KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mungkin bisa dikatakan sebagai satu-satunya tokoh Indonesia modern yang kematiannya memunculkan habitus baru. Bukan hanya makamnya dikunjungi ribuan peziarah setiap hari, setiap Desember juga terjadi festival haul (peringatan wafatnya seseorang) di berbagai penjuru tanah air.
Sejak Gus Dur wafat satu dasawarsa yang lalu, setiap tahun berbagai komunitas di Indonesia, sebagian juga di luar negeri, menggelar acara haul. Bukan hanya kelompok muslim, banyak juga non-muslim yang ikut merayakan haul Gus Dur. Bukan hanya di masjid, musolla dan tempat-tempat pengajian, tak sedikit gereja dan kelenteng yang juga mengadakan peringatan wafatnya Gus Dur, meskipun hal tersebut bisa jadi tak dikenal dalam tradisi agamanya.
Cara yang dilakukan pun beragam, ada yang membaca yasin dan tahlil, menggelar pengajian umum, diskusi yang memperbincangkan Gus Dur, sampai pentas seni budaya. Bulan Desember 2019 ini pemberitahuan adanya haul Gus Dur juga bertebaran dalam berbagai WhatsApp Group hampir dari seluruh penjuru Indonesia.
Tradisi inilah yang saya sebut sebagai habitus baru. Haul tidak lagi menjadi ritual keagamaan sebagaimana tradisi yang berkembang di Indonesia, terutama kaum nahdliyyin, tapi sudah menjadi ritual budaya yang digelar setiap Bulan Desember. Bahkan, Bulan Desember pelan-pelan sudah menjadi Bulan Gus Dur. Haul Gus Dur bisa disebut sebagai contoh penting bagaimana agama dan budaya melebur menjadi kekuatan baru yang menyatukan, bukan saling menafikan. Lebih dari itu, kalangan non-muslim pun ikut menggelar haul, di samping bentuk penghormatan pada Gus Dur tapi juga bentuk penerimaan haul sebagai budaya. Karenanya, haul sekarang ini sudah menjadi budaya nusantara, bukan hanya budaya Islam atau warga NU.
Hal lain yang menarik, tradisi tersebut terjadi begitu saja tanpa ada yang menggerakkan. Masyarakat terpanggil jiwanya untuk menggelar haul. Mengapa bisa begitu? Mengapa sosok Gus Dur yang mampu menggerakaan hati masyarakat untuk secara sukarela melakukan hal tersebut? Banyak tokoh-tokoh besar yang sudah meninggal, tapi mengapa hanya Gus Dur yang mendapatkan keistimewaan itu?
Banyak jawaban yang bisa diberikan dengan berbagai sudut pandang, baik dari sudut pandang keagamaan maupun budaya. Hal yang bisa dipastikan, di samping kiprah dan ketulusan dalam menjalani kehidupan, tradisi tersebut tidak mungkin terjadi jika bukan karena faktor kekuatan ruhani Gus Dur sendiri. Hanya kekuatan ruhani yang bisa menggerakkan ruhani banyak orang. Buah yang baik hanya bisa keluar dari tanaman yang baik pula.
Hal yang sama juga bisa kita saksikan di makam orang-orang saleh yang setiap hari makamnya selalu dikunjungi peziarah. Bukan hanya orang yang pernah hidup satu masa, tapi orang yang tidak pernah ketemu sekali pun, bahkan berbeda generasi. Hal itu hanya bisa terjadi bagi orang-orang yang mempunyai kekuatan ruhani. Sungguh kebahagiaan besar kematian yang masih terus bisa menghidupi manusia.