Hari Masyarakat Adat Internasional diperingati setiap 10 Agustus. Peringatan ini ditujukan sebagai memoar perjuangan melawan pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat di seluruh dunia, baik soal stigmatisasi maupun administrasi.
Hari Masyarakat Adat Internasional 2023 bertajuk “Pemuda adat sebagai agen perubahan untuk penentuan nasib sendiri”. Tema ini menegaskan kembali peran yang harus diambil oleh pemuda adat dalam pengambilan keputusan sembari mengakui upaya-upaya berdedikasi mereka dalam aksi iklim, pencarian keadilan bagi masyarakat adat, dan penciptaan hubungan antargenerasi yang menjaga budaya, tradisi, dan kontribusi mereka tetap hidup.
Dalam tema tersebut, perubahan yang bisa diinisiasi oleh pemuda adat adalah soal menciptakan generasi yang inklusif dan toleran. Namun perubahan itu tentunya memerlukan agen-agen lain.
Dengan demikian, dalam rangka memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional 2023, penting rasanya merefleksikan nilai-nilai adat yang sarat dengan toleransi dan perdamaian yang ada di Indonesia. Budaya lokal memiliki sifat fleksibel yang mudah beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang sedang berlangsung tanpa menghilangkan identitasnya.
Kearifan budaya lokal dalam tataran tertentu menjadi daya rekat dan sumber kontrol moral yang dianggap mampu membangun sikap yang baik layaknya seorang yang berbudaya. Dalam kerangka itu, perlu rasanya bercermin pada bagaimana laku hidup masyarakat adat di Indonesia sebagai upaya melahirkan peradaban yang pluralis dan toleran.
Indonesia pada dasarnya adalah sebuah etalase besar yang menyimpan nilai-nilai lokalitas dan tradisi kebudayaan. Artinya, sumber daya moral itu sudah tinubuh dalam kebangsaan Indonesia itu sendiri.
Nilai perdamaian dan toleransi itu, misalnya, terlihat di desa Watu Asa, Sumba Tengah. Di desa tersebut, orang Kristen, Marapu, dan Muslim hidup berdampingan dalam harmoni dan perdamaian.
Marapu adalah agama lokal masyarakat setempat. Basis relasi lintas agama di tempat ini adalah hubungan kekerabatan yang berakar pada kearifan lokal. Masyarakat ini, terlepas dari perbedaan agamanya, sebenarnya berasal dari silsilah keluarga yang sama.
Nilai kekeluargaan ini mereka jaga di dalam berelasi dengan yang lain. Ketika salah satu kelompok agama tertentu, misalnya, mengadakan acara keagamaan, mereka akan saling mengundang satu sama lain.
Bahkan dalam acara-acara tertentu, bila ada penyembelihan hewan, seorang Muslim akan diminta untuk melakukan penyembelihan tersebut dengan membacakan doa, sehingga makanan yang nanti disajikan dapat dinikmati bersama-sama. Hal ini juga sebagai bentuk penghargaan antara yang satu dengan yang lain.
Di Desa Weelimbu, Sumba Barat Daya, orang Kristen, Katolik, Marapu, dan Islam hidup berdampingan bahkan di bawah satu atap yang sama. Hampir semua rumah di desa ini isinya adalah orang-orang dengan agama yang berbeda.
Sama seperti desa Watu Asa, ekosistem ini terbentuk karena mereka sebenarnya adalah satu keluarga, namun ada anggota keluarga yang memilih untuk menjadi Kristen atau Katolik atau Islam, tetapi ada juga yang memilih tetap menjadi Marapu. Meski demikian, perbedaan keyakinan ini tidak mengganggu relasi mereka.
Dalam hal ritual peribadatan bahkan, orang Marapu sangat sering ikut menghadiri ibadah-ibadah orang Kristen dan ikut memberikan persembahan. Hal ini menurut mereka tidak akan mengganggu keimanan mereka, sebab berbuat baik tidak selalu harus berdalih atas nama agama.
Yang menarik adalah orang Marapu datang lebih subuh dari pada orang Kristen itu sendiri. Dalam hal pertanian, beternak, membangun rumah, dan beragam kegiatan lainnya, relasi yang demikianlah yang selalu muncul. Perbedaan agama sama sekali tidak menjadi barrier bagi mereka untuk terus menjaga ikatan kekerabatan.
Ikatan kekerabatan dan nilai-nilai kebudayaan lokal menjadi faktor penting dalam mengikat komunitas lintas agama. Karenanya, toleransi berbasis kearifan lokal dibutuhkan sebagai sebuah pengikat bagi kelompok-kelompok lintas agama. Kearifan lokal menjadi identitas bersama yang dimiliki dan dipegang oleh umat lintas agama.
Semangat penerimaan, keterbukaan, dan toleransi lahir dari nilai-nilai tradisi lokal tersebut. Hal inilah yang membuat masyarakat Sumba mampu berjumpa dengan orang lain di luar komunitas mereka. Orang non-Sumba akan dengan mudah diterima dalam relasi kekerabatan itu.
Orang Sumba biasanya akan memberi kain Sumba kepada pendatang non-Sumba sebagai tanda penghormatan dan penerimaan. Jadi ikatan-ikatan kekerabatan yang dipelihara bukan hanya ikatan hubungan darah. Keterbukaan itu sudah melampaui garis keturunan. Akhirnya, semua orang dilihat sebagai saudara.
Nilai-nilai kearifan lokal yang ada juga menekankan keterhubungan dan keterikatan antara yang satu dengan yang lain. Ada kesadaran bahwa manusia yang satu tidak dapat hidup sendiri tanpa yang lain. Keberhasilan atau kegagalaan, permasalahan atau pencapaian, adalah milik bersama. Nilai-nilai kearifan lokal tersebut sebenarnya bersifat universal, namun diekspresikan melalui bahasa lokal.
Di sinilah kita dapat melihat bagaimana Sumba, yang sebenarnya juga menggambarkan Indonesia, memiliki modal berupa kearifan lokal sebagai bahasa bersama yang dapat memperjumpakan orang-orang dengan beragam latar belakang etnis dan agama. Bahasa bersama lintas agama tidak melulu harus dicari dari doktrin atau kitab suci agama-agama.
Nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal menjadi penting untuk dikembangkan dalam konteks Indonesia. Apa yang terlihat dalam komunitas di Sumba tersebut sebenarnya adalah universal. Hanya saja, kita sering gagal saat menterjemahkannya ke dalam kultur yang lebih luas.
Hari Masyarakat Adat 2023 dengan demikian bukan hanya milik masyarakat adat. Ia milik bangsa Indonesia. Sebagai memoar perjuangan, Hari Masyarakat Adat 2023 juga dilihat sebagai pengingat bahwa Indonesia menyimpan nilai-nilai lokal yang toleran, terbuka pada perbedaan, dan harmoni di tengah keragaman.
Seorang bijak pernah berkata, “Mindset bangsa Indonesia harusnya adalah, karena keberagaman itulah kita membutuhkan persatuan. Bukan karena demi persatuan, maka keberagaman dihapuskan,”