Hari ini Rabu Wage tepat 8 Syawwal 1437 H. Dalam tradisi masyarakat muslim Jawa dikenal sebagai Bodo Kupat (lebaran ketupat, jika diarabkan ‘Idul Kupat). Kenapa demikian? Apakah lebaran ini hanya sekedar tradisi atau ekspresi dari tuntunan sunnah Rasulullah?
Tanggal 8 Syawwal memang unik dan bermakna. Dimana masyarakat muslim Jawa kembali melaksanakan perayaan lebaran. Diartikan lebaran karena selama bulan Syawwal ada tuntunan untuk melaksanakan puasa sunnah selama enam hari.
Hadits riwayat Abu Hurairah Ra sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Durratun Nashihin dan Zubdatul Wa’idzin, Nabi bersabda: “Barang siapa berpuasa pada bulan Ramadan, kemudian diteruskan dengan berpuasa enam hari dari bulan Syawwal, maka seolah-olah dia berpuasa satu tahun penuh”. Dari redaksi hadis ini juga disebutkan bahwa pahala enam hari bulan Syawwal sama dengan pahala enam Nabi.
Logika yang mudah digunakan dalam memaknai sunnah puasa Syawwal adalah dimulai dari tanggal 2 Syawwal dihitung enam hari, berarti berakhir tanggal 7 Syawwal. Maka tanggal 8 Syawwal tepat satu minggu setelah ‘idul fitri dirayakan Bodo Kupat.
Jadi Bodo Kupat adalah ekspresi kegembiraan dan perayaan lebaran setelah selesai berpuasa Syawwal selama enam hari. Maka dalam merayakan kebahagiaan itu dibuatlah kreasi budaya dengan nama kupat dan lepet.
Banyak sekali sejarah lisan (kisah tutur, oral history) yang menjelaskan mengenai makna dan filosofi kupat dan lepet ini. Sejauh penulis paham dari nenek moyang di Kota Kudus (tempat penulis lahir), bahwa kupat dimaknai aku lepat (saya bersalah) dan lepet diartikan luput (salah).
Simbolisasi ini yang menjadikan arti bahwa para pecinta sunnah dan pengamal laku kasepuhan itu tidak sombong. Walaupu sudah berhasil puasa Ramadan, zakat fitrah, bertakbir ‘idul fitri dan berpuasa Syawwal, masih mengaku dirinya salah. Ini berarti makna hakikat penghambaan dan pengakuan kalimat takbir, Allah Maha Besar. Artinya bahwa manusia adalah Maha Kecil yang selalu bersalah dan selalu meminta maaf.
Apa yang dilakukan ketika Bodo Kupat? Banyak cara untuk merayakan Bodo Kupat yang disebut orang Kudus sebagai “Kupatan”. Yang pasti, orang yang ngugemi nasehat nenek moyang selalu dipesan untuk bisa membuat kupat sendiri khusus kaum laki-laki.
Bahkan ada intimidasi-spiritual, kalau laki-laki tidak bisa membuat kupat maka akan dimakan buto ijo. Ini melambangkan bahwa tradisi kupatan jangan sampai punah dan generasi yang membuat kupat jangan sampai kepathen obor (punah). Sebab membuat kupat adalah seni yang sangat rumit, butuh kesabaran dan ketelatenan.
Orang hidup juga butuh kesabaran dan ketelatenan. Maka Bodo Kupat juga bernilai seni Jawa masa lalu yan sangat indah. Kupat beda dengan lontong yang cukup cepat membuatnya hanya dengan menguntai daun pisang.
Dan yang tidak banyak diketahui adalah waktu memasak kupat dan lepet yang sangat panjang sekira tiga hingga enam jam juga perlu disebut sebagai nilai kesabaran dan kemahalan. Sabar karena butuh banyak waktu menanti hingga matang. Dan mahal karena butuh banyak bahan bakar yang digunakan untuk menyajikan kupat dan lepet yang nikmat.
Dimana nilai sunnahnya? Nilai sunnah Bodo Kupat adalah pada inti rasa syukur setelah diberi kenikmatan menyelesaikan puasa Ramadan, merayakan ‘idul fitri dan melanjutkan puasa Syawwal. Termasuk sunnah dalam bershadaqah dan melantunkan kalimat thayyibah di bulan Syawwal.
Ketika Bodo Kupat, masyarakat bersemangat membuat kupat, lepet, lontong yang komplit dengan opor, gori dan sayur lodeh. Masyarakat berangkat dengan tenong (tempat makanan yang terbuat dari bambu) kumpul di Masjid atau Musholla melakukan do’a bersama dengan tahlil seraya mengungkapkan rasa syukur. Masakan kupat dan lepet juga dibagikan tetangga dan saudara.
Jadi jelas, bahwa Bodo Kupat adalah tradisi bernilai positif yang melambangkan rasa syukur atas keberhasilan puasa enam hari di bulan Syawwal. Jika dirinya tidak berpuasa, paling tidak ikut menyambut kemenangan saudara muslim yang mampu berpuasa enam hari Syawwal.
Tidak dapat terbantahkan bahwa Bodo Kupat adalah tradisi masyarakat yang sudah turun temurun dari para Walisongo penyebar Islam di Nusantara. Maka tepat jika Bodo Kupat disebut sebagai Lebaran Islam Nusantara.
Tulisan singkat ini hanya sebatas renungan dan jawaban untuk sebuah pertanyaan yang masih meragukan perilaku pengikut ahlussunnah wal jama’ah khususnya di Jawa. Oleh KH Hasyim Asy’ari dalam Kitab Risalah Ahli Sunnah wal Jama’ah menyebut bahwa orang Jawa itu pengikut ahlussunnah sejak awal, namun terpecah kira-kira tahun 1330 H. Jadi, yakinkan bahwa Bodo Kupat adalah realitas tradisi muslim Jawa yang bernilai syukur, shadaqah dan lantunan kalimat thayyibah. []
M Rikza Chamami, Dosen & Sekretaris Pusat Kajian Islam dan Budaya Jawa (PPIBJ) UIN Walisongo