Hati Suhita adalah wajah cinta dan kebijaksanaan khas perempuan yang membentuk kebudayaan kita semua.
Film Hati Suhita menjadi kontributif bagi kebudayaan kita sebab kepada dunia luar (pesantren) ia membukakan cakrawala indah dan dialektis peradaban pesantren dan para santri.
1/
Film “Hati Suhita” berlatar pesantren. Kenapa pesantren bisa menjadi “latar”? Itu bukan point utama catatan usai menonton film “Hati Suhita” yang diadaptasi dari novel best seller berjudul sama kara Khilma Anis, tetapi pertanyaan itu memang penting dikemukakan di depan. Kenapa?
Selain sebagai ajakan merefleksikan dunia pesantren, juga karena dalam “Hati Suhita” pesantren adalah latar, dunia, nilai, juga bentuk kebudayaan yang terus dihidupi dan dimajukan oleh para santri melalui beragam karya dan kontribusi seperti dilakukan Khilma.
Hati Suhita adalah altar hati perempuan, suatu falsafah (kesadaran) diri perempuan (yang dibentuk oleh nilai pesantren) dalam memandang diri dan masyarakatnya sebagai suatu perkembangan sejarah sosial. Tak terkecuali dalam membentuk keluarga sakinah mawadah warahmah—adil dan setara.
Keluarga yang diberkati kesadaran tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam memajukan bentuk adil relasi tak bisa diabaikan sebab keluarga adalah pondasi transformasi sejarah kebudayaan.
Meminjam bahasa Sastrawan Pramoedya Ananta Toer; cinta tak pernah tiba-tiba, sebab ia anak kebudayaan. Atau dalam istilah Surajie dari sumber tutur ibunya: Sebagaimana ombak dan kapal akan menemu juga labuhannya—atau karam.
3/
Suhita—dalam babad leluhur jawa adalah Ratu Majapahit, seorang yang pemimpin dalam ikut membentuk masyarakat, seorang pendidik yang memberikan jawaban kepada perkembangan dunia dan tantangan nilai yang berkait laku hidup juga bagaimana mensikapi realitas perubahan yang senantiasa mengguncangkan.
Dari situ tampak, laki laki dan perempuan memiliki tanggung jawab setara membentuk peradaban manusia. Dengan cara khas masing-masing.
Bagi Ning Khilma Anis, ia meyakini perempuan harus tahu dan paham, lalu memilih medan pertempurannya dan memenanginya dengan gigih sehingga patut menjadi ratu.
Suhita memilih keluarga dan pesantrennya sebagai medan karusetra; ruang pertempuran dengan dirinya sendiri, untuk dimenangi dan dengan itu punya kuasa untuk ikut membentuk sejarah dan peradaban.
“Bagaimana bisa jadi ratu majapahit seperti Suhita, jika jadi ratu di hati suami sendiri saja tidak bisa,” tuturnya analogis.
Digambarkan dalam film Hati Suhita keronto-ronto dan nelangsa dalam biduk perjodohan; laki laki yang dinikahi memproklamirkan menikah demi bakti kepada orang tua, tidak cinta dan tidak mau menjadikan Suhita “pakaian”, tidak pula sebaliknya.
Baca juga: Hati Suhita, Perjuangan untuk Menguatkan Muslimah melalui Tradisi
Hati suaminya, Gus Biru, terpaut pada Rengganis, gadis penuh pesona intelektual dan modern yang ia yakini lebih mampu kontribusi pada ego kuasanya membangun dunia modern seperti di dapatnya dari buku-buku filsafat dan bangku kritis universitas. Rengganis ideal dalam mata Gus Biru, ia gadis yang akan keliling Eropa untuk melanjutkan studi di Belanda.
Suhita hanya prototype kolot dengan kelembutan dan kelambatan unggah ungguh juru laden hasil pendidikan pesantren dan tradisi kebudayaan turun temurun jawaisme dari eyangnya—tampak lembab dan nihil ambisi. Betapa tidak menantangnya. Betapa monotonnya.
3/
Pergulatan peradaban modern dan tradisi-onal mengejewantah dalam Suhita dan Rengganis—tetapi baik Suhita dan Rengganis keduanya adalah perempuan; dengan hati khas perempuan, emosi juga cakrawala melihat dunia yang khas perempuan—
Meluluh melantah banjir melankolia dalam drama dua jam tiga belas menit tanpa latar dan belakang, kedua hati perempuan itu berjalan maju menemu kesadaran sejarah dan sosialnya yang khas—untuk memenangi dengan hati, dan membagikan kemenengan hatinya untuk dunia luas melebihi dunia domestiknya sendiri; kemenangan perempuan adalah kemenangan semua.
Makna cinta bukan lagi semata hasrat memiliki dan menguasai perangkat mendominasi liyan, melainkan ihtiyar lahir batin tentang kemajuan kolektif dalam bentuk dan sejak laku paling sederhana sampai dihadapan yang struktural.
Cerita Hati Suhita adalah cerita perempuan, yang memenangi pergulatan dengan hati dan cinta juga pengetahuan akan kebijaksanaan dalam tempaan laku tradisi.
Hati Suhita adalah wajah cinta dan kebijaksanaan khas perempuan yang membentuk kebudayaan kita semua—laki laki dan perempuan—untuk maju dengan adil dan welas asih. Bukan egoisme dan keniscayaan sejarah kehendak untuk berkuasa.
4/
Satu Pertanyaan Suhita menggema dalam benak saya hingga keluar bioskop: saya punya seribu alasan untuk terlihat baik baik saja di hadapan siapa saja, tetapi kepada anak yang nanti lahir bagaimana menjelaskan jika ia di bawa ke dunia tidak dengan cinta?
Generasi indonesia yang nanti harus di bawa ke dunia modern dengan cinta, sehingga tidak terasing dari bangsa dan masyarakatnya sendiri, terbuang dan sangsi dengan maslahan dalam tradisi kebudayaanya sendiri.
Film Hati Suhita menjadi kontributif bagi kebudayaan kita sebab kepada dunia luar (pesantren) ia membukakan cakrawala indah dan dialektis peradaban pesantren dan para santri—tidak semata stereotype kekolotan dan kesuraman pondokan sempit dan udik, film ini menampilkan gambar pesanren yang berdab, santri melek teknologi, kuasa berdialog, atas filsafat dan ilmu barat, suatu dunia yang terbuka pada kemajuan.
Baca juga: Hati Suhita dan Geliat Menjadi Muslim Jawa
Bagi dunia urban yang mulai terasing dan kering dari tradisi sekaligus rindu pada kebaikan yang dihadirkan dengan kelembutan, Hati Suhita terasa seperti mata air setelah orang-orang menggali sumur kebijaksanaan dengan jarum.
Sedang bagi dunia kita para santri, Suhita menancapkan prasasti inspirasi—kepercayaan diri identitas yang memadai.
Para santri khususnya perempuan (santriwati) memiliki contoh baru keberhasilan, mereka akan berani mencanangkan impian lebih beragam, dan kelak kontribusinya bagi kebudayaan indonesia akan makin aktual.