Marah adalah suatu yang inheren pada diri manusia. Ada marah yang terpuji dan ada pula marah yang tercela. Marah yang tercela tidak dibenarkan. Yang terpuji adalah marah yang berpihak pada kebenaran.
Kemarahan sering bermula dari kegilaan yang tak dapat dikendalikan dan kerap berakhir dengan penyesalan yang menyakitkan. Meluapkan kemarahan seakan bisa melegakan perasaan. Kenyataaannya, justru seseorang kerap sadar saat kemarahan itu mereda.
Sebab itulah Rasulullah pernah mengaakan kepada sahabat yang meminta nasihat. Rasulullah Saw menjawab, “Laa taghdab!” jangan marah. Padahal pada saat itu sahabat tersebut tidak sedang marah. Nasihat tesebut menyiratkan agar para sahabat menyadari akibat buruk kemarahan-untuk diantisipasi. Sebab akibat kemarahan hanya bisa dipahami jika seseorang tidak sedang dalam kondisi marah.
Namun apakah setiap kemarahan itu buruk? Tidak. Buku ini memaparkan hadis-hadis yang mengkisahkan momen saat Rasulullah marah dan geram. Saat ia tak menyukai sesuatu yang terjadi di lingkungan keluarga, para sahabat atau dalam masyarakat.
Kemarahan-kemarahan Rasulullah saw dalam buku ini menegaskan bahwa kemarahan yang terjadi pada saat tepat, di tempat tepat dan dilakukan secara tepat bukanlah hal buruk. Malah kemarahan tersebut menjadi hal baik demi menghindarkan hal-hal yang buruk.
Rasulullah saw pernah mengambil sumpah dari Allah. Sabdanya, “Ya Allah aku akan mengambil sumpah dari-Mu. Dan berharap jangan sampai Engkau melanggarnya untukku.” Setelah itu Rasulullah saw berkata lirih, “Aku ini hanya manusia biasa. Oleh karena itu, siapa pun mukmin yang aku sakiti, yang aku cerca, yang aku laknat, yang aku pukuli, maka karuniakanlah kepadanya salat, zakat dan kedekatan agar dapat mendekatkannya kepada-Mu di hari kiamat. (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Ahmad, al-Bayhaqi)
Selain berisi tentang hadis-hadis yang menjelaskan tentang kemarahan Rasulullah saw, buku ini juga disertai penjelasan para ulama seperti Ibnu Katsir, Imam al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Atsqalani dan lainnya.
Ada 61 kisah yang menceritakan kemarahan Rasulullah. Salah satunya adalah kemarahan ketika terjadi konflik antara Abu Bakar dan Umar Ibn Khatthab. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari disebutkan bahwa suatu ketika Abu bakar datang sambil menjinjing ujung pakaiannya hingga lutut. Abu Bakar menyatakan bahwa dirinya sedang bermasalah dengan Umar Ibn Khatthab. “Aku terlanjur marah kepadanya kemudian aku menyesal. Kuminta ia memaafkanku tetapi ia tidak mau. Oleh karena itu, aku datang kepadamu.”
Rasulullah saw bersabda,”Mudah-mudahan Allah mengampunimu, wahai Abu Bakar.” Rasulullah mengucapkannya tiga kali. Setelah itu giliran Umar yang menyesal. Ia pun mendatangi kediaman Abu Bakar. Ia bertanya, “Adakah Abu Bakar?” mereka menjawab, “Tidak ada.” Ia pun mendatangi Rasulullah saw. Terlihat air muka Rasululah saw berubah karena marah, hingga Abu Bakar khawatir. Ia pun bersimpuh dengan kedua lututnya. Umar berkata, “Wahai Rasulullah sungguh aku telah berbuat zalim,” sebanyak dua kali.
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengutusku kepada kalian, lalu kalian berkata, ‘Engkau dusta!’ tetapi Abu Bakar sebaliknya mengatakan, ‘Dia benar’. Dia telah menolongku dengan segenap jiwa dan hartanya. Lantas apakah kalian akan membiarkan sahabatku begini?” sejak saat itulah Abu Bakar tidak pernah disakiti lagi.
Begitulah salah satu gambaran bagaimana kemarahan Rasulullah. Walaupun marah, namun masih mampu mengontrol diri dengan baik. Tidak membuat umpatan, cacian, laknat atau bahkan marah dengan memakai tangan.
Dalam hadis-hadis yang lain dalam buku ini, kemarahan Rasulullah menggambarkan ketegasaan atas kesalahan yang berkaitan dengan Islam atau karena hubungan antara sesama sahabat bukan karena ego pribadi atau kepentingan kelompok tertentu.
Buku ini bisa menjadi acuan bagi siapa pun baik yang suka marah dalam berdakwah ataupun bagi orang yang tidak memiliki ketegasan dalam amar makruf dan nahi munkar agar tidak terjadi hal-hal yang berlebihan. Oleh penulis, beberapa kisah dalam buku ini diberi penjelasan mengenai hikmah di balik kemarahan Rasulullah saw.
Namun demikian, tidak semua hikmah kemarahan Rasulullah saw tidak ditulis dalam semua kisah sehingga ada beberapa cerita pendek yang didasarkan pada satu dua hadis tanpa apa keterangan yang detail sehingga masih memunculkan pertanyaan bagi pembaca.
Judul Buku : Wahai Rasulullah, Kenapa Engkau Marah
Penulis : Muhammad Ali Utsman Mujahid
Penerbit : Penerbit Zaman
Tahun Terbit : 2016
Tebal buku : 296 halaman