Heboh Ceramah Pendakwah Cecar Aksi Pembuatan Konten di Masjidil Haram, Apakah Bisa Berhenti?

Heboh Ceramah Pendakwah Cecar Aksi Pembuatan Konten di Masjidil Haram, Apakah Bisa Berhenti?

Bisakah aksi-aksi pembuatan konten media sosial di sekitar Masjidil Haram oleh para jamaah haji dan umrah dihentikan?

Heboh Ceramah Pendakwah Cecar Aksi Pembuatan Konten di Masjidil Haram, Apakah Bisa Berhenti?
Potret orang yang sedang berpose dengan latar belakang bangunan Ka’bah. Kini haji 2023 lebih ketat, tidak bisa sembarangan selfie atau bahkan bawa jimat

Media sosial di sekitar keislaman kita adalah keniscayaan. Tentu, hingga hari ini, kita masih mencari keseimbangan dan akan terus bernegosiasi antara beragam hal keberagamaan kita dan media sosial. Baru-baru ini, media sosial dijejali potongan ceramah seorang pendakwah asal Arab Saudi yang mencecar tindakan membuat konten media sosial di tanah suci, khususnya Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Kritik tersebut sebenarnya tidak asing atau barang baru. Sebab, sudah banyak keluhan terkait pembuatan konten media sosial di sekitar dua masjid suci tersebut. Teranyar, kita disuguhi kehebohan satu keluarga Youtuber yang meramaikan beragam perjalanan ke tanah suci dengan beragam konten mereka. Netizen pun banyak menghujat lalu membagikan kembali ceramah ulama tersebut.

Terus, bagaimana sikap kita seharusnya?

Bagi saya, sangat mungkin, aksi-aksi para pembuat konten di Masjidil Haram akan sangat sulit dihentikan. Terlebih, sikap kita masih ambigu atas kehadiran media sosial di tengah ibadah di tanah suci. Beberapa bulan lalu, kita melihat seorang artis memberitahu suaminya yang seorang aktor bahwa mereka akan memiliki anak baru, yang sedang dikandung sang istri.

Foto mereka bersama, di mana sang suami bersama sang anak memegang perut sang istri beredar luas di media sosial. Ditambah, video sang istri sembari menggendong anak berjalan mendekat di dinding Ka’bah dan mendekap dinding tersebut dengan sangat erat.

Menariknya, aksi memeluk dinding Ka’bah tersebut direkam dengan dua kamera sekaligus. Satu ditempatkan jarak jauh untuk merekam proses mereka berjalan menuju Ka’bah, dan satu lagi dibawa sang istri untuk merekam kala mereka sudah di samping titik Kiblat umat Islam tersebut. Hingga hari ini, saya tak menjumpai netizen menghujat pasangan tersebut.

Bahkan, di level yang berbeda, kita sering juga mengunggah ulang foto atau video teman kita yang merekam tulisan nama dan biasanya disertai doa, di akun media kita sendiri. Bagaimana pun, kita tidak bisa membantah, media sosial sering menjadi medium “kehadiran” kita di tempat-tempat sakral dalam keberagamaan kita, termasuk dua masjid suci.

Saya pernah bersoloroh dengan seorang teman, media sosial bisa saja menghilang kalau ada campur tangan Yang Maha Kuasa. Sekilas guyonan saya ini mungkin terlihat tidak mungkin. Namun, hal tersebut terinspirasi dari kisah ayah saya sewaktu berangkat haji.

Sewaktu di tanah suci, ia menjumpai teman sekamarnya sedang kebingungan di depan gedung tempat mereka tinggal. Rupanya, teman ayah saya masih belum menerima fakta bahwa foto-fotonya di Masjidil Haram malah rusak atau gelap sebagian. Padahal, foto-foto di tempat lain baik-baik saja. Dulu, teman ayah saya menggunakan kamera yang memakai rol film, tidak seperti sekarang yang disimpan secara digital.

Tak berapa lama ketika ayah saya dan temannya mengobrol soal kamera tersebut, pembimbing ibadah haji yang bertugas menghampiri mereka dan bertanya apa yang sedang mereka bicarakan. Pembimbing itu menjawab singkat, “Itu (foto) rusak karena Allah tidak ingin kita memfoto Masjid Haram.”

Teman ayah saya pun langsung ingat kata-kata ibunya sebelum berangkat ke tanah suci, bahwa jangan sesekali ia melakukan hal-hal yang aneh selama di tanah suci, termasuk menjepret kameranya. Menurut kepercayaan sang ibu, hal itu akan melanggar kesucian Masjidil Haram. Sang ibu pun menambahkan beberapa hal tabu dilakukan selama di sana.

Dulu saya sering sekali mendengarkan “papadah” (baca: nasehat) orang-orang tua kepada siapa saja yang berangkat haji, karena dulu umrah belum terlalu familiar. “Sebelum berangkat harus meminta maaf. Karena, jika masih ada yang belum memaafkan, kita mungkin tidak bisa melihat Ka’bah,” ujar seorang nenek kepada anaknya yang mau berangkat haji.

Saya pun juga sering menjumpai beberapa cerita-cerita orang yang tidak bisa melihat Ka’bah dari para jemaah haji yang baru tiba di tanah air. Mereka biasanya menceritakan kejadian-kejadian “di luar nalar” tersebut kepada keluarga, kerabat, hingga kolega mereka. Namun, Beberapa tahun terakhir ini, saya tidak lagi mendengar cerita-cerita tersebut. Apakah tidak ada lagi kejadian serupa?

Entahlah. Namun, yang pasti adalah kita mulai tidak lagi peduli dengan ruang-ruang sakral yang dulu dikonstruksi dengan beragam cerita yang hari ini mungkin sulit diterima. Padahal, kisah-kisah tersebut sudah menjadi bagian dari kita dan membantu kita mengkonstruksi cara kita melihat dunia.

Kembali ke soal konten media sosial di tanah suci. Penggunaan media sosial akan terus “menantang,” menegosiasikan, hingga menarik-ulur batas-batas yang sakral dan profan. Namun, kita sering mengabaikan satu hal setiap perbincangan ini muncul ke permukaan, yakni kesadaran kita akan perjalanan ke tanah suci adalah perjalanan ruhani.

Kyai saya pernah berujar, kala berangkat ke tanah suci kita harus membawa “diri” (baca: ruhani dan jasmani) yang suci pula. Oleh sebab itu, dalam tradisi masyarakat Banjar, sebelum berangkat ke tanah suci harus melakukan upacara mandi-mandi. Kata kyai saya, agar ruhani kita, termasuk beragam hal-hal kotor, telah disucikan sebelum berangkat haji.

Tradisi persiapan-persiapan haji atau umrah saat ini mungkin sekali sudah banyak ditinggalkan. Padahal, titik kritis dalam tradisi tersebut adalah kesiapan kita melihat bahwa perjalanan ke tanah suci juga harus disertai kesadaran ruhani yang sepenuhnya siap beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan persiapan tersebut diharapkan kita akan meluruskan (baca: membersihkan) niat keberangkatan ke tanah suci.

Jika ditanyakan kembali, apakah media sosial akan berhenti? Saya jawab dengan sangat yakin, “Sangat Sulit.” Sebab, sudah saya jelaskan di atas, dia (baca: media sosial) akan terus mengajak kita untuk menegosiasikan, mengugat, hingga menarik-ulur batas-batas sakral yang selama ini ada.

Sehingga, jika ruang sakral di Masjidil Haram tersebut sudah semakin sempit karena media sosial, maka yang harus berkontemplasi adalah kita sendiri. Jangan-jangan kita yang malah melanggar wilayah-wilayah sakral tersebut, atau mengubah batas-batas ruang tersebut.

Fatahallahu alaina futuh al-arifin

[NH]