hafizh (Penghafal Hadis). Beliau menulis ensiklopedi para wali dan sufi sejak masa sahabat hingga masa beliau hidup yang berjudul Hilyat Al-Auliya’ Fi Thabaqat Al-Ashfiya’ (Mahkota Para Wali; Ensiklopedia Manusia Pilihan). Kitab tersebut disusun karena ada para pendusta yang mengaku sebagai sufi, namun sejatinya hanya pembohong. Dalam pembukaan kitab, beliau mengatakan, “Bahwa ada sekelompok orang fasik, jahat, penghalal segala sesuatu, dan pengikut paham hulul yang kafir. Mereka menisbatkan diri pada ahli ilmu, kebajikan, ketakwaan, dan menggunangan simbol-simbol kemuliaan mereka sampai masyarakat awam tertipu penampilan mereka.”
Karena kondisi itulah beliau perlu menyusun kitab yang bertujuan membersihkan nama baik tasawuf dan para sufi-wali. Beliau mengatakan, “Dalam menampilkan keberlepasan dari para pendusta tersebut serta pengingkaran terhadap para pengkhianat batil itu, ada pembersihan nama baik para sufi sejati (sadiqin) dan menjaga kemuliaan orang-orang yang telah mencapai maqam hakikat (muhaqqiqin). Jikalau kami belum sempat membongkar pelecehan kaum batil dan buruk tersebut, sebagai implementasi ajaran agama, niscaya hukumnya sudah wajib menjelaskan dan menyebarkan keburukan mereka sebagai perlindungan terhadap kesucian tasawuf.”
Buku tersebut memuat paling tidak 689 biografi para sufi-wali. Penyebutan tiap biografi selalu disertai penyebutan sumber informasi, daftar guru, kelebihan para wali dan maqalah-maqalah mereka terkait pengalaman mengamalkan ajaran Islam. Penulisan biografi menggabungkan metode ahli hadis yang memperhatikan akurasi dan metode sufi yang memperhatikan adab. Sederhananya, kitab tersebut menggabungkan sanad dan adab.
Penggabungan dua metode tersebut menunjukkan posisi keilmuan penulisnya yang memang menguasai dua ilmu penting dalam Islam; hadis dan tasawuf. Hadis-tasawuf tidak dibenturkan. Tokoh-tokoh kedua disiplin disatukan dalam derajat kemuliaan yang sama; kewalian dan kecintaan kepada Allah azza wa jalla. Pada akhirnya, buku ini ingin menyampaikan pesan; wali itu ada. Nama mereka terukir abadi dalam buku ini. Anda yang ingin tahu siapa saja 689 wali tersebut, bacalah buku ini. Ensiklopedi para wali.