Hikayat Ratu Bone yang Memutus Stigma Perempuan & Membuat Penjajah Belanda Kewalahan

Hikayat Ratu Bone yang Memutus Stigma Perempuan & Membuat Penjajah Belanda Kewalahan

Mari berkenalan dengan sosok dari Bone ini, seorang ratu yang menepis perempuan hanya di rumah saja

Hikayat Ratu Bone yang Memutus Stigma Perempuan & Membuat Penjajah Belanda Kewalahan
We Tanriawaru adalah salah satu pejuang asal Bone dan ia perempuan, membuat Belanda takut. Pict by telukbone.id

Sejarah Nusantara tidak hanya dipenuhi oleh kisah para pemimpin laki-laki. Beberapa perempuan juga dicatat sejarah berada pada pucuk pemerintahan. Meski harus melewati stigma direndahkan sedemikian rupa, perempuan-perempuan itu sukses membalikkan keadaan dan mematahkan anggapan rendah kepada mereka. Salah satunya We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara di Bone, Sulawesi Selatan. Ia adalah seorang perempuan.

Ia tercatat Raja Bone ke 28 dan  naik tahta menggantikan suaminya menjadi raja. Terpilihnya We Tenriawaru rupanya disambut sukacita Gubernur Hindia Belanda di Makassar. Menurut mereka, kemenangan perang semakin mudah diraih di tanah Bugis.

“Belanda berpikir, raja perempuan akan lebih mudah diajak kerjasama dan dilunakkan,” kata Nurhayati Rahman, Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin, mengenai kiprah We Tenriawaru menjadi ratu sekaligus pemimpin pemerintahan .

Stigma merendahkan dari Belanda tersebut nyatanya hanya menjadi isapan jempol. We Tenriawaru membuat kebijakan intimidatif di Pelabuhan Bajoe, pelabuhan Kerajaan Bone. Sang Ratu meminta semua kapal Belanda yang berlabuh harus membalikkan bendera mereka. Dari merah-putih-biru menjadi menjadi biru-putih-merah. Tidak hanya itu, jika dibutuhkan rakyat, We Tenriawaru tidak segan turun langsung berperang bersama rakyatnya.

Semangat perang rakyat Bone tidak berhenti berkobar. Di bawah kepemimpinan sang Ratu, rakyat Bone semakin militan. Hal tersebut memaksa Belanda menggempur Bone dengan kekuatan maksimal. Gempuran Belanda semakin hari semakin menggila. Demi rakyat, We Tenriawaru memutuskan menyerah agar lerang tidak lagi banyak memakan korban, terutama rakyat Bone.

Pasca kepemimpinan We Tenriawaru, nasib Kerajaan Bone berubah bagi Hindia Belanda. Tidak lagi menjadi mitra strategis, tetapi menjadi wilayah pinjaman. Setiap kebijakan pemerintah Bone harus seizin Hindia Belanda.

Memutus Stigma yang Melemahkan Perempuan di Ranah Publik

We Tenriawaru memang boleh meninggal 1862, namun narasi perjuangannya adalah inspirasi perempuan-perempuan Indonesia untuk tidak tunduk pada narasi yang merendahkan perempuan. Jika kita melihat di sekitar kita, perempuan masih mendapat pernyataan yang mengarah ke ranah domestik. Semisal pertanyaan memilih antara ranah domestik dan ranah publik.

Pandangan tersebut akan membawa perempuan hanya terlihat hebat jika berurusan pada ranah domestik dan aneh bila harus berada di ranah publik. Sehingga menjadi perempuan dengan karir cemerlang masih dianggap sebagai hal yang tak biasa atau bahkan keluar dari kebiasaan. Padahal ya biasa saja, karena memang seharusnya begitu.

Kita harusnya sudah bisa keluar dari framing (membingkai pandangan) yang merendahkan perempuan. Kita pun harusnya berhenti memelihara sistem patriarki (laki-laki memegang kekuasaan dominan dalam otoritas moral, politik, hak sosial, dan penguasaan properti) karena tentu saja tidak memenuhi asas dasar bagi manusia; keadilan.

Memang sebagai satu negara kita telah berdaulat, namun tidak pada kebiasaan. Kita masih belum sepenuhnya bebas dari perilaku penjajah, yaitu memandang remeh keberadaan perempuan dalam kepemimpinan, karier dan kebebasannya berekspresi. Oleh itu, hari ini tugas kita bersama-sama untuk menghapus ‘perilaku penjajahan’ yang merendahkan perempuan.

 

*Artikel ini hasil kerjasama islami.co dan RumahKitaB